Buat kawan-kawan setia blog ini yang mau mendengarkan cerita dewasa dalam bentuk audio (suara cewek bos!) silahkan klik Disini Jangan lupa rajin-rajin berkunjung ke blog ane and jaga sikap kawan-kawan terhadap saudari-saudari kita. Cewek-cewek juga manusia gan. Dipergunakan untuk keperluan pribadi, TITIK

Sabtu, 20 Agustus 2011

Tingkatkan Kecerdasan Emosional Yukk !!!

Emosi adalah hal begitu saja terjadi dalam hidup Anda. Anda menganggap bahwa perasaan marah, takut, sedih, senang, benci, cinta, antusias, bosan, dan sebagainya adalah akibat dari atau hanya sekedar respon Anda terhadap berbagai peristiwa yang terjadi pada Anda.

Membahas soal emosi maka sangat erat kaitannya dengan kecerdasan emosi itu sendiri dimana merupakan kemampuan seseorang untuk memotivasi diri sendiri, bertahan menghadap frustasi, mengendalikan dorongan hati (kegembiraan, kesedihan, kemarahan, dan lain-lain) dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan mampu mengendalikan stres.

Kecerdasan emosional juga mencakup kesadaran diri dan kendali dorongan hati, ketekunan, semangat dan motivasi diri dan kendali dorongan hati, ketekunan, semangat dan motivasi diri, empati dan kecakapan sosial. Keterampilan yang berkaitan dengan kecerdasan emosi antara lain misalnya kemampuan untuk memahami orang lain, kepemimpinan, kemampuan membina hubungan dengan orang lain, kemampuan berkomunikasi, kerjasama tim, membentuk citra diri positif, memotivasi dan memberi inspirasi dan sebagainya.

Nah, agar kecerdasan emosional Anda terjaga dengan baik, berikut 7 ketrampilan yang harus Anda perhatikan dan tak ada salahnya Anda coba:


· Mengenali emosi diri

Ketrampilan ini meliputi kemampuan Anda untuk mengidentifikasi apa yang sesungguhnya Anda rasakan. Setiap kali suatu emosi tertentu muncul dalam pikiran, Anda harus dapat menangkap pesan apa yang ingin disampaikan. Berikut adalah beberapa contoh pesan dari emosi: takut, sakit hati, marah, frustasi, kecewa, rasa bersalah, kesepian.


· Melepaskan emosi negatif

Ketrampilan ini berkaitan dengan kemampuan Anda untuk memahami dampak dari emosi negatif terhadap diri Anda. Sebagai contoh keinginan untuk memperbaiki situasi ataupun memenuhi target pekerjaan yang membuat Anda mudah marah ataupun frustasi seringkali justru merusak hubungan Anda dengan bawahan maupun atasan serta dapat menyebabkan stres. Jadi, selama Anda dikendalikan oleh emosi negatif Anda justru Anda tidak bisa mencapai potensi terbaik dari diri Anda. Solusinya, lepaskan emosi negatif melalui teknik pendayagunaan pikiran bawah sadar sehingga Anda maupun orang-orang di sekitar Anda tidak menerima dampak negatif dari emosi negatif yang muncul.


· Mengelola emosi diri sendiri

Anda jangan pernah menganggap emosi negatif atau positif itu baik atau buruk. Emosi adalah sekedar sinyal bagi kita untuk melakukan tindakan untuk mengatasi penyebab munculnya perasaan itu. Jadi emosi adalah awal bukan hasil akhir dari kejadian atau peristiwa. Kemampuan kita untuk mengendalikan dan mengelola emosi dapat membantu Anda mencapai kesuksesan.


Ada beberapa langkah dalam mengelola emosi diri sendiri, yaitu: pertama adalah menghargai emosi dan menyadari dukungannya kepada Anda.

Kedua berusaha mengetahui pesan yang disampaikan emosi, dan meyakini bahwa kita pernah berhasil menangani emosi ini sebelumnya. Ketiga adalah dengan bergembira kita mengambil tindakan untuk menanganinya. Kemampuan kita mengelola emosi adalah bentuk pengendalian diri yang paling penting dalam manajemen diri, karena kitalah sesungguhnya yang mengendalikan emosi atau perasaan kita, bukan sebaliknya.


