Buat kawan-kawan setia blog ini yang mau mendengarkan cerita dewasa dalam bentuk audio (suara cewek bos!) silahkan klik Disini Jangan lupa rajin-rajin berkunjung ke blog ane and jaga sikap kawan-kawan terhadap saudari-saudari kita. Cewek-cewek juga manusia gan. Dipergunakan untuk keperluan pribadi, TITIK

Selasa, 19 April 2011

Cinta Romantis dan Cinta Sejati dalam Perkawinan

Beda Antara Cinta Romantis dan Cinta Sejati dalam Perkawinan


CINTA romantis dapat dijabarkan sebagai sesuatu yang imajinatif dan tidak praktis, misterius, dan fiktif. Cinta romantis merangsang eksitasi petualangan emosional, pemenuhan idealisme dan sering dilandasi keterikatan emosional yang bisa berlanjut sepanjang hidup atau hanya berlangsung dalam waktu singkat. Cinta romantis diterima secara sosial, walaupun sering terasa tidak lebih dari sebagai suatu delusi dan keadaan tergila-gila. Padahal, cinta romantis hanya sekadar merupakan "tipuan", karena ditandai sesuatu yang menjanjikan lebih daripada apa yang sebenarnya bisa diberikan.

Umumnya orang cenderung memberikan reaksi terhadap situasi tersebut dengan dua cara yaitu: (a) penghayatan pe-rasaan atau emosi secara menyeluruh. Penghayatan perasaan tersebut didominasi oleh "bagaimana saya merasakan tentang dirimu" sebagai suatu reaksi antara satu orang dengan orang lain. (b) Pelibatan aspek emosi lebih merupakan reaksi emosi primer yang terkait dengan "bagaimana sa-ya merasa tentang diriku".

Jadi, intensitas penghayatan perasaan dihubungkan dengan seseorang yang ada di luar dirinya yang mampu menghin-darkan orang tersebut dari perasaan kekosongan yang ada dalam dirinya sendiri. Dapat disimpulkan, fokus cinta romantis ada pada diri orang lain, dalam hal ini pasangannya.

Cinta romantis terdiri dari elemen emosional kuat yang berasal dari fusi antara satu orang dengan orang lain, sehingga hanya sedikit makna yang menyertakan kapan perasaan itu mulai berkembang dan kapan perasaan itu berakhir karena tidak adanya ruang atau jarak serta waktu antara diri sendiri dengan orang yang dicintainya. Rasa sakit/terluka pada salah seorang pasangan merupakan rasa sakit/terluka pada diri sendiri. Setiap hal dinilai dan dimaknakan personal, misalnya "apabila kamu pergi ke bioskop sendiri, maka itu berarti kamu meninggalkan diri saya". Jadi, dalam hal ini terbentuk perasaan kebersamaan dan saling memiliki satu sama lain secara sempurna antara dua orang yang terlibat cinta romantis.

Di balik perasaan romantis itu terkandung fusi dari ketakutan akan kesepian dan kegagalan dalam penerimaan diri seseorang. Makin rendah rasa percaya diri seseorang, semakin tinggi harapan orang itu agar orang lain sama seperti dirinya. Semakin tinggi pula upayanya mencoba dan ber-harap mendapatkan pemuasan kebutuhan akan keyakinan diri agar dapat dibangkitkan keyakinan diri orang yang dicintainya. Kondisi cinta romantis betul-betul merupakan harapan yang tidak realistis.
Harapan ada pada pasangan yang menjalin cinta kasih romantis justru cenderung mendapatkan kekecewaan yang lebih besar di kemudian hari. Erich Fromm (1956) berpendapat, cinta romantis merupakan bukti dari kondisi rasa kesepian yang sangat mendalam. Segera setelah penerimaan cinta romantis menurun atau bahkan hilang, maka pola dasar proses berpikir, perasaan, dan perilaku realistis akan muncul kembali.

Biasanya topik rasa tanggung jawab yang mengikuti ikatan kasih yang realistis menjadi berbaur dengan kondisi saling menyalahkan pada dua orang yang sebelumnya terlibat cinta romantis. Kondisi itu diikuti dengan runtuhnya harapan awal yang tidak realistis, untuk kemudian menghadapi kenyataan yang ditandai argumen, ketidaksepakatan terhadap rasa tanggung jawab masing-masing pasangan, peningkatan rasa marah yang akumulatif, dan perlahan tetapi pasti kedua belah pihak akhirnya akan merasa terluka. Kenyataan lanjut yang dihadapi pasangan adalah interrelasi mereka akhirnya menjadi kabur dan tidak jelas bagi kedua belah pihak.

Transisi dari cinta romantis ke cinta sejati

Cinta romantisme merupakan bagian dari masa muda yang penuh gairah. Serentak setelah kedua pasangan tumbuh dan bertambah usia, maka iklim emosional dalam diri kedua pasangan akan ditandai oleh apa yang mereka inginkan, apa yang mereka harapkan, hasrat apa yang ada pada diri mereka, serta bagaimana mereka menghayati diri mereka secara emosional.

Afeksi yang lembut dan kesetiaan menjadi aspek dari cinta yang penuh kesabaran, yang secara simultan, dengan disertai atau tidak disertai nilai-nilai romantisme. Serentak setelah cinta romantis sirna, maka cinta romantis akan digantikan dengan upaya-upaya untuk menyimpannya dengan cara "saya dapat merasakan bahwa saat ini saya harus menempatkan permasalahan-permasalahan yang harus diatasi dalam hubungan saya dengan pasangan saya".

Dalam pada itu pasangan akan berupaya membantu istri/suaminya untuk bang-kit dari perasaan terpuruk atau pasangan ikut merasakan keterpurukan suami/istrinya. Dengan cara tersebut maka terjadi proses peningkatan pengaruh kendali secara obyektif. Maka berkembanglah rasa cinta sejati yang merupakan upaya salah satu pasangan untuk tetap memberikan pengaruh pada suami/istrinya, baik dalam imajinasi, keingintahuan satu sama lain, serta kecenderungan satu sama lain.

Dengan demikian maka relasi yang terjalin antarkedua pasangan akan terbentuk berdasar pada pola-pola kesabaran kedua belah pihak dan rasa toleransi diantara kedua belah pihak yang semakin hari semakin kuat. Masa transisi dari fase cinta romantis ke cinta sejati merupakan masa tersulit bagi kedua pasangan

Sebuah cinta pada sepasang manusia tidak habis-habisnya dibahas. Ia selalu ada dalam setiap media dan menjadikan segala media yang ada di muka bumi ini menjadi sempit karenanya. Cinta pula yang menyebabkan efek psikologis manusia berubah dari yang realistis menjadi sulit untuk dinalar. Kecenderungan yang ada pun menjadi sulit untuk membedakan antara kenyataan dengan yang tidak. Akhirnya, sebuah hyper-realis yang terbentuk dari makna cinta menjadi bernilai harganya.

Sisi lain cinta sering dimaknai orang sebagai sebuah misteri. Kelompok musik Dewa mendefinisikan cinta sebagai sebuah mistikus. Sementara Khalil Gibran menyebutkan cinta sebagai bagian dari kerja yang telah mengejawantah. Titik Puspa-pun menyebutkan bahwa cinta itu berjuta rasanya. Sedangkan Freud mengungkapkan, bahwa cinta itu bagian dari seksualitas dan beriringan dengan afeksi dan sensualitas (Freud dalam Osborne, 2000).

Banyak kalimat yang mewarnai keindahan sebuah cinta. Namun apa yang terjadi bila cinta telah menjadi rusak? Tidak ada istilah lain selain kepedihan, luka hati, pengkhianatan, sakit dan kosakata lain yang juga tidak kalah banyaknya. Banyak peristiwa yang berakhir dengan darah. Kemudian yang muncul adalah cinta itu sebuah nyawa!

Dalam perjalanan bangsa ini, sudah banyak kata cinta yang ditebarkan. Cinta yang semu maupun cinta yang memerlukan pengorbanan ada dalam sejarah bangsa ini. Ikon-ikon budaya dalam cinta pun berkembang seiring dengan semakin menjamurnya televisi-televisi swasta dan media cetak. Berita tentang kenaikan harga BBM, TDL dan telepon bukanlah monopoli beberapa orang atau daerah saja. Berbanding terbalik dengan hal tersebut, maka rasa cinta pun menjadi hambar. Rasanya kita sedang menghadapi cinta semu. Hanya karena kenaikan tiga komponen itulah cinta yang terjalin bagaikan cinta monyet.

Ikrar percintaan yang terjalin pun - meski disaksikan oleh angin, bulan dan petir - menjadi semacam sampah. Bukan hanya Dian Sastrowardoyo saja yang pernah menikmati rasanya jatuh cinta sampai menangis. Semua orang pun pernah mengalami. Jatuh cinta pada pandangan pertama terhadap salah satu kontestan Pemilu tidak bisa menjamin akan adanya kekekalan cinta (everlasting love). Romantisme Megawati pada awal perjuangan partainya pun hanyalah cinta sesaat.

Cinta yang Pudar

Cinta romantis biasanya lebih bisa diterima oleh sosial ketika rasa itu sedang meletup. Kita tidak lagi merasa aneh ketika ada dua orang berlainan jenis bergandengan tangan. Kita juga tidak merasa risih ketika di sinetron ada adegan yang memperlihatkan cinta kepada kekasihnya dengan puisi yang mendayu-dayu. Bahkan di sebuah iklan dipertunjukkan bagaimana seseorang rela menunggu kekasihnya dengan berbasah kuyup karena hujan. Cinta romantis sering mengimajinasikan situasi yang ideal maupun pembebasan imajinasi yang nakal namun penuh mesra.

Ketika di awal hubungan mesra antara rakyat dan pemimpinnya, entah itu di jaman Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur dan Megawati, maka yang terjadi adalah cinta dengan harapan yang berlebih. Namun dengan harapan yang berlebih itulah sebenarnya kita berada dalam kondisi yang ketakutan. Ungkapan-ungkapan, seperti :”Benarkah kamu mencintai saya?” atau “Kamu tidak akan meninggalkanku, bukan?” adalah bentuk ketakutan bila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Wajar ketika seseorang menikmati keadaan ini, karena memang situasi yang terbentuk adalah cinta yang romantis. Cinta romantis merupakan bukti dari adanya kondisi rasa kesepian yang sangat mendalam (Fromm, 1956).

Impian-impian indah yang menjulang tinggi ketika kepemimpinan berganti sekali lagi adalah sesuatu yang wajar. Yang tidak wajar adalah ketika cinta romantis itu menutup pintu hati, pintu mata dan pintu telinga atas kejadian-kejadian yang sebenarnya bisa membuat kita marah namun kita membiarkan dengan alasan yang tidak masuk akal dan merasa kita adalah pasangan jiwa.

Kini, ketika Megawati mengumumkan kenaikan harga tiga komponen pokok, yaitu BBM, TDL dan telepon, maka yang terjadi adalah rasa kecewa. Dalam proses menerima rasa cinta, ketika terjadi hal yang tidak mengenakkan hati -apalagi terjadi perselingkuhan-, maka yang terbentuk adalah memudarnya cinta romantis. Menurunnya rasa cinta ini mengakibatkan cara berpikir dan cara pandang terhadap sesuatu kembali realistis, bahkan tidak jarang kondisi saling menyalahkan pun terjadi. Biasanya pula dalam kondisi dimana rasa cinta ini pudar, maka ketidaksepakatan sering terjadi, karena mulai diintervensi oleh rasa yang namanya tidak percaya.

Adakah Cinta Sejati?

Cinta sejati sering dianggap sebagai bentuk penyerahan diri dan mengabdi pada pasangan. Pendapat yang demikian tentunya keliru. Begitu pula dengan anggapan yang menyatakan, bahwa cinta sejati itu adalah menyenangkan pasangan. Bukan begitu makna dari cinta sejati.

Cinta sejati adalah keluarnya penghargaan, kebanggaan dan penerimaan yang tulus untuk sang kekasih. Ruh dari cinta sejati adalah saling rendah hati, sabar dan menanggung segala sesuatu secara bersama-sama. Tidak ada yang dimenangkan maupun dikalahkan ketika hubungan cinta sejati sedang terjadi.

Nah, disinilah pemerintah selalu terjebak dengan hakekat nasionalisme ataupun patriotisme. Mereka menyangka, bahwa rakyat selalu memahami apa yang menjadi kemauan pemerintah. Nasionalisme dipandang sebagai sikap pengorbanan rakyat terhadap negaranya atau cinta yang teramat dalam terhadap negaranya. Pandangan yang sempit ini sama dengan pencampuradukan cinta sejati dan cinta romantis.

Ketika rakyat benar-benar menerima pemerintah dengan apa adanya, sebaliknya ada usaha perselingkuhan yang bisa menyakiti hati rakyat. Perselingkuhan itu bisa saja terjadi ketika pemerintah mengampuni konglomerat bermasalah yang mengajak damai bagaikan sepasang kekasih yang baru saja berpisah. Bisa pula ketika pemerintah bermesraan kembali dengan masa lalu yang telah mengkhianatinya dan rakyat terlupakan.

Pemaparan di atas kiranya juga dapat dijadikan inspirator bagi insan bercinta maupun mereka yang terlanjur cinta pada sebuah kekuasaan. Dalam sudut pandang yang lain, maka Iwan Fals menjadikan cinta bagai sebuah cerita komik! Bukankah begitu makna cinta sejati? Ia selalu ada ketika dalam situasi apapun. Bukan hanya pemerintah yang enak sedangkan rakyatnya harus makan dengan irit agar tidak membuang banyak minyak tanah untuk sebuah kompor.
  

Empat Tanda Cinta Sejati
Anda dapat menemukan seseorang yang benar-benar sangat cocok untuk dijadikan pasangan hidup dan bahkan memilikinya lebih dari satu dalam hidup Anda. Tetapi kemudian bagaimana Anda benar-benar mengetahuinya dengan yakin?




Berikut bantuan untuk meyakinkan keputusan hubungan Anda:

Ungkapkan keinginan dan mengapa menginginkannya?

Anda harus memiliki kejelasan tidak hanya tentang apa yang Anda ingin dari cinta, tetapi apa yang diinginkan dalam hidup dengan pasangan Anda. Segera setelah mengetahui itu, Anda akan yakin telah masuk dalam suatu hubungan dengan tujuan dan visi yang jelas seperti apa hubungan Anda dengan dia. Menentukan kriteria akan membantu terhindar dari kesulitan terlibat dengan seseorang yang tidak cocok bagi Anda.

Ukur romantisme Anda
Meskipun kedengarannya basi, buatlah daftar harapan pasangan ideal Anda. Isi dengan keinginan pasangan sempurna, istimewa tetapi realistis. Semakin banyak Anda tahu apa yang cocok bagi Anda, semakin mudah menangkap momen kapan dia bisa berjalan bersama Anda.

Cintai diri sendiri

Ada pepatah lama mengatakan: “Anda tidak akan bisa membahagiakan orang lain sampai Anda membahagiakan diri sendiri.” Hal ini tidak hanya akan membantu pada saat bertemu dengan seseorang yang baru tetapi juga membantu Anda memulai hubungan pada saat yang tepat.

Jadilah yang terbaik

Cinta bukan hanya sekedar mencari seseorang yang akan membuat Anda bahagia. Kecocokan akan menghasilkan yang terbaik- mungkin seseorang yang akan membuat Anda menjadi orang yang bahagia dan lebih produktif.

Cara terbaik untuk menemukan cinta sejati adalah pintar-pintarlah memilih seseorang dan jelas mengapa Anda memilihnya.

Senin, 18 April 2011

Implikasi Landasan Filsafat Pendidikan

1. Implikasi Bagi Guru

Apabila kita konsekuen terhadap upaya memprofesionalkan pekerjaan guru maka filsafat pendidikan merupakan landasan berpijak yang mutlak. Artinya, sebagai pekerja professional, tidaklah cukup bila seorang guru hanya menguasai apa yang harus dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya. Kedua penguasaan ini baru tercermin kompetensi seorang tukang.

Disamping penguasaan terhadap apa dan bagaimana tentang tugasnya, seorang guru juga harus menguasai mengapa ia melakukan setiap bagian serta tahap tugasnya itu dengan cara tertentu dan bukan dengan cara yang lain. Jawaban terhadap pertanyaan mengapa itu menunjuk kepada setiap tindakan seorang guru didalam menunaikan tugasnya, yang pada gilirannya harus dapat dipulangkan kepada tujuan-tujuan pendidikan yang mau dicapai, baik tujuan-tujuan yang lebih operasional maupun tujuan-tujuan yang lebih abstrak. Oleh karena itu maka semua keputusan serta perbuatan instruksional serta non-instruksional dalam rangka penunaian tugas-tugas seorang guru dan tenaga kependidikan harus selalu dapat dipertanggungjawabkan secara pendidikan (tugas professional, pemanusiaan dan civic) yang dengan sendirinya melihatnya dalm perspektif yang lebih luas dari pada sekedar pencapaian tujuan-tujuan instruksional khusus, lebih-lebih yang dicekik dengan batasan-batasan behavioral secara berlebihan.

Dimuka juga telah dikemukakan bahwa pendidik dan subjek didik melakukan pemanusiaan diri ketika mereka terlihat di dalam masyarakat profesional yang dinamakan pendidikan itu; hanyalah tahap proses pemanusiaan itu yang berbeda, apabila diantara keduanya, yaitu pendidik dan subjek didik, dilakukan perbandingan. Ini berarti kelebihan pengalaman, keterampilan dan wawasan yang dimiliki guru semata-mata bersifat kebetulan dan sementara, bukan hakiki. Oleh karena itu maka kedua belah pihak terutama harus melihat transaksi personal itu sebagai kesempatan belajar dan khusus untuk guru dan tenaga kependidikan, tertumpang juga tanggungjawab tambahan menyediakan serta mengatur kondisi untuk membelajarkan subjek didik, mengoptimalkan kesempatamn bagi subjek didik untuk menemukan dirinya sendiri, untuk menjadi dirinya sendiri (Learning to Be, Faure dkk, 1982). Hanya individu-individu yang demikianlah yang mampu membentuk masyarakat belajar, yaitu masyarakat yang siap menghadapi perubahan-perubahan yang semakin lama semakin laju tanpa kehilangan dirinya.

Apabila demikianlah keadaannya maka sekolah sebagai lembaga pendidikan formal hanya akan mampu menunaikan fungsinya serta tidak kehilangan hak hidupnya didalam masyarakat, kalau ia dapat menjadikan dirinya sebagai pusat pembudayaan, yaitu sebagai tempat bagi manusia untuk meningkatkan martabatnya. Dengan perkataan lain, sekolah harus menjadi pusat pendidikan. Menghasilkan tenaga kerja, melaksanakan sosialisasi, membentuk penguasaan ilmu dan teknologi, mengasah otak dan mengerjakan tugas-tugas persekolahan, tetapi yang paling hakiki adalah pembentukan kemampuan dan kemauan untuk meningkatkan martabat kemanusiaan seperti telah diutarakan di muka dengan menggunakan cipta, rasa, karsa dan karya yang dikembangkan dan dibina.

Perlu digarisbawahi di sini adalah tidak dikacaukannya antara bentu dan hakekat. Segala ketentuan prasarana dan sarana sekolah pada hakekatnya adalah bentuk yang diharapkan mewadahi hakekat proses pembudayaan subjek didik. Oleh karena itu maka gerakan ini hanya berhenti pada “penerbitan” prasarana dan sarana sedangkan transaksi personal antara subjek didik dan pendidik, antara subjek didik yang satu dengan subjek didik yang lain dan antara warga sekolah dengan masyarakat di luarnya masih belum dilandasinya, maka tentu saja proses pembudayaan tidak terjadi. Seperti telah diisyaratkan dimuka, pemberian bobot yang berlebihan kepada kedaulatan subjek didikakan melahirkan anarki sedangkan pemberian bobot yang berlebihan kepada otoritas pendidik akan melahirkan penjajahan dan penjinakan. Kedua orientasi yang ekstrim itu tidak akan menghasilkan pembudayaan manusia.



2. Implikasi bagi Pendidikan Guru dan Tenaga Kependidikan

Tidaklah berlebihan kiranya bila dikatakan bahwa di Indonesia kita belum punya teori tentang pendidikan guru dan tenaga kependidikan. Hal ini tidak mengherankan karena kita masih belum saja menyempatkan diri untuk menyusunnya. Bahkan salahsatu prasaratnya yaitu teori tentang pendidikan sebagimaana diisyaratkan pada bagian-bagian sebelumnya, kita masih belum berhasil memantapkannya. Kalau kita terlibat dalam berbagi kegiatan pembaharuan pendidikan selama ini maka yang diperbaharui adalah pearalatan luarnya bukan bangunan dasarnya.

Hal diatas itu dikemukakan tanpa samasekali didasari oleh anggapan bahwa belum ada diantara kita yang memikirkan masalah pendidikan guru itu. Pikiran-pikiran yang dimaksud memang ada diketengahkan orang tetapi praktis tanpa kecuali dapat dinyatakan sebagi bersifat fragmentaris, tidak menyeluruh. Misalnya, ada yang menyarankan masa belajar yang panjang (atau, lebih cepat, menolak program-program pendidikan guru yang lebih pendek terutama yang diperkenalkan didalam beberapa tahun terakhir ini) ; ada yang menyarankan perlunya ditingkatkan mekanisme seleksi calon guru dan tenaga kependidikan; ada yang menyoroti pentingnya prasarana dan sarana pendidikan guru; dan ada pula yang memusatkan perhatian kepada perbaikan sistem imbalan bagi guru sehingga bisa bersaing dengan jabtan-jabatan lain dimasyarakat. Tentu saja semua saran-saran tersebut diatas memiliki kesahihan, sekurang-kurangnya secara partial, akan tetapi apabila di implementasikan, sebagian atau seluruhnya, belum tentu dapat dihasilkan sistem pendidikan guru dan tenaga kependidikan yang efektif.

Sebaiknya teori pendidikan guru dan tenaga kependidikan yang produktif adalah yang memberi rambu-rambu yang memadai didalam merancang serta mengimplementasikan program pendidikan guru dan tenaga kependidikan yang lulusannya mampu melaksanakan tugas-tugas keguruan didalam konteks pendidikan (tugas professional, kemanusiaan dan civic). Rambu-rambu yang dimaksud disusun dengan mempergunakan bahan-bahan yang diperoleh dari tiga sumber yaitu: pendapat ahli, termasuk yang disangga oleh hasil penelitian ilmiah, analisis tugas kelulusan serta pilihan nilai yang dianut masyarakat. Rambu-rambu yang dimaksud yang mencerminkan hasil telaahan interpretif, normative dan kritis itu, seperti telah diutarakan didalam bagian uraian dimuka, dirumuskan kedalam perangkat asumsi filosofis yaitu asumsi-asumsi yang memberi rambu-rambu bagi perancang serta implementasi program yang dimaksud. Dengan demikian, perangkat rambu-rambu yang dimaksud merupakan batu ujian didalam menilai perancang dan implementasi program, maupun didalam “mempertahankan” program dari penyimpngan-penyimpangan pelaksanaan ataupun dari serangan-serangan konseptual.


(Nunu Heryanto)

Sahabat adalah Hadiah Spesial

Sahabat spesial
Teman adalah hadiah dari sang Pencipta buat kita. Seperti hadiah, ada bungkus bagus dan ada bungkus jelek. bungkus bagus punya wajah rupawan, atau kepribadian yang menarik. Yg bungkusnya jelek punya wajah biasa saja, atau kepribadian  biasa saja, atau malah menjengkelkan.

Seperti hadiah, ada yg isinya bagus dan ada isinya jelek. Yg isinya bagus punya jiwa yg begitu indah sehingga kita terpukau ketika berbagi rasa dengannya, ketika kita tahan menghabiskan waktu berjam-jam, saling bercerita dan menghibur, menangis bersama, dan tertawa bersama. Kita mencintai dia dan dia mencintai kita.

Isinya buruk punya jiwa yg terluka. Begitu dalam luka-lukanya sehingga jiwanya tidak mampu lagi
mencintai, justru karena ia tidak merasakan cinta dalam hidupnya. Sayangnya yg kita tangkap darinya
seringkali justru sikap penolakan, dendam, kebencian, iri hati, kesombongan, amarah, dll.

Kita tidak suka dengan jiwa-jiwa semacam ini dan mencoba menghindar dari mereka. Kita tidak tahu bahwa
itu semua BUKAN-lah karena mereka pada dasarnya buruk, tetapi ketidakmampuan jiwanya memberikan cinta karena justru ia membutuhkan cinta kita, membutuhkan empati kita, kesabaran dan keberanian kita untuk mendengarkan luka-luka terdalam yg memasung jiwanya.

Bagaimana bisa kita mengharapkan seseorang yg terluka lututnya berlari bersama kita? Bagaimana bisa
kita mengajak seseorang yg takut air berenang bersama? Luka di lututnya dan ketakutan terhadap
airlah yg mesti disembuhkan, bukan mencaci mereka karena mereka tidak mau berlari atau berenang bersama kita. Mereka tidak akan bilang bahwa "lutut" mereka luka atau mereka "takut air", mereka akan bilang bahwa
mereka tidak suka berlari atau mereka akan bilang berenang itu membosankan dll. Itulah cara mereka mempertahankan diri.

Sabtu, 16 April 2011

Rasionalisme Habermas

Proses rasionalisasi dan perkembangan sistem kapitalisme pada zaman marx berkembang sedemikian rupa yang menimbulkan perubahan dari hubungan-hubungan komunikatif ke hubungan-hubungan instrumental dan strategis. Dalam konteks perkembangan subsistem-subsistem tindakan rasional bertujuan yang telah mencapai kepenuhannya ini, marx menyamakan kerangka kerja institusional masyarakat dengan hubungan-hubungan produksi.

Kritik atas dogmatisme yang dilakukan oleh kaum borjuasi digantinya menjadi kritik atas ekonomis-politik. Gagasan borjuis mengenai kebebasan manusia , baik itu yang terungkap dalam pasaran bebas maupun buruh bebas mendapat kritik yang pedas darinya karena dalam kenyataan kaum buruh bebas diperalat oleh kaum kapitalis melalui gagasan-gagasan itu yang disebutnya sebagai 'ideologis' dan dalam kenyataan manusia sendiri diperbudak oleh mekanisme pasar. Dalam kontek ini pula, marx menganut 'paradigma kerja' pada taraf epistemologis sekaligus dengan sendirinya membuktikan dirinya sebagai anak zamannya dimana masyarakat dikuasai kekuatan produksi dan kekuatan politis kehilangan fungsi ekonomisnya. Dapat dipahami juga mengapa Marx kemudian beranggapan bahwa negara, hukum, ideologi, dan rasio sendiri merupakan superstruktur yang ditentukan oleh kekuatan-kekuatan produksi da hubungan-hubungan produksi sebagai hasilnya. Dalam zaman Marx ini, rasionalitas adalah rasionalitas penguasaan alam (kerja).

Habermas mengembaikan persoalan proses rasionalisasi ini pada peemuannya tentang pembedaan mendasar antara kerja dan interkasi. Proses rasionlisasi ini dibagi ke dalam dua segi, yaitu dari segi kerangka kerja institusional masyarakat atau dunia kehidupan sosial-budaya dan kedua dari segi subsistem-subsistem tindakan rasional-bertujuan. Ketimpangan ini muncul bersamaan dengan lahirnya sistem kapitalisme. Menurut Habermas, di dalam masyarakat tradisional terdapat kaitan yang khusus antara kerangka kerja institusional dan subsistem-subsistem tindakan rasional-bertujuan. Dalam sistem kapitalis, proses-proses produksi sosial diperlengkapi dengan mekanisme yang berjalan sendiri dengan menjamin pertumbuhan produktivitas terus-menerus. Dalam hal ini, penemuan-penemuan penting dalam bidang teknologi, strategi dan institusionalisasi keduanya merupakan penopang pokok cara produksi.

Perluasan subsistem-subsistem tindakan rasional-bertujuan menyebabkan masyarakat mulai mempertanyakan kesahihan pandangan dunia tradisional yang terungkap dalam mitos-mitos, agama dan pandangan-pandangan metafisis yang menurut Habermas tunduk pada kontek-konteks logika interaksi. Pada awal perkembangan masyarakat modern rasionalisme yang memenuhi aturan-aturan language games dan tindakan komunikatif berbenturan dengan rasionalitas-tujuan. Di dalam sistem kapitalis, konfrontasi ini berakhir dengan kemenangan rasionalitas tujuan. Hal ini berarti bahwa pandangan dunia tradisional diganti dengan pandangan-pandangan yang berkaitan dengan kekuatan-kekuatan produksi sosial.