· Memotivasi diri sendiri

Menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan merupakan hal yang sangat penting dalam kaitan untuk memberi perhatian, untuk memotivasi diri sendiri dan menguasai diri sendiri, dan untuk berkreasi. Kendali diri emosional--menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati--adalah landasan keberhasilan dalam berbagai bidang.

Ketrampilan memotivasi diri memungkinkan terwujudnya kinerja yang tinggi dalam segala bidang. Orang-orang yang memiliki ketrampilan ini cenderung jauh lebih produktif dan efektif dalam hal apapun yang mereka kerjakan.


· Mengenali emosi orang lain

Mengenali emosi orang lain berarti kita memiliki empati terhadap apa yang dirasakan orang lain. Penguasaan ketrampilan ini membuat kita lebih efektif dalam berkomunikasi dengan orang lain. Inilah yang disebut sebagai komunikasi empatik. Berusaha mengerti terlebih dahulu sebelum dimengerti. Ketrampilan ini merupakan dasar dalam berhubungan dengan manusia secara efektif.


· Mengelola emosi orang lain

Jika ketrampilan mengenali emosi orang lain merupakan dasar dalam berhubungan antar pribadi, maka ketrampilan mengelola emosi orang lain merupakan pilar dalam membina hubungan dengan orang lain. Manusia adalah makhluk emosional. Semua hubungan sebagian besar dibangun atas dasar emosi yang muncul dari interaksi antar manusia.

Ketrampilan mengelola emosi orang lain merupakan kemampuan yang dahsyat jika kita dapat mengoptimalkannya. Sehingga kita mampu membangun hubungan antar pribadi yang kokoh dan berkelanjutan. Dalam dunia industri hubungan antar korporasi atau organisasi sebenarnya dibangun atas hubungan antar individu. Semakin tinggi kemampuan individu dalam organisasi untuk mengelola emosi orang lain.


· Memotivasi orang lain

Ketrampilan memotivasi orang lain adalah kelanjutan dari ketrampilan mengenali dan mengelola emosi orang lain. Ketrampilan ini adalah bentuk lain dari kemampuan kepemimpinan, yaitu kemampuan menginspirasi, mempengaruhi dan memotivasi orang lain untuk mencapai tujuan bersama. Hal ini erat kaitannya dengan kemampuan membangun kerja sama tim yang tangguh dan andal.


Jadi, sesungguhnya ketujuh ketrampilan ini merupakan langkah-langkah yang berurutan. Anda tidak dapat memotivasi diri sendiri kalau Anda tidak dapat mengenali dan mengelola emosi diri sendiri. Setelah Anda memiliki kemampuan dalam memotivasi diri, barulah kita dapat memotivasi orang lain.

Mudah-mudahan kiat di atas dapat membantu Anda meningkatkan kecerdasan emosional Anda. Selamat mencoba! [/che / cafemuslimah.com]

Minggu, 15 Mei 2011

Metode Hermeneutika untuk Al-Qur'an

Penulis : Ahmad Fuad Fanani


Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk (hudan) memiliki posisi sentral dalam kehidupan manusia. Ia bukan saja sebagai landasan bagi pengembangan dan perkembangan ilmu-ilmu keislaman, namun ia juga merupakan inspirator, pemandu dan pemadu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang empat belas abad lebih sejarah umat manusia. Hal ini bisa terlihat dari dari bermunculannya gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir, Jam’at Islami di Pakistan, Wahabi di Saudi Arabia, maupun NU, Muhammadiyah, baik organisasi Islam lainnya di seluruh dunia.