Menjelang akhir abad lalu terjadi perkembangan dalam sistem baru kapitalis, yaitu 'spatkapitalismus'. Karena sistem kapitalis liberal zaman Marx yang mengandalkan mekanisme pasar menjadi disfungsional, negara mulai mengadakan intervensi. Menurut Habermas, jika dalam sistem kapitalis liberal kerja institusional didepolitisasikan dalam sistem kapitalis lanjut justru mengalami repolitisasi sehingga politik tidak lagi merupakan fenomen superstruktur. Dengan bertambahnya besarnya peranan negara dalam masyarakat, legitimasi tak lagi dapat diberikan oleh tatanan hubungan-hubungan produksi sehingga dalam arti tertentu masyarakat membutuhkan legitimasi langsung dari kekuasaan politis seperti pada zaman prakapitalis. Akan tetapi, berbeda dari legitimasi kekuasaan tradisional yang ditentukan oleh tujuan-tujuan praktis (hidup yang baik), legalitimasi kekuasaan masyarakat kapitalis lanjut ditentukan oleh tujuan-tujuan teknis, yaitu pemecahan masalah-masalah teknis ekonomi masyarakat. Dalam hal-hal teknis itu , massa tidak diikutsertakan sehingga repolitisasi masyarakat menghasilkan juga depolitisasi massa. Lenyapnya fungsi politis massa dalam kapitalis lanjut dapat diterima oleh masyarakat kapitalis itu sendiri karena kekuasaan politis mendasarkan dirinya pada legitimasi teknokratis dimana ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi ideologi. Dalam kontek ini, saintisme dan positivisme modern di lapangan intelektual menggantikan mitos-mitos prakapitalis dan ideologi kebebasan dari kaum borjuasi.

Menurut Habermas, depolitisasi massa dan bangkitnya teknokrasi menyebabkan masyarakat kehilangan pemahaman-pemahaman dirinya yang bereferensi pada tindakan komunikatif dan konsep-konsep interaksi simbiolis. Model-model interaksi sosial pemahaman diri masyarakat sendiri diganti dengan pengetahuan-pengetahuan ilmiah. Dengan kata lain, pemahaman diri terhadap dunia kehidupan sosial diganti dnegan reifikasi-diri manusia di bawah kategori-kategori tindakan rasionalis bertujuan dan tingkah laku adaptif. Dengan meluasnya tingkah laku adaptif itu menandakan bahwa lingkup interaksi yang dimediasi secara linguistik ditelan oleh struktur tindakan rasional bertujuan. Kesadaran jenis ini isebut Habermas 'kesadaran teknokratis'.

Kesadaran teknokratis itu, menurut Habermas mencerminkan suatu penindasan atas dimensi etis manusia yang terkait langsung denga kehidupan sosial politisnya. Usaha-usaha untuk melenyapkan dimensi etis itu paling tampak dalam cara berpikir berpikir positivistis dalam masyarakat Spatkapitalismus yang memuncak dalam bentuk-bentuk positivisme modern dan ilmu-ilmu sosial yang didepolitisasikan. Habermas berpendapat bagaimanapun depolitisasi massa dan depolitisasi pemikiran manusia dalam kategori-kategori tindakan rasionalis bertujuan dan tingkah laku adaptif. Kesadaran teknokratis ini berwatak ideologis yang ditunjukkan pada penghapusan pembedaan antara yang praktis dan yang teknis.

Jika dikembalikan pada proses rasionalisasi, kesadaran teknokratis merupakan hasil proses 'rasinalisasi dari atas'. Melalui proses itu dalam kapitalisme lanjut, kesadaran teknokratis merupakan ideologi pengganti dari ideologi borjuis yang mendasarkan diri pada mekanisme pasar bebas dan kekuatan-kekuatan produksi masyarakat yang dapat berjalan sendiri. Ideologi borjuis tentang kebebasan individu dan kebebasan rasio yang dimungkinkan oleh mekanisme pasar itu juga merupakan pengganti legitimasi-legitimasi mitis, religius, dan metafisis dalam masyarakat prakapitalis. Dalam proses ini prakapitalis bersifat ambigu.

Mengenai perkembangan lebih lanjut dari proses rasionalisasi, Habermas tidak mencetuskan suatu utopia maupun bersikap pesimistis terhadap perkembangan masyarakat. Ia hanya memberikan suatu sumbangan bagi konsep rasionalisasi yang sewajarnya terjadi berdasarkan pembedaan dua tindakan dasar manusia. Habermas berpendapat bahwa rasionalisasi dalam bidang interaksi itu tidak sama dengan rasionalisasi dalam bidang kerja. Rasionalisasi di dalam bidang interaksi itu pada dirinya tidak akan membawa pada perbaikan fungsi sistem masyarakat, tetapi akan memperlengkapi para anggota masyarakat dengan kesempatan bagi emansipasi lebih jauh lagi dan proses individuasi yang progresif.

Pandangan Habermas mengenai rasionalisasi bidang interaksi ini tidak hanya menjernihkan persoalan proses rasionalisasi yang menjadi keprihatinan bagi pendahulunya melainkan juga memberi petunjuk bagi pengembangan suatu rasionalitas alternatif bagi rasio instrumental. Jika proses rasionalisasi dalam bidang kerja telah menyebarkan rasio instrumental proses rasionalisasi dalam bidang interaksi akan menumbuhkan 'rasionalitas komunikatif'. Dan suatu rasionalisasi yang genuine sebagai humanisasi seharusnya mengutamakan rasionalitas komunikatif di atas rasionalitas tujuan atau rasio instrumental. Proses rasionalisasi semacam ini tidak hanya merupakan gagasan orsinal di dalam teori-teori Marxis melainkan juga merupakan sumbangan pantas bagi pemikiran-pemikiran mengenai perkembangan masyarakat pada umumnya. Sumbangan semacam ini diberikan lagi oleh Habermas yang dalam kritiknya atas teori perkembangan masayarakat menurut Marx yang termashur dalam sebutan 'materialisme sejarah'.

Habermas memulai konsep rasionalime yang dimengerti oleh pencerahan sebagai usaha keras dari rasio untuk membebaskan dirinya dari mitos yang terjadi sepanjang sejarah pemikiran. Di dalam definisi itu tampak bahwa rasio bukan hanya kesadaran murni melainkan juga kehendak untuk menjadi rasional, yaitu membebaskan kesadaran dari dukungan dogmatis dan mencapai mundigkeit (otonomi dan tanggung jawab). Konsep rasio di atas bukanlah rasio netral yang dikosongkan dari kemampuan kehendak kita, melainkan justru merupakan rasio yang memihak melawan dogmatisme. Di dalam rasio melekat suatu kepentingan dasariah untuk membebaskan diri dari berbagai macam pembatasan.

Kunci dari konsep Habermas adalah tentang refleksi-diri, tindakan rasio yang menyebakan dapat membebaskan diri dari dogmatisme atau kesadaran palsu adalah refleksi diri. Di dalam refleksi diri, ego menjadi transparan terhadap dirinya sendiri dan terhadap asal-usul kesadarannya sendiri. Di dalam kegiatan refleksi, kita sebagai ego tidak hanya memiliki kesadaran baru tentang diri kita sendiri. Tindakan mengubah hidup adalah tindakan emansipatoris karena di dalam refleksi-diri kesadaran dan tindakan emansipatoris menyatu dalam kegiatan refleksi rasio kita langsung menjadi praktis. Di sini kepentingan emansipatoris yang membimbing refleksi diri bersifat konstuktif dalam konteks proses pembentukan diri dari rasio.

Telah kita lihat bahwa refleksi fenomenologis terjadi bertahap-tahap mulai dari bentuk kesadaran elementer, yaitu kesadaran empiris sehari-hari sampai pada pengetahuan absolut. Perkembangan kesadaran ke tahap-tahap yang lebih tinggi terjadi karena dalam refleksi diri dari rasio pada setiap tahap dapat menghancurkan dogmatisme yang terwujud baik dalam pandangan hidup maupun dalam bentuk kehidupan indvidu dan sosial. Dalam gerak emansipatorispun terjadi kombinasi rasio dan kepentingan. Di dalam refleksi diri, rasio kita didorong oleh kepentingan emensipatoris untuk menghancurkan baik pandangan yang keliru tentang sesuatu maupun sikap-sikap dogmatis yang telah menjadi habit dalam bentuk kehidupan yang kita hayati sehingga dicapai tahap baru dalam proses pembentukan diri.

Mahmud Ahmadinejad

Mahmud Ahmadinejad

Mahmud Ahmadinejad atau bisa dibaca Ahmadinezhad (bahasa Persia: محمود احمدینژاد ; lahir 28 Oktober 1956) adalah Presiden Iran yang keenam dan memperoleh 61.91% suara pemilih pada pilpres Iran tanggal 24 Juni 2005. Jabatan kepresidenannya dimulai pada 3 Agustus 2005. Ia pernah menjabat walikota Teheran dari 3 Mei 2003 hingga 28 Juni 2005 waktu ia terpilih sebagai presiden. Ia dikenal secara luas sebagai seorang tokoh konservatif yang sangat loyal terhadap nilai-nilai Revolusi Islam Iran, 1979.


Biografi
•    Keluarga
Lahir di daerah desa pertanian Aradan, dekat Garmsar, sekitar 120 kilometer arah tenggara Teheran. Dia merupakan anak keempat dari tujuh bersaudara. Orang tuanya, Ahmad Saborjihan, memberi nama Mahmud Saborjihan saat lahir. Dia menggunakan nama tersebut hingga sebuah keputusan besar mendorong keluarganya untuk hijrah ke Teheran pada paruh kedua tahun 1950-an. Di Teheran, ayahnya merubah namanya menjadi Mahmud Ahmadinejad sebagai isyarat religiusitas dan semangat mencari kehidupan yang lebih baik, karena Saborjihan dalam bahasa Parsi berarti pelukis karpet, pekerjaan yang jamak dilakukan di sentra karpet seperti Aradan, sedangkan Ahmadinejad berarti ras yang unggul, bijak dan paripurna.

•    Pendidikan
Dia lulus dari Universitas Sains dan Teknologi Iran (IUST) dengan gelar doktor dalam bidang teknik dan perencanaan lalu lintas dan transportasi. Pada tahun 1980, dia adalah ketua perwakilan IUST untuk perkumpulan mahasiswa, dan terlibat dalam pendirian Kantor untuk Pereratan Persatuan (daftar-e tahkim-e vahdat), organisasi mahasiswa yang berada di balik perebutan Kedubes Amerika Serikat yang mengakibatkan terjadinya krisis sandera Iran.

•    Bergabung dengan Imam Khomeini
Pada masa Perang Iran-Irak, Ahmedinejad bergabung dengan Korps Pengawal Revolusi Islam pada tahun 1986. Dia terlibat dalam misi-misi di Kirkuk, Irak. Dia kemudian menjadi insinyur kepala pasukan keenam Korps dan kepala staf Korps di sebelah barat Iran. Setelah perang, dia bertugas sebagai wakil gubernur dan gubernur Maku dan Khoy, Penasehat Menteri Kebudayaan dan Ajaran Islam, dan gubernur provinsi Ardabil dari 1993 hingga Oktober 1997.

•    Walikota Teheran
Ahmadinejad lalu terpilih sebagai walikota Teheran pada Mei 2003. Dalam masa tugasnya, dia mengembalikan banyak perubahan yang dilakukan walikota-walikota sebelumnya yang lebih moderat dan reformis, dan mementingkan nilai-nilai keagamaan dalam kegiatan-kegiatan di pusat-pusat kebudayaan. Selain itu, dia juga menjadi semacam manajer dalam harian Hamshahri dan memecat sang editor, Mohammad Atrianfar, pada 13 Juni 2005, beberapa hari sebelum pemilu presiden, karena tidak mendukungnya dalam pemilu tersebut.
Ahmadinejad diketahui pernah bertengkar dengan Presiden Mohammad Khatami, yang lalu melarangnya menghadiri pertemuan Dewan Menteri, suatu hak yang biasa diberikan kepada para walikota Teheran. Dia telah mengkritik Khatami di depan umum, menuduhnya tidak mengetahui masalah-masalah sehari-hari warga Iran.

•    Sebagai Presiden Iran
Setelah dua tahun sebagai walikota Teheran, Ahmadinejad lalu terpilih sebagai presiden baru Iran. Tak lama setelah terpilih, pada 29 Juni 2005, sempat muncul tuduhan bahwa ia terlibat dalam krisis sandera Iran pada tahun 1979. Iran Focus mengklaim bahwa sebuah foto yang dikeluarkannya menunjukkan Ahmadinejad sedang berjalan menuntun para sandera dalam peristiwa tersebut, namun tuduhan ini tidak pernah dapat dibuktikan.

•    Kontroversi
Kutipan pernyataannya dalam sebuah pertemuan di hadapan para mahasiswa pada 26 Oktober 2005 dari pernyataan Ayatollah Khomeini yang menyerukan agar Israel "dihapus dari peta dunia" memicu kontroversi. Selain, menuai kecaman dari berbagai pemimpin dunia, termasuk Wakil Perdana Menteri Shimon Peres. Peres bahkan membalas dengan menuntut agar Iran dikeluarkan dari keanggotaan di Perserikatan Bangsa-bangsa.

Pernyataan yang kontroversial ini diulang kembali pada 14 Desember 2005. Saat itu, ia berkata bahwa Holocaust (peristiwa pembantaian terhadap kaum Yahudi oleh rezim Nazi pada masa Perang Dunia II) hanyalah sebuah mitos yang digunakan bangsa Eropa untuk menciptakan negara Yahudi di jantung dunia Islam. Ia juga sempat menyelenggarakan konferensi tentang Holocaust.

Sementara, kritik dalam negeri mengenai kebijakan domestik dan luar negeri terus mengalir deras. Kritik datang dari tokoh ulama besar Ayatollah Hossein Ali Montazeri. Merujuk retorika Ahmadinejad terhadap Amerika Serikat, Montazeri menyatakan bahwa sangat perlu bertindak logis ter

Iran menegaskan bahwa pengembangan teknologi nuklir merupakan hak yang tidak bisa disangkal meskipun Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi yang menuntut Iran untuk menghentikan program pengayaan uranium. Ahmadinejad mendapat kritikan dari kalangan konservatif maupun reformis mengenai kebijakan ekonominya dan cara dia menangani isu nuklir Iran.

Jumat, 15 April 2011

Revolusi dan Praktik Anarkis

Berikut adalah kutipan catatan Goenawan Mohamad dengan judul asli "Marxisme dan Postmodernisme, Dilihat dari Indonesia di Tahun 1993"


"Membentuk kembali hidup! Orang yang bisa omong begitu tak pernah paham sedikitpun apa itu hidup -- mereka tak pernah merasakan nafasnya, jantungnya..." -- Dr. Zhivago.



Antara 1917 dan 1993 telah terjadi dua peristiwa besar yang berhubungan dengan agenda "membentuk kembali hidup." Yang pertama ialah sebuah revolusi atas nama Marxisme, yang berlangsung sebagai "sepuluh hari yang mengguncangkan dunia", seperti ditulis oleh John Reid. Yang kedua ialah sebuah perubahan yang tak kalah mengguncangkannya, yang menunjukkan kekecewaan dan penolakan keras terhadap revolusi itu: Rusia (dan dalam batas tertentu juga Cina) membatalkan banyak hal dalam agenda Marxisme.

Guncangan-guncangan besar: Marxisme adalah harapan dan keyakinan penting selama kurang-lebih satu setengah abad, sesuatu yang demikian keras, tapi ternyata--dalam bentuknya yang dicoba dalam suatu transformasi sosial--dengan cepat merapuh. Selama beberapa tahun terakhir ia telah didiskreditkan secara luas (simbol paling menonjol, bagi saya, ialah diubahnya kantor Partai Komunis menjadi bursa saham di Warsawa, Polandia), dan hampir di seluruh dunia tidak terdengar lagi rencana Marxis untuk "mengubah dunia." Yang tersisa adalah "menerangkan dunia"--terutama di jurnal-jurnal pemikiran dan seminar-seminar--ketika politik sayap kiri merosot, atau mengalami perubahan diri, di pelbagai penjuru.

Maka apa gerangan yang kita hadapi, dan bisa dilakukan? Pertanyaan ini penting, juga di Indonesia: kita tahu di sini pengaruh Marxisme, sisa-sisanya dalam pemikiran kita, tak bisa diabaikan. Marxisme tidak sekedar membayang dalam tulisan-tulisan Bung Karno sebelum kemerdekaan, ia pernah dicoba--setidaknya sebagian unsurnya, mungkin juga sebersit semangatnya--dengan mempraktekkan "sosialisme Indonesia" dan "ekonomi terpimpin." Ia pernah menjadi inti dari pemikiran Partai Sosialis Indonesia dan Partai Komunis Indonesia, dan ia pernah menjadi bagian sentral dalam bahan-bahan yang diajarkan secara luas tentang "ideologi negara" di tahun 1960-an (yang disebut "Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi"). Di akhir tahun 1960-an paham ini dilarang--dan pada gilirannya paham yang dilarang itu memikat banyak anak muda dan cendekiawan Indonesia secara diam-diam, hingga sekarang, sebagai sejenis pernyataan pembangkangan, apalagi di sebuah masyarakat yang mulai mengalami secara nyata gerak kapitalisme, dan masih punya masalah distribusi pendapatan yang menajam.

Tapi ini 1993. Bukan maksud saya untuk berbicara tentang "akhir sejarah" di sini, tetapi nampak suatu kecenderungan yang jelas, terutama di dekat kita: setelah Marxisme tersingkir dan ditinggalkan, yang menggantikan (di Rusia, di Cina dan agaknya boleh dikatakan pula di Indonesia) ialah sejenis sikap pragmatik, kerja yang tak mengedepankan persoalan benar atau tidak menurut suatu doktrin atau asas, baik atau tidak menurut satu ajaran; kriteria legitimasinya hampir sepenuhnya dikaitkan dengan hasil atau performativitas. Dalam pelbagai variasinya sebenarnya yang terjadi sekarang ialah semacam pemborjuisan (embourgoisement) dunia: sebuah proses yang menampakkan ciri-ciri modernitas yang dikenal dalam buku-buku sejarah ketika borjuasi Eropa mengambil peran dan mengubah permukaan bumi "sesuai dengan citranya", untuk meminjam kata-kata Marx. Dengan kata lain, menjadi semakin berperannya rasionalitas, dalam arti kebebasan dari ilusi dan takhayul, dan meluasnya desakralisasi lingkungan sosial dan alam, juga bangkitnya etos tentang obyektifitas ilmiah.


Habisnya Subyek yang Otonom


Tapi tentu tidak semuanya memikat, membebaskan: rasionalitas yang mencuat dalam proses seperti itu terutama ialah apa yang disebut Weber sebagai Zweckrationalitat, "akal yang instrumental", jenis rasionalitas yang berlaku tatkala kita memilih cara yang paling efisien ke arah tujuan yang sudah ditentukan lebih dulu. Rasionalitas dalam arti inilah yang didapatkan dalam peningkatan efisiensi ekonomis dan administratif. Rasionalitas juga bisa mencakup wilayah yang lebih luas: berlakunya tatanan yang koheren dan sistematis di atas hiruk-pikuk dan centang-perenangnya pelbagai ragam keyakinan, motif, situasi dan pengalaman. Dengan rasionalitas ini, berlakulah hukum yang formal, berlakulah aturan yang dikenakan untuk siapa saja dan kapan saja. Dengan rasionalitas ini, berlakulah hukum yang formal, berlakulah aturan yang dikenakan untuk siapa saja dan kapan saja. Dengan rasionalisasi itu pula lahir birokrasi modern, lahir pula ide-ide dan kemampuan untuk kontrol dan perencanaan. Juga: penertiban atas impuls-impuls individu, atas imajinasi dan kehidupan simbolik yang terkadang membuncah ke mana-mana bagaikan semak belukar.

Sering kita, yang ingat akan keinginan S. Takdir Alisjahbana dalam Polemik kebudayaan berkenaan dengan pilihan Indonesia di masa depan, mendapat kesan bahwa Weber mengisyaratkan modernitas sebagai pembuka jalan ke sebuah dunia yang lebih lapang: tidak lagi terbuai oleh dongeng, dogma (lama) dan lindungan kolektifitas dan rahim alam; Weber nampak tetap sebagai seorang pemikir dalam kancah Aufklärung, yang menganggap bahwa lepasnya manusia dari buaian--the disenchantment of the world--memberi manusia kesempatan untuk mengisi dunia yang dikosongkan dari makna dan nilai lama. Di hadapan gerbang yang terbuka itu, suatu proses "pencerahan" pun berlangsung, suatu struktur kognitif yang baru muncul, yang mendasari lahirnya ilmu modern, rasionalisasi hukum, yang melepaskan "legalitas" dari "moralitas", disertai pembebasan seni dari konteks agama sehingga memperoleh kesadarannya untuk berkembang mandiri, tidak lagi menjadi kriya yang melayani fungsi praktis. Namun pada dasarnya Weber seorang pesimis: baginya, dalam proses rasionalisasi, ideal tentang individu yang otonom--setelah dilanda oleh formalisasi, instrumentalisasi, dan birokratisasi--menjadi sesuatu yang salah waktu.

Pesimisme, atau kesangsian, atau pertahanan, terhadap proses rasionalisasi itu bukan cuma milik Weber, tentu. Di Barat sejumlah pemikir dan penyair berkali-kali memperdengarkan duka dan kecewanya ketika, dalam kata-kata Walter Benjamin, "berbicara tentang kemajuan, kepada dunia yang tenggelam ke dalam ketegaran kematian." Di Indonesia sendiri kita telah mendengar kecemasan seperti itu sejak dasawarsa awal abad ke-20, dalam pemikiran Sanusi Pane, misalnya, dalam menghadapi gerak modernisasi Alisjahbana. Kini pun gugatan terhadap "proyek modernitas" itu nampak lagi, dengan hasrat akan kepastian baru (misalnya dalam gerakan "fundamentalisme" agama) setelah krisis normativitas terjadi. Reaksi lain bisa berupa semangat irasionalisme, penampikan kepada konseptualisasi pengalaman, ekspresi yang hanya menggunakan mitos lama atau pun baru. Atau sejenis "fondasionalisme": kecenderungan mengintegrasikan kembali, dengan memberikan satu fondasi simbolik, diferensiasi dan keterpisah-pisahan yang lazim terjadi ketika masyarakat bergerak ke arah modern; dalam ikhtiar ini terjadilah penyusunan sebuah "ideologi" umpamanya, seperti yang di Indonesia kini terjadi dengan Pancasila. Reaksi lain terhadap "proyek modernitas" lebih gampangan: kita mendengar, dengan pelbagai versinya, suara pertahanan (atau perlawanan) terhadap "Barat."

Tentu saja "Barat" adalah sebuah kata yang tak jelas artinya. Tetapi memang dari sejarah Eropa kita dapat menyimak, bahwa ada problem-problem yang timbul ketika Zweckrationalitat itulah yang menang--dalam arti memenangkan dan dimenangkan--dalam proses ketika dunia modern masuk.

Secara agak menyederhanakan bisa dikatakan bahwa "akal yang instrumental" ini, seperti dirumuskan oleh Habermas dalam Teori Aksi Komunikatif, ada hubungannya dengan "paradigma filsafat kesadaran", ada hubungannya dengan konsepsi "subyektifitas" yang tidak dialogis, yang merupakan inti dalam pemikiran Barat sejak Descartes: dunia yang dihadirkan kepada sang subyek adalah sebuah jalan ke arah tujuan yang dikehendaki sang subyek. Nalar, dengan demikian, bertumbuh dalam kerangka hubungan cara-dan-tujuan, yang dibentuk oleh dorongan sang subyek untuk menguasai sebuah lingkungan yang pada hakikatnya asing dan ada di luar dirinya. Pemikiran berarti juga comprendre atau begriefen, menangkap, merengkuh, menguasai, "menjinakkan."

Sinyalemen tentang hal itu tentu saja bukan hanya oleh Habermas dan juga bukan hal yang baru. Dalam abad ini kita pernah mendengarnya dari Heidegger dan kemudian, sejak beberapa dasawarsa terakhir, dari para pemikir yang digolongkan ke dalam kalangan "post-strukturalis"--dan bahkan juga dari pemikir Marxis, khususnya dari dua orang wakil terkemuka Mazhab Frankfurt, Adorno dan Horkheimer. Kata "bahkan" barusan tadi harus saya tambahkan, karena sementara Marxisme adalah sebuah kritik yang utama terhadap arus modernitas yang nampak di Eropa semenjak dua abad yang lalu, ia pada umumnya tidak merupakan suara yang masgul, ala Weber, dalam memandang berjalannya "proyek modernitas" semenjak Pencerahan. Bahkan meskipun sekarang bisa diduga banyak suara kaum Marxis, atau Marxisan akan mengecam pemburjuisan dunia, pandangan Marx sendiri (ketika ia di tahun 1853 berbicara tentang akibat pemerintahan kolonial di India) ada yang menunjukkan kecenderungannya untuk melihat penetrasi kapitalisme, yang dibawa kolonialis Eropa ke dalam "modus produksi Asiatik", mempunyai peran yang progresif--karena mengubah cara produksi dan memperkenalkan teknologi.

Kenapa? Pada hemat saya hal ini akan menjadi lebih jelas apabila kita mengikuti pertentangan yang belum juga habis, hingga kini, antara para pemikir Marxis dan pelbagai jenis pernyataan pemikiran "postmodern." Berbicara di tahun 1993, rasanya tidak banyak manfaatnya (dan lagipula tak cukup waktu) kita mengulang semua segi polemik yang tersohor itu. Tetapi ada satu hal yang saya kira layak ditelaah, terutama dalam perspektif kita yang sekarang hidup di Indonesia: setelah Marxisme, setelah mendengar begitu banyak argumen tentang "akhir ideologi" dan cetusan pemikiran "postmodernisme", proyek emansipasi apa lagi yang bisa dihadirkan di sebuah dunia yang masih menyaksikan pengisapan, kesewenang-wenangan, ketidakbebasan? Dengan kata lain, bisakah kita kini berbicara tentang memperbaiki atau "membentuk kembali hidup" seraya tetap merasakan "nafas" dan "jantung" hidup itu, seraya tetap menyadari bahwa hidup "jauh dari jangkauan teoriku dan teorimu yang tak becus"--sebagaimana dikatakan tokoh Yuri Zhivago, novel Pasternak itu?

Kita tahu apa yang terjadi pada Marxisme, salah satu dari teori yang oleh Zhivago dianggap "tak becus" itu.

Yang terjadi pada Marxisme adalah kegagalannya untuk mengatasi paradoks modernitas seperti yang dikemukakan Weber: bahwa "rasionalisasi" atau maraknya rasionalitas dalam kehidupan, yang dalam pandangan Pencerahan dilihat sebagai "kemajuan", pada saat yang sama juga melahirkan apa yang oleh Marx disebut sebagai "reifikasi" (Verdinglichung), satu kasus alienasi, yang represif dan mengasingkan manusia.

Marxisme juga adalah sebuah ekspresi the disenchantment of the world, dan padanya ada niat emansipasi manusia yang dahsyat. Paham ini punya optimisme di kepalanya. Bagi Marx, kita tahu, sebuah masyarakat tak berkelas akan lahir setelah kapitalisme runtuh dan manusia terbebas dari keadaan ketika milik, hubungan dan tindakan manusia berubah menjadi milik, hubungan dan tindakan dari hal-hal yang dihasilkan manusia yang menjadi mandiri dari manusia, bahkan mengatur hidup manusia. Dengan kata lain, pembebasan dari reifikasi. Gambaran tentang reifikasi ini kemudian dikembangkan oleh Lukács dalam Sejarah dan Kesadaran Kelas: ia menganggapnya sebagai suatu keterasingan yang meluas terjadi dalam masyarakat kapitalis dan ekonomi pasar yang maju.

Hal yang sama juga dikemukakan oleh dua pemikir Marxis dari Mazhab Frankfurt, Adorno dan Horkheimer, meskipun dalam menulis Dialektika Pencerahan, Adorno dan Horkheimer tampil dengan kesimpulan dan argumentasi yang berbeda secara mendasar. Mereka, seraya merevisi Marx, melihat bahwa logika modernisasi kapitalisme itu dalam dirinya sendiri tidaklah akan menuju ke arah keruntuhan atau Verelendung, melainkan (seperti dikatakan Weber) munculnya sebuah sistem rasionalitas instrumental dan administratif yang tertutup. Jalan ke luar dari sana, seperti tampak dalam pemikiran Adorno--dan dalam hal ini ia mencoba membawakan optimisme Marxis--ialah melepas-bebaskan potensi dalam peradaban manusia yang selama itu tersembunyi, dengan cara mengubah masyarakat, yang bagi Adorno berarti menyusupkan rasionalitas instrumental di bawah rasionalitas estetik, dan dengan demikian membuat yang estetik sebagai sebuah paradigma dari proses berpikir. Ide tentang "nalar" yang benar, yang tidak menyempitkan manusia, yang "emfatik", bagi Adorno, sebenarnya bukan sekedar khayal.