Al-Qur’an sebagai sebuah teks, menurut Nasr Hamid Abu Zayd, pada dasarnya adalah produk budaya. (Tekstualitas Al-Qur'an, 2000) Hal ini dapat dibuktikan dengan rentang waktu terkumpulnya teks Al-Qur’an dalam 20 tahun lebih yang terbentuk dalam realitas sosial dan budaya. Oleh karena itu, perlu adanya dialektika yang terus-menerus antara teks (Al-Qur’an) dan kebudayaan manusia yang senantiasa berkembang secara pesat. Jika hal ini tidak dilakukan, maka teks Al-Qur’an akan hanya menjadi benda atau teks mati yang tidak berarti apa-apa dalam kancah fenomena kemanusiaan. Teks al-Qur’an masih sangat mungkin menjadi obat mujarab, bacaan shalat, atau perhiasaan bacaan yang dikumandangkan tiap waktu. Akan tetapi visi transformatif dan kemanusiaan Al-Qur’an akan bisa hilang begitu saja.

Mohammed Arkoun menegaskan, bahwa sebuah tradisi akan kering, mati, dan mandeg jika tidak dihidupkan secara terus- menerus melalui penafsiran ulang sejalan dengan dinamika sosial. (Rethinking Islam, 1999) Al-Qur’an sebagai teks yang telah melahirkan tradisi pemikiran, pergerakan, bahkan perilaku keagamaan yang sangat luas dalam rentang waktu panjang, tentu saja tidak bisa mengabaikan hal ini. Oleh karena berbagai macam metode penafsiran dan model tafsir dalam kurun waktu sejarah Islam adalah upaya yang patut dibanggakan sebagai usaha mendinamiskan Al-Qur’an yang sangat universal itu.

Dalam usaha menangkap dan mendapatkan pesan dari teks Allah berwujud dalam Al-Qur’an tentu saja mengandung problem. Karena, setiap usaha menerjemahkan, menafsirkan, atau mencari pemahaman terhadap teks klasik yang berjarak waktu, budaya, tempat sangat jauh dengan pembacanya, selalu digelayuti problem hermeneutika (penafsiran). Dengan adanya problem penafsiran teks tersebut, maka ada sebuah teori filsafat yang digunakan menganalisis problem penafsiran, sehingga teks bisa dipahami secara benar dan komprehensif.


Tawaran Hermeneutik


Hermeneutika sebagai sebuah metode interpretasi sangat relevan kita pakai dalam memahami pesan Al-Qur’an agar subtilitas inttelegendi (ketepatan pemahaman) dan subtilitas ecsplicandi (ketepatan penjabaran) dari pesan Allah bisa ditelusuri secara komprehensif. Maksudnya, pesan Allah yang diturunkan pada teks al-Qur’an melalui Nabi Muhammad itu tidak hanya kita pahami secara tekstual, juga bisa kita pahami secara kontekstual dan menyeluruh dengan tidak membatasi diri pada teks dan konteks ketika Al-Qur’an turun. Maka, teks Al-Qur’an beserta yang melingkupinya dapat digunakan agar selaras dan cocok dengan kondisi ruang, waktu, dan tempat di mana kita berada dan hidup. Diskursus hermeneutika tidak bisa kita lepaskan dari bahasa, karena problem hermeneutika adalah problem bahasa. Karena itu, dalam memahami teks Al-Qur’an, disamping harus memahami kaidah tata bahasa, juga mengandaikan suasana psikologis dan sosio historis (wacana) yang teks tersebut. Atau dengan kata lain, istilah teknis yang diciptakan Ferdinand de Saussure di atas –seorang ahli bahasa dari Swis adalah hubungan yang dialektis antara teks dan wacana. (K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX, 1995).

Sebuah penafsiran dan usaha pemahaman terhadap Al-Qur’an jika memakai metode hermeneutika, selalu terdapat tiga faktor yang senantiasa dipertimbangkan, yaitu dunia teks, dunia pengarang, dan dunia pembaca. Ketiga komponen itu memiliki konteks sendiri-sendiri, sehingga jika memahami teks Al-Qur’an hanya bertumpu pada satu dimensi tanpa mempertimbangkan dimensi yang lainnya, pemahaman yang diperoleh tidak akan luas dan miskin.