Tapi bila Marx dan kemudian Lukács melihat kemenangan "akal instrumental" sebagai konsekuensi dari paduan pelbagai keadaan yang terkait dengan suatu tahap sejarah, Adorno dan Horkheimer mencopot konsep reifikasi dari konteks sejarah yang spesifik. Adorno dan Horkheimer melihat masalah "akal instrumental" sebagai sesuatu yang melintasi sejarah. Mereka, dalam kata-kata Habermas, "menghunjamkan mekanisme yang membuahkan reifikasi kesadaran ke dalam dasar antropologis dari sejarah makhluk hidup", yakni ke dalam kenyataan bahwa ada kebutuhan atau keharusan makhluk hidup itu untuk mereproduksikan diri melalui alam. Ini menumbuhkan suatu tendensi yang tak terkait dengan waktu dan tempat, tendensi untuk mendominasi manusia dan alam, yang menemukan kulminasinya pada saat kapitalisme mencapai taraf lanjut. Bisa dikatakan, bahwa para penulis Dialektika Pencerahan, terutama bagi Adorno, kodrat berpikir yang melahirkan konsep (Begriff)-lah yang merupakan akar dari suatu proses rasionalisasi yang mau tak mau akan berakhir dengan berkuasanya Zweckrationalitat, terbangunnya suatu sistem penguasaan yang sepenuhnya dirasionilkan, dan dihabisinya subyek yang otonom.

Tapi bagaimana Marxisme bisa membebaskan manusia dari hal itu? Adorno dan Horkheimer menawarkan sebuah transformasi masyarakat, sebuah revolusi yang melahirkan terbebasnya "nalar" yang benar, yang "emfatik", dalam kehidupan. Saya sendiri belum paham bagaimana itu akan terjadi; kita telah cukup mendengar tentang gagalnya utopia Marxisme lama, dan kita pun layak ragu akan utopia Marxisme baru itu. Adorno dan Horkheimer, seperti juga Marcuse, dengan Mazhab Frankfurt mereka, muncul di akhir 1920-an, setelah kekecewaan atas revolusi komunis di Jerman di tahun 1920-21: revolusi itu gagal, walaupun Jerman adalah sebuah masyarakat industri. Maka mereka pun mencoba mengatasi kemacetan Marxisme. Tapi saya ingat akan apa yang dikatakan Sartre dalam Kritik Tentang Nalar Dialektik tentang kemacetan itu: justru karena Marxisme ingin mengubah dunia, terjadilah keretakan di dalam dirinya, perpisahan antara teori dan praktek. Marxisme, sebuah tafsir filosofis tentang manusia dan sejarah, mau tak mau harus mencerminkan suatu komitmen yang teguh kepada perencanaan. Hasilnya, menurut Sartre, adalah "kekerasan idealistik atas fakta-fakta yang ada." "Bertahun-tahun", kata Sartre pula, "intelektual Marxis yakin bahwa ia sedang mengabdi Partai dengan cara mendistorsikan pengalaman, dengan mengabaikan detail yang membuat rikuh, dengan sangat menyederhanakan data dan di atas semuanya, dengan mengkonseptualisasikan suatu kejadian bahkan sebelum ia mempelajarinya."

Dengan kata lain, Marxisme akhirnya adalah suatu afirmasi bagi akal instrumental, dan pada gilirannya, cenderung mencurahkan segala-galanya dengan menggunakan mekanisme itu--karena atas nama Revolusi, yang mutlak, hal itu adalah niscaya. Revolusi memang memerlukan pemutlakan diri, menyedot semua yang ada di bawah dan di sekitarnya, tapi di situlah justru cacatnya. Seperti dikatakan Marleau-Ponty sekitar 40 tahun yang lalu dalam Advontur Dialektik, sifat yang khas ada pada revolusi ialah "meyakini bahwa dirinya mutlak, dan justru karena keyakinan itu ia menjadi tidak mutlak." Kontradiksi yang inheren seperti itulah yang kemudian menyebabkan Marxisme melahirkan sejenis proses reifikasi ketika ia berkembang sebagai ideologi dan sebagai bagian penting dari sistem kekuasaan. Vaclav Havel, dari pengalaman Cekoslowakia, sesungguhnya menggambarkan keadaan itu ketika ia berkata, bahwa topeng ideologi "menawarkan kepada manusia ilusi tentang identitas dan moralitas, sementara membuat mereka lebih gampang melepaskan diri dari hal-hal itu."

Dari Idealisasi ke Idolisasi

Terutama dilihat dari pandangan seorang yang hidup di "Dunia Ketiga", akar dari semua itu adalah "idealisasi" proletariat, ketika proletariat semakin surut, bahkan mungkin terabaikan, sebagai--untuk memakai istilah Saussurian yang terkenal--referent. Ini boleh dikatakan dimulai ketika Marxisme meletakkan proletariat dalam posisi universal. Bagi Marx, proletariat adalah, sebagaimana dinyatakannya dalam Sumbangan Bagi Kritik Filsafat Hak dari Hegel (1844), "sebuah kelas yang menghapuskan semua kelas, suatu lapisan masyarakat yang mempunyai watak universal karena penderitaannya adalah universal." Tapi tidak amat mudah menelusuri argumen penguniversalan kelas proletariat ini. Dalam tulisan-tulisan Marx kemudian, setelah Ideologi Jerman (ditulis 1845-46) dan Manifesto Komunis, (1848). Penjelasan Marx ialah bahwa revolusi proletar tak akan merupakan kerja sebuah minoritas, dan karena kaum buruh tak punya apa-apa "selain rantai yang membelenggunya", maka bila mereka berkuasa mereka tak akan melahirkan kelas tertindas yang baru.

Tapi posisi pamungkas dan universal dari proletariat ini menjadi problematis, semenjak akhir abad yang lalu. Di akhir abad ke-19, tokoh sosialis Jerman Eduard Bernstein tak lagi melihat kemungkinan kelas pekerja untuk menjadi kelas yang mengakhiri sejarah. Verelendung kapitalisme ternyata tak kunjung terjadi, atau dalam kata-kata Bernstein "petani tak tenggelam, kelas menengah tak menghilang, krisis tak berkembang terus menjadi lebih besar." Bernstein tak lagi melihat akan terjadinya revolusi proletariat yang sungguh-sungguh. Dalam paruh kedua abad ke-20 bahkan para pemikir Marxis yang termasuk mazhab Frankfurt mulai meletakkan harapan perubahan sosial bukan lagi oleh proletariat, dan ketika terjadi gelombang protes mahasiswa di Prancis dan Jerman akhir 1960-an, posisi universal proletariat bahkan tak disebut-sebut lagi.

Di kubu lain yang berlawanan dengan pandangan Bernstein, Lenin menampilkan argumen yang pada akhirnya merupakan transformasi pengertian "kelas pekerja"--juga ketika prospek "revolusi kelas pekerja" tidak segera nampak di depan mata. Lenin berangkat dari kehendak untuk mengadakan revolusi di Rusia, sebuah masyarakat yang belum cukup banyak proletariatnya. Dalam argumen Lenin, Rusia memerlukan "dua tahap revolusi"--dan argumen inilah yang jadi pedoman pokok teori kaum komunis di "Dunia Ketiga", termasuk di Indonesia. Menurut Lenin, seperti dinyatakannya dalam Dua Taktik Sosial Demokrasi (ditulis di Jenewa 1905), dalam masyarakat seperti Rusia, yang lebih ditanggungkan oleh kelas pekerja bukanlah kapitalisme, melainkan lebih berupa "perkembangan kapitalisme yang tak memadai." Sebab itu di Rusia harus berlangsung lebih dulu tahap revolusi "borjuis" yang "demokratis"--untuk kemudian disusul tahap "proletariat" yang "sosialistis".

Dalam tahap pertama, yang harus dihancurkan ialah "semua sisa-sisa tatanan lama yang menghalangi perkembangan kapitalisme yang luas, bebas dan cepat." Dalam masa itu kelas buruh bersatu dengan kelas borjuis, tetapi "kelas proletar" tidak boleh "membiarkan kepemimpinan revolusi di tangan kaum borjuis." Dalam hal ini Lenin tidak cukup menjelaskan, bagaimana kelas buruh, yang merupakan minoritas, dapat mengasumsikan diri sebagai yang berhak memimpin revolusi yang sifatnya demokratis. Pada hemat saya, di sinilah mulai jelas kelihatan apa yang terjadi dengan pengertian "proletariat": ia telah mengalami sebuah "idealisasi".

Tulisan Lenin Apa Yang Harus dilakukan (1901) memang telah menunjukkan bahwa pengalaman "proletariat" akhirnya digantikan dengan "kesadaran kelas proletariat." Peran teori menjadi sentral. "Tanpa teori revolusioner tak akan ada gerakan revolusioner", demikian kata-kata Lenin yang termashur. Dan sebagai konsekuensinya, para perumus teori--kaum intelektual--menjadi menentukan. "Tak bakal ada kesadaran sosial-demokratis di antara para pekerja. Kesadaran itu harus dibawa ke mereka dari luar", kata Lenin, seperti halnya Kautsky. Bersamaan dengan itu, organisasi revolusi "harus terdiri terutama dan pertama-tama oleh orang-orang yang menganggap kegiatan revolusioner sebagai profesi mereka." Pada akhirnya kita tahu, "proletariat" sebagai suatu realitas yang kongkrit telah digantikan oleh sebuah konsep.

"Idealisasi" ini pada gilirannya berkembang menjadi "idolisasi", atau pemberhalaan proletariat, satu hal yang menyebabkan bahkan dalam analisa Mao Zhedong tentang masyarakat Cina dan revolusi Cina--sebuah pegangan pokok bagi program umum Partai Komunis Cina--tetap menyebut kemestian adanya "kepemimpinan proletariat" dalam kedua tahap revolusi itu.

"Idealisasi" dan "idolisasi" proletariat juga nampak dalam sebuah tulisan Bung Karno dalam Di Bawah Bendera Revolusi, tentang "Marhaen dan Proletar": Bung Karno juga menyebutkan kemestian kepemimpinan "kelas proletar" dalam revolusi yang dua tahap. Hal yang sama juga terlihat dalam pemikiran kaum perumus theologi pembebasan di Amerika Latin, seperti tercantum dalam kesimpulan Konvensi Christians for Socialism di Santiago (Chile) 1972, yang menganggap--di kancah sebuah masyarakat yang pada umumnya pra-industrial--proletariat sebagai "wakil tunggal" rakyat yang tertindas.

Dalam hal itu kiranya apa yang dikatakan Lyotard bisa dimengerti, dalam suatu perdebatan di London di tahun 1985: "Tak seorang pun yang pernah melihat proletariat." Dalam argumentasi Lyotard, "persoalan tentang proletariat adalah persoalan mengetahui apakah kata ini harus dipahami dalam artian dialektika Hegelian seraya berharap menemukan sesuatu dalam pengalaman yang cocok dengan konsep itu ataukah istilah 'proletariat' merupakan nama sebuah Ide tentang Nalar (an Idea of Reason), nama dari suatu subyek yang harus dibebaskan?" Jika yang dimaksud dengan "proletariat" adalah yang terakhir, kata Lyotard, kita harus melepaskan pretensi bahwa kita dapat "menghadirkan sesuatu dalam pengalaman yang sesuai dengan istilah itu."

Di sini agaknya kita memasuki suatu masalah epistemologis yang pada akhirnya akan berkait dengan agenda emansipasi, dengan keinginan untuk "membentuk kembali hidup"--untuk memakai kata-kata Yuri Zhivago. Salah satu bagian dari reaksi terhadap Lyotard dalam buku Christopher Norris terbaru, The Truth about Postmodernism (1993) menyatakan, bahwa problem kita di sekitar poststrukturalisme ialah karena ia menampik penting dan relevannya deskripsi yang bersifat kategorial. Poststrukturalisme, dalam kata-kata Norris, "berusaha memblok acuan ke setiap pengetahuan dan pengalaman dunia-nyata." Padahal orang berbicara dengan menggunakan pengertian "kelas", misalnya, lantaran ia bertolak dari dasar "ethiko-politikal" dan "kognitif", dalam usaha "mencatat penderitaan dan kesia-siaan manusia yang terjadi karena pelbagai tindakan diskriminatif."


Jamak, Bergerak, Tak Hirarkis

Persoalannya kemudian: bagaimana kita memandang dan berbicara tentang liyan (terjemahan sementara, dengan bahasa Jawa, atas "the Other" atau "Sang Lain"--person lain, diri kita sendiri sebagai bahan renungan, dan alam di luar). Di satu pihak kita tak mudah membebaskan diri dari rasionalitas yang membuahkan konsep, bahkan kita memerlukannya. Di lain pihak kita telah menyaksikan terjadinya "idealisasi" atas suatu konsep, dan seperti umumnya pemberhalaan, yang terjadi adalah alienasi. Kita telah menyaksikan identifikasi konsep dengan obyek atau bendanya, bahkan pengutamaan konsep di atas obyek atau bendanya, yang menimbulkan "pengorbanan yang pahit atas keanekaragaman kualitatif dari pengalaman."

Kata-kata yang terakhir itu saya pinjam dari Adorno, yang, seperti telah kita ketahui, melihat sebagai salah satu akar dari proses rasionalisasi--yang akhirnya mengunggulkan "akal instrumental"--adalah diutamakannya konsep (Begriff) atas obyek-obyek yang sangat beragam. Konsep pula yang mengatur--untuk meminjam kata-kata Fredric Jameson dalam pembahasannya tentang penulis Dialektika Pencerahan dan Dialektika Negatif itu--"the 'blooming, buzzing confusion' of the natural state into so many abstract girds." Bahwa di situ implisit terdapat gugatan terhadap dominasi (yang terjadi karena akal yang instrumental), bahwa di situ juga tersirat kerinduan akan keanekaragaman, gerak, pluralitas, dengan kata lain kerinduan kepada dunia kehidupan yang kongkrit, nampaknya jelas. Tidak mengherankan bila Fredric Jameson menyebut bahwa pandangan seperti itulah yang menyebabkan dikaitkannya Adorno dengan "postmodernisme". Tidak seluruhnya benar, tapi dalam arti tertentu, ini dapat diartikan pula bahwa kehendak untuk melintasi, atau terlepas, dari sifat represif dan palsu dari konseptualisasi merupakan keprihatinan yang luas.

Tapi bagaimana? Bagaimana kita bisa "membentuk kembali hidup" sementara menerima hidup sebagai Yuri Zhivago menerimanya, yakni bukan sebagai "bahan", bukan sebagai "zat yang harus dibentuk", melainkan sebagai "prinsip pembaharuan-diri, yang terus-menerus memperbaharui dan membuat dan berubah dan mengubah diri"?

Pandangan Zhivago tentang hidup tentu saja sebuah pandangan Herakleitan. Pengertian Herakleitan saya pinjam dari Page duBois (sebagaimana dikutip dalam The Truth about Postmodernism): pandangan yang "merayakan alir, waktu, perbedaan." Bagi Herakleitus--filosof sebelum masa Sokrates yang di awal abad ke-20 menitis dalam Henri Bergson, dan kini seakan-akan menjelma kembali dalam pelbagai pemikiran "postmodernis", terutama, kalau tak salah, pada Deleuze--kebenaran adalah "proses dan menjadi, diperoleh melalui observasi, dan bukannya suatu kebenaran abadi yang tetap, sakti dan suci dan tak dapat diungkit-ungkit."

Nampak bahwa setidaknya ada dua masalah yang muncul dari cerita tentang kebenaran yang seperti itu. Yang pertama ialah bagaimana kita, seraya hendak melakukan tindakan, atas dasar yang kita anggap benar waktu itu, dapat terus menerus hanya merayakan kebenaran sebagai "proses" dan "menjadi", tanpa berhenti sejenak dan merumuskan apa yang berproses dan apa yang menjadi itu. Dengan kata lain, bagaimana kita mungkin untuk tidak mengidentifikasikan hal-hal--terutama ketika bukan saja hendak "mencatat penderitaan dan kesia-siaan manusia", melainkan juga untuk menyusun suatu agenda pembebasannya. Sebab inilah yang sering ditembakkan kepada kaum "postmodernis", terutama pada Derrida, yang oleh seorang pengritik Marxis disebut sebagai pembawa "filsafat bahasa yang secara radikal antirealis, yang tak memberi kita kemungkinan untuk mengetahui realitas di luar wacana" dan sebab itu tak mempersoalkan "hubungan antara bentuk-bentuk wacana dan praktek sosial." Bisakah dengan filsafat seperti itu kita punya dasar untuk bersikap, dan berbuat, dalam tataran etik dan politik--suatu hal yang umumnya dianggap esensial dalam pembebasan? Bisakah kita selalu mengatakan, "kebisuan mereka adalah adil", seperti tulis Derrida tentang mereka yang tertindas oleh apartheid?

Mengaitkan proses "merumuskan" atau "mengetahui" dengan "menguasai", kita tahu, memang salah satu ciri dari sikap "postmodernis." Tidak mengherankan bila mereka acapkali menoleh kembali kepada Heidegger, yang--dengan tinjauan yang kritis dan muram tentang modernitas--membedakan antara pengertian Gestell dan Gelassenheit. Dengan mencoba menyederhanakan pengertian yang rumit itu, bisa dikatakan di sini bahwa dalam hal yang pertama, sikap kita kepada "yang lain", atau sikap kita terhadap liyan, ialah menjangkau dan menangkap dan meletakkanya dalam posisi tertentu, membubuhkan cap, memperlakukannya sebagai bahan, suatu penghematan atas kehadiran liyan di hadapan kita--suatu sikap yang melahirkan perkembangan teknologi. Dalam hal Gelassenheit, yang bisa diartikan sebagai sikap melepas, membiarkan, sikap kita ialah membuka diri kepada liyan, yang hadir sebagaimana adanya dalam kekhususannya, bersama kita yang terbatas. Mungkin kita bisa menggunakan kata Jawa sikap sumeleh di sini--yang berarti, kurang-lebih, meletakkan diri dalam posisi tidak bersikeras, karena kita pada akhirnya toh fana, terbatas: suatu orientasi yang memungkinkan kehadiran liyan dalam jamak, bergerak, tak hierarkis. Seorang penafsir Heidegger, Rainer Schurmann, mengatakan bahwa mempraktekkan Gelassenheit ialah mempraktekkan politik "makhluk yang fana", bukan politik dari "hewan yang rasional."

Tentu saja, ada yang memikat dalam alternatif berpolitik seperti itu. Schurmann mengemukakan suatu pilihan yang disebutnya "praksis anarkis". Bukan "anarkis" seperti dalam teori politik kaum anarkis, melainkan suatu "permainan" dari sesuatu yang mengalir, "tanpa stabilisasi", dan mungkin juga "dilaksanakan sampai ke suatu fluktuasi lembaga-lembaga yang tak henti-hentinya." Dan juga: tanpa teori, tanpa suatu dasar bersama, sebab semua itu bisa dianggap merampat-papankan, dan dengan demikian represif. Dengan praksis semacam itulah kita bisa berpolitik, menjalankan tindakan, tanpa menutup parameter pikiran kita agar beberapa dimensi kekhususan dan perbedaan dalam diri liyan, menjadi satu, menjadi homogen.



Ontologi Ketidaksepakatan


Dari sikap seperti ini yang mungkin lahir ialah bentuk-bentuk gerakan atau sistem demokrasi yang "radikal" tetapi kecil--"radikal" dalam arti kembali kepada akar demokrasi itu sendiri, yakni sikap yang merayakan keanekaragaman, kekhususan, kebersamaan yang tanpa hierarki. Namun, ada satu soal: bagaimana dalam kancah itu orang saling melahirkan dan mempertahankan prosedur yang bisa diterima bersama untuk membuat politik tetap terbuka--ataukah itu juga tidak diperlukan? Seperti yang dikemukakan oleh Hayden White dalam Political Theory and Postmodernism, para pemikir "postmodernis" tidak bisa menjadikan ini tema mereka. Mereka mengemukakan hanya dua cara berpikir: atau modus yang terjerat dalam Gestell, atau modus yang tak punya target, tujuan atau "kenapa"--pendek kata, tak punya suatu konsensus bahkan tentang alasan diri sendiri untuk berada bersama.

Dari sinilah kita memasuki persoalan kedua: persoalan yang lahir dari apa yang oleh seorang komentator Foucault disebut sebagai an ontology of discord, suatu ontologi "ketidaksepakatan." Menghadapi perabotan kognitif yang memperkenalkan kesatuan, konsensus dan ketertib-rapian, mereka, terutama Foucault, menuding bagaimana dengan perabotan kognitif yang seperti itu, liyan pun digusur, dipinggirkan, secara paksa diseragamkan, dan didevaluasi. Menghadapi itu, yang harus dilakukan ialah membangkitkan pengalaman tentang ketidaksepakatan dan ketidakcocokan, antara konstruksi sosial tentang diri, kebenaran dan rasionalitas dan apa yang tidak pas masuk ke dalam wadah yang disediakan itu. Dengan kata lain, suara sumbang diberi kesempatan untuk tampil. Maka Foucault pun berbicara untuk "mengaktifkan kembali pengetahuan-pengetahuan lokal". Itulah perlawanan terhadap "hierarki ilmiah pengetahuan", katanya.

Dalam semangat yang kurang lebih sama, Lyotard menampik konsensus. Ia menampik setiap usaha untuk membangun satu meta-wacana. Ia mempraktekkan la paralogie, untuk mempertahankan kenyataan adanya keragaman "olah-basa" (les jeux de langage), Konsensus, seperti dikatakannya dalam risalahnya yang terkenal, Kondisi Postmodern, melakukan "kekerasan terhadap keragaman olah-basa." Bahkan Lyotard tidak bisa sesuai dengan tafsir liberalisme tentang keadilan, tafsir yang dipaparkan oleh John Rawls dalam A Theory of Justice-nya yang terkenal, misalnya. Dengan tinjauan yang mengikuti la paralogie, akan nampak ide keadilan dalam liberalisme masih tetap berkait dengan gagasan konsensus: keragaman disubordanisasikan di bawah seperangkat asas-asas universal. Agaknya bagi Lyotard, dan agaknya juga bagi Foucault, argumentasi untuk suatu "praksis anarkis" adalah yang paling tepat.

Saya tidak bisa mengatakan, bagaimana hal itu beroperasi dalam kehidupan sehari-hari, untuk masa yang panjang; diagnosa dan terapi para pemikir "postmodernis" bagi saya sering terdengar seperti sejumlah hiperbol. Meskipun demikian, di sebuah masyarakat di mana sikap integralistik sangat kuat, dalam suatu masyarakat yang jalan menuju pertumbuhan ekonomi dengan imperatif kesatuan, harmoni, ketertib-rapian, aksentuasi yang diberikan oleh Foucault dan Lyotard untuk meramaikan heterogenitas dan "ontologi ketidaksepakatan" bukanlah sekedar versi yang lebih ramai, tapi boyak, dari liberalisme. Sikap Derrida yang selalu mempertanyakan, menunda, dan merenung dalam "filsafat keraguan ini", pandangannya yang cenderung untuk melihat demokrasi sebagai proses yang selalu diikhtiarkan, sebagai tugas dan tanggungjawab yang tak ada batasnya, la democratie a venir, dalam batas tertentu merupakan ekspresi oposisional terhadap represi yang terjadi ketika kepastian-kepastian kategoris tentang kebenaran menguasai ruang hidup kita. Singkatnya "postmodernisme" bisa merupakan ilham emansipasi tersendiri.

Namun dengan demikian, ia tidak niscaya sesuatu yang "postmodern"--jika kita memang bermaksud menunjuk kepada satu periode, suatu era, yang bagi saya di Indonesia di tahun 1993, tidak jelas batasan-batasannya. Kalau tak salah Lyotard pernah mengatakan, bahwa "postmodernisme" lebih merupakan suatu sikap, dan mungkin itu lebih tepat. Meskipun, dari posisi seorang Indonesia di hari ini, saya kira kita lebih baik berbicara tentang "non-", atau "anti-", atau "postintegralisme" ketimbang "postmodernisme": dengan semangat yang tak jauh berbeda--yakni semangat mengakui dan merayakan integritas, kekhususan dan perbedaan orang lain, liya-lyaning liyan--tapi dengan sikap yang lebih peka kepada konteks, kepada apa yang kita sebut sebagai "sejarah."



Catatan:

1 Tentu saja Marxisme tidak berada di bawah satu atap. Pengertian "Marxisme" bisa berarti
pemikiran Marx sendiri, tetapi juga bisa ide-ide yang dikembangkan oleh bermacam ragam
pemikir yang menyebut diri "Marxis." Kita ingat bahwa di awal 1880-an Marx, yang berada di
London, diserang oleh para pengikutnya di Paris, yang mengklaim bahwa paham merekalah yang
benar-benar "sosialisme ilmiah" yang dibangun Marx. Syahdan Marx pun berkata, sebagaimana
dikutip oleh Lafargue, bahwa "Jika ada hal yang pasti, itu adalah bahwa saya bukanlah Marxis."
Dalam tulisan ini, saya menggabungkan semua arti "Marxisme" itu, dengan mencoba menunjukkan
perkembangan dan perubahannya.
2 Proses "idealisasi" itu juga masih nampak dalam teori Lukacs yang terkenal, dalam Sejarah dan
Kesadaran Kelas (1923), yang menyebut bahwa "kesadaran kelas" itu terdiri dari "reaksi yang
rasional dan tepat" yang "dikaitkan" ke sebuah posisi tertentu yang khas dalam proses produksi.
Dengan kata lain, sebuah kelas yang secara empiris ada hanya dapat bertindak secara berhasil
bila mengubah diri (dalam bahasa Hegelian) dari "kelas dalam dirinya" menjadi "kelas untuk
dirinya." Marx sendiri memang, sejak awal, membedakan situasi obyektif sebuah kelas dan
kesadaran subyektifnya. Tetapi perkembangan Marxisme kemudian menunjukkan proses
"idealisasi" yang bukan saja menyatakan supremasi kesadaran (politik) kelas di atas pengalaman
kelas, melainkan juga transformasi dari pengertian "ideologi." Ideologi, kita tahu, bagi Marx pada
awalnya merupakan suatu cermin "terbalik" dari kenyataan sosial-historis--dengan kata lain,
sesuatu yang negatif, sesuatu yang niscaya mendistorsikan kenyataan dengan menyembunyikan
kontradiksi yang ada, seperti tinjauan Marx tentang agama, ketika ia membantah Feuerbach. Tapi
dalam pelbagai pemikir Marxis kemudian (kecuali Adorno, barangkali) pengertian ideologi
menjadi sesuatu yang tidak negatif, melainkan netral: totalitas bentuk-bentuk kesadaran yang
mencerminkan suatu kelas sosial tertentu, sebuah pandangan yang jelas jadi pegangan Gramsci
ketika ia berbicara tentang "hegemoni." Bahkan semenjak Lenin, terutama Mao, ideologi menjadi
sama dengan teori atau pegangan bertindak: sesuatu yang menentukan, bukan lagi sesuatu yang
ditentukan.
3 Rex Mortimer, dalam Stubborn Survivors, mencoba menunjukkan bahwa pemikiran Mao
berbeda dengan Marxisme Eropa: ia menganggap petani sebagai pemilik tekad revolusioner yang
terbaik" untuk menciptakan "sebuah masyarakat sosialis yang sejati", dan bahwa "industrialisasi
secara intrinsik bersifat eksploitatif, imperialistik dan mengkorupsi." Tetapi ia nampaknya
mengabaikan apa yang dikatakan Mao sendiri, dan juga kenyataan bahwa Partai Komunis tetap
berkuasa sebagai partai kelas pekerja, dan bahwa Mao pernah mencoba melampaui industrialisasi
Inggris dengan gerakan "Loncatan Besar Ke Depan".


Tulisan ini diambil dari Jurnal Kalam, edisi 1 - 1994.

Globalisasi atau Imperialisme; James petras dan veltmeyer imperialisme abad 21

Globallisasi menempati titik sentral dalam berbagai intelekual dan politik yang menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang krusial tentang apa oleh banyak orang dipandang fundamental dan dinamis pada jaman kita ini. Globalisasi merupakan deskripsi dan sekaligus preskripsi dan dengan demikian Gloobalisasi merupakan penjelasan tetapi sayang merupakan penjelasan yang tak mewadahi yang sekarang mendominasi pemikiran, pengambilan keputusan dan praktik politik. Sebagai sebuah deskripsi, Globalisasi mengacu pada perluasan dan penguatan arus perdagangan modal dan teknologi serta informasi internasional dalam sebuah pasar global yang menyatu.