Dalam tradisi hermeneutika, terutama metode yang diperkenalkan oleh Gadamer, akan terlihat jelas bahwa dalam setiap pemahaman teks, tidak terkecuali pada teks Al-Qur’an, unsur subyektivitas penafsir tidak mungkin disingkirkan. Bahkan secara ekstrem dikatakan bahwa sebuah teks akan berbunyi dan hidup ketika dipahami, diperhatikan, dan diajak dialog oleh pembacanya. Dalam proses dialog, berarti pihak pembaca memiliki ruang kebebasan dan otonomi. Munculnya kitab tafsir Al-Qur’an yang berjilid-jilid yang masih dan akan terus berkembang menunjukkan bahwa pemahaman ulama’ pada Al-Qur’an dan tradisi kenabian tidak pernah final.

Di masa modern ini, ada dua mufassir terkemuka yang menggunakan metode hermeneutika yaitu Fazlur Rahman dan Mohammed Arkoun. Fazlur Rahman meskipun belum secara langsung menggunakan hermeneutika sebagai metodetafsirnya,namun ia telah memberikan bobot besar pada kontekstualitas. Belum tuntasnya penggunaan hermeneutika dalam tafsir Al-Qur’an itu justru merupakan kelemahan Rahman dalam penafsiran Al-Qur’an untuk mencapai tujuan dasarnya, yaitu mengedepankan etika dalam Al-Qur’an. Menurut Rahman, memahami pesan Al-Qur’an secara adikuat dan efektif, pemahaman secara menyeluruh terhadap perkembangan kronologisnya, dan bukan pemahaman secara ayat per ayat, merupakan sebuah kemutlakan.

Mohammed Arkoun mungkin orang yang secara tuntas mencoba menggunakan hermeneutika dalam penafsiran Al-Qur’an. Untuk kepentingan analisisnya, Arkoun meminjam teori hermeneutika dari Paul Ricour, dengan memperkenalkan tiga level “perkataan Tuhan” atau tingkatan Wahyu. Pertama Wahyu sebagai firman Allah yang transenden, tak terbatas, yang tak diketahui oleh manusia, yaitu wahyu al-Lauh Mahfudz dan Umm al-Kitab. Kedua, Wahyu yang nampak dalam proses sejarah. Berkenaan dengan Al-Qur’an, hal ini menunjuk pada realitas Firman Allah sebagaimana diturunkan dalam bahasa Arab kepada Nabi Muhammad selama kurang lebih dua puluh tahun. Ketiga, Wahyu sebagaimana tertulis dalam Mushaf dengan huruf dan berbagai macam tanda yang ada di dalamnya. Ini menunjuk pada al-Mushaf al-Usmani yang dipakai orang-orang Muslim hingga hari ini.

Ketiga tingkatan pemahaman wahyu di atas tentu saja memberikan implikasi pada penafsiran. Bagi Arkoun, dalam tafsir klasik atau modern, ketiga kategori wahyu itu tidak dibedakan sehingga menempatkan wahyu ketiga kategori di atas menjadi satu otoritas, yaitu skema otoritas Tuhan. Arkoun melihat secara kritis otoritas dari masing-masing teks Al-Qur’an itu. Sehingga masing-masing tidak dicampurkadukkan begitu saja.

Dengan demikian, ia telah membongkar sesuatu di balik penyejarahan ketiga kategori otoritas tersebut. Hal ini menjadi teks Al-Qur’an terbongkar dari selubung-selebung ideologis dan klaim kebenaran penafsiran yang sudah tidak relevan lagi.


Signifikansi Hermeneutika Pembebasan

Analisis yang dilakukan oleh Arkoun dan Rahman di atas memang harus diakui sebagai prestasi intelektual yang briliyan. Analisis tersebut telah mampu membongkar yang selama ini tidak tersentuh (unthoucable) oleh akal klasik maupun modern. Namun analisis Arkoun itu masih menyisakan problem yang belum terjawab, yaitu apakah analisis itu hanya sebagai kajian epistemologis yang tidak mempunyai implikasi praktis dan humanis? Padahal, umat Islam sekarang sedang mengalami kemunduran besar yang tidak cukup hanya bisa dipecahkan dengan teori minus aksi!