Sebagai sebuah preskripsi globalisasi meliputi liberalisasi pasar global dan pasar nasional dengan asumsi bahwa arus perdagangan bebas, modal dan informasi akan menciptakan hasil yang terbaik bagi pertumbuhan dan perkembangan sentra kemakmuran manusia (UNDP,1992). Ketika digunakan baik untuk mendeskripsikan maupun mempreskripsikan istilah globalisasi ini biasanya dihadirkan dengan suatu nuansa keyakinan yang niscaya dan amat kuat yang mengingkari akar-akar ideologinya. Dari perspektif keniscayaan globallisasi masalahnya adalah bagaimana suatu negara atau kelompok negara tertentu dapat menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam ekonomi dunia dan menempatkan dirinya dalam proses globalisasi dengan syarat-syarat yang peling menguntungkan. Griffin untuk satu-satunya hal percaya bahwa integrsasi dan penyesuasian semacam itu diperlukan dan dimungkinkan. Masalahnya menurutnya adalah bagaimana kekuatan-kekuatan yang mendororng proses globalisasi dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan-kebutuhan pembangunan kemanusiaan (Griffin dan khan,1992).

Keniscayaan globalisasi merupakan sebuah isu-isu kritis tetapi isu yang lebih kritis lagi barangkali adalah wacana globalisasi yang dirancang untuk bersembunyi dan membuat bingung: bentuk imperialisme masa sekarang  sebuah sistem kapitalis yang makin mendunia untuk mengatur produksi ekonomi dan masyarakat.

Dinamika perubahan: kapitalisme dunia masa kini.
Sebenarnya globalisasi merupakan sebuah pergeseran modal yang menentukan dan telah terjadi. Yang jadi pertanyaan adalah apakah globalisasi mengambarkan sebuah fenomena yang baru secara kualitatif atau sekedar fase yang lain dari proses ekspansi imperialis historis yang panjang. Jawaban apapun atas pertanyaa ini memungkinkan meng-identifikasi-kan dalam sebuah sejarah perkembangan kapitalis adanya serangkaian gelombang panjang yang dalam proses akumulasi modal dan restrukturisasi selanjutnya terhadap keseluruhan sistem kapitalis ini.ada beberapa kunci struktur sistem kapitalis

1. konsentrasi dan sentralisasi modal yang berlangsung dalam dekade akhir abad 19 dalam konteks sistem krirsis sistematik pada akhir tahun 1970 yang mengakibatkan bergabungnya industri besar dan bentuk-bentuk pembiayaan modal tumbuhnya berbagai monopoli perusahaan pembagian teritorial dunia menjadi koloni-koloni, ekspor modal, dan perluasan pasar ke seluruh dunia berdasarkan pembagian kerja antar negara yang khusus memproduksi barang-barang manufaktur dan negara-negara yang berorientasi pada produksi komoditi dan bahan-bahan mentah.

2. pengadopsian rezim Fordist atas akumulasi dan mode regulasi manghasilkan sebuah sistem produksi masal dan manejemen buruh secara ilmiah dalamkegiatan produksi dalam berbagai formasi dalam negara – bangsa.

3. di bawah teklana  serikat-serikat buruh dan partai kiri sejumlah reformasi ekonomi dan sosial yang diarahkan oleh negara telah menciptakan kondisi politik bagi keseimbangan modal-buruh berdasarkan poroduktifitas buruh redistribusi sosial pendapatan yang diperoleh dari pasar, dan legitimasi sebua negara kapitalisme dengasn program-program sosialnya. Dan jaminan penghapusasn pengangguran. Reformasi-reformasi yang dimulkai sejak pernag duniaII yang tidak diikuti dengan perjuanagan kelas reformasi ini yang kemudian merspon tuntutan yang dibuat oleh marx dalam bukunya Communist manifesto menghasilakn apa yang disebut Patel (1993) sebagai penjinakan kapitalisme “ .

4. dalam konteks pembagian dunia menjadi timur-barat pasca perang dunia II yakni hegemoni Amerika Serikat dalam sistem perekonomian dunia,proses dekolonisasi dan kesepakatan bretten woods suntutk membentuk tatanan ekonomi dunia yang liberal menciptakan sebuuah kerangkan dalampertumbuhan keonomi dan perkembangan kapitalisme yang cepat secara terusmenerus selama dua ppuluh lima tahunzaman keemasan kapitalisme “ Marglin dan schor, 1990 “ dengan tatanan seperti ini banyak membut negara dunia ketiga yang membnetuk kelompok seperti kelompok 77 di PBB digiring menuju proses pembangunan yang menghasilkan apa yang oleh Patel (1992) yang disebut “ jaman keemasasn utara” yang ditandai dengan pertumbuhan ekonomi dan kemajuan dalam pembangunan sosial yang tinggi.

5. negara dalam contoh dikonversi mejdai agen utama bagi pembangunan nasional yang mengimplementasikan model ekonomi yang bersendikan ekonomi naionalisme industrialisasi dan modernisasi proteksi terhadap industri domestik, perluasan serta penguatan pasar domestik untuk menyatukan kelas pekerja dan produsen langsung.

Menjelang akhir tahun 60-an dasar-dasar sistem ini mulai nberantakan dalam konodi produksi yang stagnan produktifitas yang yang menurun serta konflik kelas yangmakin kuat melampaui upah yang tinggi keuntungan sosial yang besar dan kondisi-kondisi kerjia yang lebih baik.

Dalam konteks ini muncullah dua aliran ekonomi politik satu menekankan pada inheren kapitalisme yang mengarah pada krisisdam kontradiksi sosial yang sevcara kronis mengacau seluruh wilyah kehidupan kapitalis satunya lagi menekankan dan memepokusskan pada berbagai bantuk dan tingkat respon terhadap krisis yang sistemik. Ada beberapa respon yang strategis unutk mengidentifikasikan  hal ini :
  1. Beragam upaya pemerintah Amerika Serikat untuk mengganti tekanan-tekanan pasar dunia pada alat-alat produksi yang terefleksikan dalam merosotnya keseimbangan perdagangan dan hilangnya pangssa pasar yang menguntungkan perekonomian jerman dan jepang. Upaya ini termasuk menentukan nilai, dan kurs dolar.
  2. Relokasi oleh perusahaan dan transnasional atas operasi padat karya milik mereka untukmencari buruh yang lebih murah.dalam proses ini muncullah pembagian kerja internasional yang baru yang ditandai dengan  tumbuhnya sebuah sistem produksi global baru yang berdasarkan operasi perusahaan trannasional dan cabang-cabangnya.
  3. Internasionalisasi modal dalam, bnetuk yang produktif (investasi untuk perluasan modal perdagangan dan produksi) dan bentuk-bentuk yang tidak produkt6if ataua  spekulatif. Kekuatan penetu dibalik proses ini adalah kebijjakan libaralisasi dan deregulasi dalam  roda pasar uang yang mengglobal dan menggelembung ini yang olh konferensi perdaganagan dan pembangunan PBB (UNCTAD,1994:83) didefinisikan sebagai “kurang visible tetapi jauh lebih kuat” dibanding aliran modal yang lain.
  4. Pembentukan dan pertumbuihan sebuah sistem produksi integral berdasarkan pembagian kerja internasional yang baru, operasi-operasi global dan strategi-strategi perusahaan-perusahaan transnasioanl, kerangka yang mendukung dan teknologi-teknologi yang baru. Faktor ini secara dramatis telah memeperpenden dan menurunkan nilai/ biaya kamunikasi dan transpormasi modal dalamproses (UNCTAD,1994: 123).
  5. Pengadopsian metode-metode produksi yang baru dan fleksibel berdasarkan rezim (model)akumulasi pasca-Fordist dan mode (atau struktur sosial) regu;lasi modal dan buruh. Metode ini dilandasi dengan apa yang disebut “ struktur sosial akumulasi” baru, sebuah strujtur yang mensyaratkan perubahan radikal dan relasi antara modal dan buruh
  6. Pada tahun 80-an dan 90-an modal secara langsunng menyerang upah buruh kondisi dan kepentingannya serta kapasitasnya untuk mengatur dan menegosiasikan kontrak-kontran mereka. Serangan inimnegmbil beberapa bentuk yang mereflekdikan dalambukti nyata yakni kapasitas dan tingkaty pengaturan buruh yang tereduksi, pemampatan dan sebaran upah yang terpolarissasi turunnya upah sebagai bagiaan  dari pendapatan nasional perubahan ayang tamapak meluas dalams truktur pasar buruh di seluruh duniadan kondisi kerja serta pengngguran yang terkait dengannya terbukti bahwa buruhtelah menimbulkan bagi proses restrukturisasi dan penyesuaian dalam konteks global bahwa UnCTAD memperkirakan 120 pekreeja kini secara reski menganggur an 700 jjuta lainnya benar-benar setengah mengnggur terpisah dari alat-akat produksi mereka dan menambah kesusahan yang oleh ILO disebut sektor tak terstrutur tau informal yang berjumlah lerbih dari 50%dari angkatan kerja di negara berkembang ( ILO: 1996,McMichael,1996).
  7. Pembentukan tatanan dunia baru diwujudkan dengan mendirikan IMFd an Bank Dunia yang menentuka kerangka institusi bagi proses perkembangan kapitalisme dan perdagangan internasional yang bebas. Upaya pembentukan tatanan dunia baru dalam pengadopsianprogram penyesuain struktural di berbagai tempat mengarah suatu kerangka kebijakan baru yang mendukung rezim perdsagangan bebas global dan konstitusi perkonomianimperial baru.satu-satunya faktor yang terlewatkan ada;lah kesepakatan umum yang mengatur aliran bebas modal dan infestasi. Kerugian negara yang kurang maju akibat pertumbuhan pendapatan global berkat GATT dan akibat akses terhadap perdagangan buruh dan modal di antara mereka yang tidak adil-diperkiraikan oleh UNDP sebesar 500 juta dollar pertahun sepulkuh kali dari apa yang m,ereka terima setiap tahun dalam bentuk bantuan asing (1992:87).
  8. Resatrukturiasasi negara kpitalis untuk menjalankan proyek imperial. Aglietta (1982) dan para reghulasionis p-erkonomian dunia diteorisasikan sebagai sebuah sistem formasi-formasi sosial kebangsaan yang saling menyilang yakni negara bangsa yang telah mampu melawan seperti apa yang dikatakan Petras (1985) sebgai “ tirani globalisasi”. Seperti Lipets (1987,:24-25) yang mengnut teori samna denganAglietta, katakan, “sebuah sistem tidak boleh dilihat sebgai struktur yang disengaja atau talkdir yangtidak bisa dielakkan karena koherensinya … merupakan dampak dari interaksi antara beberapa proses yang otonom dampak dari koomplementaris dan antagonisme yang stabil untuk Sementara waktu yang terdapat di berbagai rezim akumulais nasional.

Keuntungan-keuntungan ekonomi dari Globalisasi dan Distribusi
Ketidakadilan sosial dalam hal distribusi sumber-sumber ekonomi dan produksi dan pendapatan tyampak semakin besar di berbagai tempat. UNDP dalam laporan Human Development tahun 1992 menyeburjan bahwa sejak tahun 69-89 negara-negara terkaya memiliki 20% dari seluruh penduduk dunia menerima kenaikan hasil (pendapatan) global 70,2% manjadi 82,7%sedangkan pendapatan negara termiskin dengan 20% penduduk dunia turun dari 2.3%menjadi 1,4%. Dari bank dunia dan IMF mengakui bahwa sejumlah negara besar telah mengalami kemundudran dalam pembangunan mereka bahkan sampai pada tingkat pada tahun 1980-an. Dalam mhalini jelas negra telah mengalami gagal dalam merasakan pembangunan atau gagal dalam seperti bank dunia sebutkan sebagai “kecenderungan pada kemakmuran”.

Bank dunia menuturkan bahwa dengan kebijjakan-kebijaksn ysng tepat gap pendapatan di atas dapat dihilangkan dan semakin banyak negara yang bisa mengikukti “kecenderungan pada kemakmuran”. Dengan sebuah teori yang yyang konversi manjadi sebuah doktrin ketidakadilan-ketidakadilan yang semakin tinggi pada umumnya dipandang sebagai admpak janbgka pendek yang tak terelakkan dari proses pertumbuhan yang diarahkan oleh pasar karena menibgkatnya tabungan nasional dan keccenderungan yang semakin besar untuk menginvesrtasikan tabungan ini. Logikanya adadlah bahwa syarat-syarat yang diperlukan untuk meningkatkan angka tabungan dan investasi tersebut mencakup bagian modal yang lebih besar dari pendapatan nasional dan oleh karenanya penurunan bagiuan pendapatan yang tersedia untuk konsumsi yakni uyang terrdistribusi dalm bentuk upah dan gaji. Dimensi politik dari ketidakadilan-ketidakadilan sosial global ini menjadi pengamatan dalam kebijakan yang korektif. Masalahnya adalah ketidakpuasan sosial yang disebabkan oleh ketidakadilan-ketidakadilan tersebut bisa dimobiisir menjadi gerakan oposisi dan resistensi yang mendorong proses penyesuaian yang berpotensi mendesstabilisasikan rejim-rejim politik yang membuat ketidakailan tersebut.

Dalam hal ini ad pendap[at yanng cukup menarik yang dilontarkan oleh Griffin (1995) bahwa ketidakadilan pendapatan global telah mulai dalam tahun-tahun belakangan. Dalam pandangan ini tidaklah mmungkin bisa didelarsakan oeh pandangan Bienefeld dan para sarjana lalinnya bahwa Gap Utara-Selatan dalam hal kekayaan dan pendapatan semakin besar dan cepat dibawah kondisi penyesuaian stryktur dan Global?.walaupoun sebagaimana kata Bienefeld (1995), kebanyakan negara miskin tidak memiliki akses terhadap sumber-sumkber produksi yang bisa mengahasilkan pendapatan. Dan dengan tumbuhnya sektor informal dunia dan aktivitas atau bentuk pekerjaan berpendapatan rendah secara eksplosif serta penurunan upah nyata dan pendapatan secara tajam dinelahan dunia sebagian besar penduduk dunia menjadi lebih buruk saat ini dibanding tahun dulu.

Dinamika proses emacam ini bisa terbentuk kekuatan sttruktur (atau bagaimana kekuatan tersebut tampak dimaqta banyak ekonom) tetapi kekuatan itu berhubungan dengan aksi yang dilakukan oleh organisasi dan perusahaan kapitalis demi kepentingannya sendiri. I9nilah maslahnya yang seloalu diabaikanb oleh para ekonom yang dilontarkan oeh perdana menteri malaysia dalam komemtarnya yang kritis tentanmng sistem ekonomi global yang menbiarkan “para pedagang itu mendapatkan keuntungan jutaan dolar dan samam sekali tidak membayar pajak untuk negara yang dimiskinkan oleh mereka”

“pandangan Globalis” ytang mendiskripsikan pasar dunia tersusun dari perekonomian nasional yang integral dan interdependen ini seluruhnya dihancurkan oleh peristiwa yang mengarah pada dan mengikuti banngkrutnya pperekonomian Asia ketiak pinjaman pinjaman yang tidak sangup dibayar menyebabkan bangkrutnya bank-bank dasn perusahaan yang masif. Perusahaan trannasioanl Amerika Serikat dan eropa yang memebeli saham perusahaan besar Asia yang murah diabawah perintah pimpinan Amerika serikat dan eropa sebagai pembiayaan ulang memeprlihatkan sifat imperialnya dari hubungan antar negara dalam perekonomian dunia lebih jauh lagi. Akibat dari krisis yang terjadi diAsia dan Amerika L:atin diamna negara-negara penghutang selalu terkalahkan dan lembaga keuangan imperial menjadi pemenang bukan menggambarkan “integrasi” dan interdependensi tetapi lebih menggambarkan subordinasi dan imperialisme.

Terminologi Filsafat

Demikian kata Magnis, "Filsafat sebagai usaha tertib, metodis, yang dipertanggungjawabkan secara intelektual untuk melakukan apa yang sebetulnya diharapkan dari setiap orang yang tidak hanya mau membebek saja, yang tidak hanya mau menelan mentah-mentah apa yang sudah dikunyah sebelumnya oleh pihak-pihak lain. Yaitu untuk mengerti, memahami, mengartikan, menilai, mengkritik data-data dan fakta-fakta yang dihasilkan dalam pengalaman sehari-hari dan melalui ilmu-ilmu. Filsafat sebagai latihan untuk belajar mengambil sikap, mengukur bobot dari segala macam pandangan yang dari pelbagai penjuru ditawarkan kepada kita. Kalau kita disuruh membangun masyarakat, filsafat akan membuka implikasi suatu pembangunan yang misalnya hanya mementingkan kerohanian sebagai ideologi karena manusia itu memang bukan hanya rohani saja. Atau, kalau pembangunan hanya material dan hanya mengenai prasarana-prasarana fisik saja, filsafat akan bertanya sejauh mana pembangunan itu akan menambah harapan manusia kongkrit dalam masyarakat untuk merasa bahagia.

Dan kalau pelbagai otoritas dalam masyarakat mau mewajibkan sesuatu kepada kita, filsafat dapat membantu kita dalam mengambil sikap yang dewasa dengan mempersoalkan hak dan batas mereka untuk mewajibkan sesuatu. Terhadap ideologi kemajuan akan dipersoalkan apa arti maju bagi manusia. Atau orang yang mau mengekang kebebasan kita atas nama Tuhan yang Mahaesa, filsafat akan menarik perhatian kita pada fakta bahwa yang mau mengekang itu hanyalah manusia saja yang mengatasnamakan Tuhan, dan bahwa Tuhan tidak pernah identik dengan suara manusia begitu saja. Dan kalau suatu rezim fanatik mau membawahkan segala nilai pada kemegahan negara saja, filsafat dapat saja menunjuk pada seorang filsuf yang dua ribu tahun yang lalu telah berpikir ke arah itu, yaitu Plato, dan bagaimana dia dilawan oleh seorang filsuf lain jaman itu, Aristoteles" (Franz Magnis-Suseno, Berfilsafat Dari Konteks, Jakarta, Gramedia, 1999).

Untuk menutup pemahaman awal kita mengenai terminologi "filsafat", baiklah dicatat nuansa perbedaan arti "filsafat" dengan istilah-istilah yang hampir serupa dengan ini, yakni "falsafah", "falsafi" atau "filsafati", "berpikir filosofis" dan "mempunyai filsafat hidup" yang sering kita dengar, kita baca, atau bahkan mungkin kita pakai dalam hidup keseharian kita. "Falsafah" itu tidak lain filsafat itu sendiri. "Falsafi" atau "filsafati" artinya: "bersifat sesuai dengan kaidah-kaidah filsafat". "Berpikir filosofis", sesungguhnya begini: berpikir dengan dasar cinta akan kebijaksanaan. Bijaksana adalah sifat manusia yang muncul sebagai hasil dari usahanya untuk berpikir benar dan berkehendak baik. Berpikir benar saja ternyata belum mencukupi. Dapat saja orang berpikir bahwa memfitnah adalah tindakan yang jahat. Tetapi dapat pula ia tetap memfitnah karena meskipun diketahuinya itu jahat, namun ia tidak menghendaki untuk tidak melakukannya. Cara berpikir yang filosofis adalah berusaha untuk mewujudkan gabungan antara keduanya, berpikir benar dan berkehendak baik. Sedangkan, "mempunyai filsafat hidup" mempunyai pengertian yang lain sama sekali dengan pengertian "filsafat" yang pertama. Ia bisa diartikan mempunyai suatu pandangan, seperangkat pedoman hidup atau nilai-nilai tertentu. Misalnya, seseorang mungkin mempunyai filsafat bahwa "tujuan menghalalkan cara".

Sekarang kita melangkah untuk melihat lebih dekat tentang hubungan antara filsafat, ilmu dan agama. Masalah tentang hubungan antara ketiganya adalah suatu masalah yang sering dipersoalkan. Ada yang menyatakan pendapat bahwa filsafat hendak menyaingi sains dan agama, demikian pula sebaliknya. Akhirnya, terjadi saling curiga mencurigai antara ketiganya, yang tak jarang merugikan bagi kepentingan pencarian akan kebenaran itu sendiri.


1. Relasi Filsafat, Ilmu dan Agama

Sudah diuraikan di atas bahwa yang dicari oleh filsafat adalah kebenaran. Demikian pula ilmu. Agama juga mengajarkan kebenaran. Kebenaran dalam filsafat dan ilmu adalah "kebenaran akal", sedangkan kebenaran menurut agama adalah "kebenaran wahyu". Kita tidak akan berusaha mencari mana yang benar atau lebih benar di antara keduanya, akan tetapi kita akan melihat apakah keduanya dapat hidup berdampingan secara damai.

Apakah keduanya dapat bekerjasama atau bahkan saling bermusuhan satu sama lain. Meskipun filsafat dan ilmu mencari kebenaran dengan akal, hasil yang diperoleh baik oleh filsafat maupun ilmu juga bermacam-macam. Hal ini dapat dilihat pada aliran yang berbeda-beda, baik di dalam filsafat maupun di dalam ilmu. Demikian pula terdapat bermacam-macam agama yang masing-masing mengajarkan kebenaran. Bagaimana mencari hubungan antara ilmu, filsafat dan agama akan diperlihatkan sebagai berikut:

Perhatikan ilustrasi ini. Jika seseorang melihat sesuatu kemudian mengatakan tentang sesuatu tersebut, dikatakan ia telah mempunyai pengetahuan mengenai sesuatu. Pengetahuan adalah sesuatu yang tergambar di dalam pikiran kita. Misalnya, ia melihat manusia, kemudian mengatakan itu adalah manusia. Ini berarti ia telah mempunyai pengetahuan tentang manusia. Jika ia meneruskan bertanya lebih lanjut mengenai pengetahuan tentang manusia, misalnya: dari mana asalnya, bagaimana susunannya, ke mana tujuannya, dan sebagainya, akan diperoleh jawaban yang lebih terperinci mengenai manusia tersebut. Jika titik beratnya ditekankan kepada susunan tubuh manusia, jawabannya akan berupa ilmu tentang manusia dilihat dari susunan tubuhnya atau antropologi fisik. Jika ditekankan pada hasil karya manusia atau kebudayaannnya, jawabannya akan berupa ilmu manusia dilihat dari kebudayaannya atau antropologi budaya. Jika ditekankan pada hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya, jawabannya akan berupa ilmu manusia dilihat dari hubungan sosialnya atau antropologi sosial.

Dari contoh di atas nampak bahwa pengetahuan yang telah disusun atau disistematisasi lebih lanjut dan telah dibuktikan serta diakui kebenarannya adalah ilmu. Dalam hal di atas, ilmu tentang manusia.

Selanjutnya, jika seseorang masih bertanya terus mengenai apa manusia itu atau apa hakikat manusia itu, maka jawabannya akan berupa suatu "filsafat". Dalam hal ini yang dikemukakan bukan lagi susunan tubuhnya, kebudayaannya dan hubungannya dengan sesama manusia, akan tetapi hakikat manusia yang ada di balik tubuh, kebudayaan dan hubungan tadi. Alm. Anton Bakker, dosen Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada menggunakan istilah "antropologi metafisik" untuk memberi nama kepada macam filsafat ini. Jawaban yang dikemukan bermacam-macam antara lain:

Monisme, yang berpendapat manusia terdiri dari satu asas. Jenis asas ini juga bermacam-macam, misalnya jiwa, materi, atom, dan sebagainya. Hal ini menimbulkan aliran spiritualisme, materialisme, atomisme.
Dualisme, yang mengajarkan bahwa manusia terdiri atas dua asas yang masing-masing tidak berhubungan satu sama lain, misalnya jiwa-raga. Antara jiwa dan raga tidak terdapat hubungan.

Triadisme, yang mengajarkan bahwa manusia terdiri atas tiga asas, misalnya badan, jiwa dan roh.
Pluralisme, yang mengajarkan bahwa manusia terdiri dari banyak asas, misalnya api, udara, air dan tanah.

Di samping itu, ada beberapa pernyataan mengenai manusia yang dapat digolongkan sebagai bernilai filsafati. Misalnya:
Aristoteles:

o Manusia adalah animal rationale.
Karena, menurutnya, ada tahap perkembangan: Benda mati -> tumbuhan -> binatang -> manusia

§ Tumbuhan = benda mati + hidup ----> tumbuhan memiliki jiwa hidup

§ Binatang = benda mati + hidup + perasaan ----> binatang memiliki jiwa perasaan

§ Manusia = benda mati + hidup + akal ----> manusia memiliki jiwa rasional


Manusia adalah zoon poolitikon, makhluk sosial.
Manusia adalah "makhluk hylemorfik", terdiri atas materi dan bentuk-bentuk.
Ernest Cassirer: manusia adalah animal simbolikum Manusia ialah binatang yang mengenal simbol, misalnya adat-istiadat, kepercayaan, bahasa. Inilah kelebihan manusia jika dibandingkan dengan makhluk lainnya. Itulah sebabnya manusia dapat mengembangkan dirinya jauh lebih hebat daripada binatang yang hanya mengenal tanda dan bukan simbol.

Demikianlah disebutkan beberapa contoh mengenai bentuk jawaban yang berupa filsafat. Dari contoh tersebut, filsafat adalah pendalaman lebih lanjut dari ilmu (Hasil pengkajian filsafat selanjutnya menjadi dasar bagi eksistensi ilmu). Di sinilah batas kemampuan akal manusia. Dengan akalnya ia tidak akan dapat menjawab pertanyaan yang lebih dalam lagi mengenai manusia. Dengan akalnya, manusia hanya mampu memberi jawaban dalam batas-batas tertentu. Hal ini sesuai dengan pendapat Immanuel Kant dalam Kritiknya terhadap rasio yang murni, yaitu manusia hanya dapat mengenal fenomena belaka, sedang bagaimana nomena-nya ia tidak tahu. Sehubungan dengan hal tersebut, maka yang dapat menjawab pertanyaan lebih lanjut mengenai manusia adalah agama; misalnya, tentang pengalaman apa yang akan dijalani setelah seseorang meninggal dunia. Jadi, sesungguhnya filsafat tidak hendak menyaingi agama. Filsafat tidak hendak menambahkan suatu kepercayaan baru. Bertrand Russel mencatat August Comte pernah mencobanya, namun ia gagal. "Dan ia patut bernasib demikian," demikian Russel.

Selanjutnya, filsafat dan ilmu juga dapat mempunyai hubungan yang baik dengan agama. Filsafat dan ilmu dapat membantu menyampaikan lebih lanjut ajaran agama kepada manusia. Filsafat membantu agama dalam mengartikan (menginterpretasikan) teks-teks sucinya. Filsafat membantu dalam memastikan arti objektif tulisan wahyu. Filsafat menyediakan metode-metode pemikiran untuk teologi. Filsafat membantu agama dalam menghadapi masalah-masalah baru. Misalnya, mengusahakan mendapat anak dengan in vitro fertilization ("bayi tabung") dapat dibenarkan bagi orang Kristen atau tidak? Padahal Kitab Suci diam seribu bahasa tentang bayi tabung. Filsafatlah, dalam hal ini etika, yang dapat merumuskan permasalahan etis sedemikian rupa sehingga agama dapat menjawabnya berdasarkan prinsip-prinsip moralitasnya sendiri.

Sebaliknya, agama dapat membantu memberi jawaban terhadap problem yang tidak dapat dijangkau dan dijawab oleh ilmu dan filsafat. Meskipun demikian, tidak juga berarti bahwa agama adalah di luar rasio, agama adalah tidak rasional. Agama bahkan mendorong agar manusia memiliki sikap hidup yang rasional: bagaimana manusia menjadi manusia yang dinamis, yang senantiasa bergerak, yang tak cepat puas dengan perolehan yang sudah ada di tangannya, untuk lebih mengerti kebenaran, untuk lebih mencintai kebaikan, dan lebih berusaha agar cinta Allah kepadanya dapat menjadi dasar cintanya kepada sesama sehingga bersama-sama manusia yang lain mampu membangun dunia ini.

Dengan cara menyadari keadaan serta kedudukan masing-masing, maka antara ilmu dan filsafat serta agama dapat terjalin hubungan yang harmonis dan saling mendukung. Karena, semakin jelas pula bahwa seringkali pertanyaan, fakta atau realita yang dihadapi seseorang adalah hal yang sama, namun dapat dijawab secara berbeda sesuai dengan proporsi yang dimiliki masing-masing bidang kajian, baik itu ilmu, filsafat maupun agama. Ketiganya dapat saling menunjang dalam menyelesaikan persoalan yang timbul dalam kehidupan.

Demikianlah pemahaman yang kita miliki sekarang mengenai terminologi "filsafat" dan kedudukannya di antara ilmu dan agama.