Al-Qur’an sesungguhnya mempunyai visi transformatif dan liberatif untuk kemanusiaan. Ayat-ayat mengawali misi penurunan Al-Qur’an dengan mengadakan revolusi teologis. Revolusi teologis ini mengartikulasikan substansinya melalui jargon “Tauhid” yang menegasikan seluruh sesembahan selain Allah. Tauhid ini juga menegaskan semangat egalitarianisme sebagai simbol perlawanan terhadap perbudakan dan kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Makkah. Sedangkan ayat-ayat Madaniyah mengindikasikan semangat revolusi sosiologis terhadap tatanan dan struktur sosial kehidupan masyarakat dengan menjadikan keadilan dan kemakmuran sebagai doktrin sandaran.

Dari periodesasi ayat-ayat Al-Qur’an beserta implikasi revolusinya, dapatlah dipahami bahwa semangat dan nilai Al-Qur’an itu bergerak. Ia tidak hanya berhenti dan memperkaya horizon pengalaman beragama individual,
tetapi juga berlanjut implikasinya pada dimensi sosial. Dengan kata lain, ia berdampak meningkatkan kualitas penghayatan individu terhadap universalitas nilai-nilai kemanusiaan.

Bahkan, dengan merekontruksi sejarah Kenabian dan mecermati ulang Al-Qur’an, Asghar Ali Engineer berkesimpulan bahwa Islam yang bertumpu pada Al-Qur’an mempunyai perhatian sentral pada keadilan sosial untuk membebaskan kaum lemah dan tertindas serta menciptakan masyarakat egalitarian. Menurutnya, wahyu secara esensial bersifat religius, namun tetap menaruh perhatian pada situasi yang serta memiliki kesadaran sejarah. (Islam dan Pembebasan, 1993) Hal terbukti dari ayat-ayat pertama yang turun kepada Nabi, mengungkapkan keprihatinan yang mendalam terhadap situasi sosial yang terjadi di Mekkah. Fakta bahwa Islam yang bertumpu pada Al-Qur’an lebih dari sekedar agama formal, tetapi juga risalah yang agung bagi transformasi sosial dan tantangan bagi kepentingan-kepentingan pribadi, dibuktikan oleh penekanannyan pada shalat dan zakat. Dalam kebanyakan ayat Al-Qur’an, shalat tidak pernah disebut tanpa diiringi oleh zakat. Zakat bertujuan untuk distribusi kekayaan bagi fakir miskin, untuk membebaskan budak-budak, membayar hutang bagi para penghutang, dan membantu problem- problem agama lainnya.

Oleh karena itu, hermeneutika yang merupakan metode penafsiran yang memadai pada saat sekarang, perlu memberikan tujuan penafsiran yang tegas dan jelas. Tugas hermeneutika Al-Qur’an yang mendesak pada saat sekarang adalah untuk pembebasan sosial kemanusiaan dari berbagai ekspoitasi yang merugikan. Eksploitasi itu bisa berbentuk ekonomi, politik, sosial, budaya, serta pengekangan keberagamaan.

Maka ke depan, umat Islam Indonesia harus memelopori penafsiran Al-Qur'an yang berimplikasi pada pembebasan sosial. Sudah waktunya para agamawan terjun untuk membebaskan penindasan, membela hak-hak wanita, dan berdiri pada garda terdepan menumbangkan segala ketidakadilan. Usaha yang dilakukan Farid Esack dalam menumbangkan rezim apartheid di Afrika Selatan, layak dipertimbangkan sebagai pemandu gerakan dan wacana keilmuan. Wallahu A'lam.



Penulis adalah Mahasiswa Tafsir Hadist Fakultas Ushuluddin IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Koordinator Diskusi Kesatuan Aksi Mahasiswa Muhammadiyah (KAMMU) Jakarta.

Selasa, 19 April 2011

Cinta Romantis dan Cinta Sejati dalam Perkawinan

Beda Antara Cinta Romantis dan Cinta Sejati dalam Perkawinan


CINTA romantis dapat dijabarkan sebagai sesuatu yang imajinatif dan tidak praktis, misterius, dan fiktif. Cinta romantis merangsang eksitasi petualangan emosional, pemenuhan idealisme dan sering dilandasi keterikatan emosional yang bisa berlanjut sepanjang hidup atau hanya berlangsung dalam waktu singkat. Cinta romantis diterima secara sosial, walaupun sering terasa tidak lebih dari sebagai suatu delusi dan keadaan tergila-gila. Padahal, cinta romantis hanya sekadar merupakan "tipuan", karena ditandai sesuatu yang menjanjikan lebih daripada apa yang sebenarnya bisa diberikan.

Umumnya orang cenderung memberikan reaksi terhadap situasi tersebut dengan dua cara yaitu: (a) penghayatan pe-rasaan atau emosi secara menyeluruh. Penghayatan perasaan tersebut didominasi oleh "bagaimana saya merasakan tentang dirimu" sebagai suatu reaksi antara satu orang dengan orang lain. (b) Pelibatan aspek emosi lebih merupakan reaksi emosi primer yang terkait dengan "bagaimana sa-ya merasa tentang diriku".

Jadi, intensitas penghayatan perasaan dihubungkan dengan seseorang yang ada di luar dirinya yang mampu menghin-darkan orang tersebut dari perasaan kekosongan yang ada dalam dirinya sendiri. Dapat disimpulkan, fokus cinta romantis ada pada diri orang lain, dalam hal ini pasangannya.

Cinta romantis terdiri dari elemen emosional kuat yang berasal dari fusi antara satu orang dengan orang lain, sehingga hanya sedikit makna yang menyertakan kapan perasaan itu mulai berkembang dan kapan perasaan itu berakhir karena tidak adanya ruang atau jarak serta waktu antara diri sendiri dengan orang yang dicintainya. Rasa sakit/terluka pada salah seorang pasangan merupakan rasa sakit/terluka pada diri sendiri. Setiap hal dinilai dan dimaknakan personal, misalnya "apabila kamu pergi ke bioskop sendiri, maka itu berarti kamu meninggalkan diri saya". Jadi, dalam hal ini terbentuk perasaan kebersamaan dan saling memiliki satu sama lain secara sempurna antara dua orang yang terlibat cinta romantis.

Di balik perasaan romantis itu terkandung fusi dari ketakutan akan kesepian dan kegagalan dalam penerimaan diri seseorang. Makin rendah rasa percaya diri seseorang, semakin tinggi harapan orang itu agar orang lain sama seperti dirinya. Semakin tinggi pula upayanya mencoba dan ber-harap mendapatkan pemuasan kebutuhan akan keyakinan diri agar dapat dibangkitkan keyakinan diri orang yang dicintainya. Kondisi cinta romantis betul-betul merupakan harapan yang tidak realistis.
Harapan ada pada pasangan yang menjalin cinta kasih romantis justru cenderung mendapatkan kekecewaan yang lebih besar di kemudian hari. Erich Fromm (1956) berpendapat, cinta romantis merupakan bukti dari kondisi rasa kesepian yang sangat mendalam. Segera setelah penerimaan cinta romantis menurun atau bahkan hilang, maka pola dasar proses berpikir, perasaan, dan perilaku realistis akan muncul kembali.

Biasanya topik rasa tanggung jawab yang mengikuti ikatan kasih yang realistis menjadi berbaur dengan kondisi saling menyalahkan pada dua orang yang sebelumnya terlibat cinta romantis. Kondisi itu diikuti dengan runtuhnya harapan awal yang tidak realistis, untuk kemudian menghadapi kenyataan yang ditandai argumen, ketidaksepakatan terhadap rasa tanggung jawab masing-masing pasangan, peningkatan rasa marah yang akumulatif, dan perlahan tetapi pasti kedua belah pihak akhirnya akan merasa terluka. Kenyataan lanjut yang dihadapi pasangan adalah interrelasi mereka akhirnya menjadi kabur dan tidak jelas bagi kedua belah pihak.

Transisi dari cinta romantis ke cinta sejati

Cinta romantisme merupakan bagian dari masa muda yang penuh gairah. Serentak setelah kedua pasangan tumbuh dan bertambah usia, maka iklim emosional dalam diri kedua pasangan akan ditandai oleh apa yang mereka inginkan, apa yang mereka harapkan, hasrat apa yang ada pada diri mereka, serta bagaimana mereka menghayati diri mereka secara emosional.

Afeksi yang lembut dan kesetiaan menjadi aspek dari cinta yang penuh kesabaran, yang secara simultan, dengan disertai atau tidak disertai nilai-nilai romantisme. Serentak setelah cinta romantis sirna, maka cinta romantis akan digantikan dengan upaya-upaya untuk menyimpannya dengan cara "saya dapat merasakan bahwa saat ini saya harus menempatkan permasalahan-permasalahan yang harus diatasi dalam hubungan saya dengan pasangan saya".

Dalam pada itu pasangan akan berupaya membantu istri/suaminya untuk bang-kit dari perasaan terpuruk atau pasangan ikut merasakan keterpurukan suami/istrinya. Dengan cara tersebut maka terjadi proses peningkatan pengaruh kendali secara obyektif. Maka berkembanglah rasa cinta sejati yang merupakan upaya salah satu pasangan untuk tetap memberikan pengaruh pada suami/istrinya, baik dalam imajinasi, keingintahuan satu sama lain, serta kecenderungan satu sama lain.

Dengan demikian maka relasi yang terjalin antarkedua pasangan akan terbentuk berdasar pada pola-pola kesabaran kedua belah pihak dan rasa toleransi diantara kedua belah pihak yang semakin hari semakin kuat. Masa transisi dari fase cinta romantis ke cinta sejati merupakan masa tersulit bagi kedua pasangan

Sebuah cinta pada sepasang manusia tidak habis-habisnya dibahas. Ia selalu ada dalam setiap media dan menjadikan segala media yang ada di muka bumi ini menjadi sempit karenanya. Cinta pula yang menyebabkan efek psikologis manusia berubah dari yang realistis menjadi sulit untuk dinalar. Kecenderungan yang ada pun menjadi sulit untuk membedakan antara kenyataan dengan yang tidak. Akhirnya, sebuah hyper-realis yang terbentuk dari makna cinta menjadi bernilai harganya.

Sisi lain cinta sering dimaknai orang sebagai sebuah misteri. Kelompok musik Dewa mendefinisikan cinta sebagai sebuah mistikus. Sementara Khalil Gibran menyebutkan cinta sebagai bagian dari kerja yang telah mengejawantah. Titik Puspa-pun menyebutkan bahwa cinta itu berjuta rasanya. Sedangkan Freud mengungkapkan, bahwa cinta itu bagian dari seksualitas dan beriringan dengan afeksi dan sensualitas (Freud dalam Osborne, 2000).

Banyak kalimat yang mewarnai keindahan sebuah cinta. Namun apa yang terjadi bila cinta telah menjadi rusak? Tidak ada istilah lain selain kepedihan, luka hati, pengkhianatan, sakit dan kosakata lain yang juga tidak kalah banyaknya. Banyak peristiwa yang berakhir dengan darah. Kemudian yang muncul adalah cinta itu sebuah nyawa!

Dalam perjalanan bangsa ini, sudah banyak kata cinta yang ditebarkan. Cinta yang semu maupun cinta yang memerlukan pengorbanan ada dalam sejarah bangsa ini. Ikon-ikon budaya dalam cinta pun berkembang seiring dengan semakin menjamurnya televisi-televisi swasta dan media cetak. Berita tentang kenaikan harga BBM, TDL dan telepon bukanlah monopoli beberapa orang atau daerah saja. Berbanding terbalik dengan hal tersebut, maka rasa cinta pun menjadi hambar. Rasanya kita sedang menghadapi cinta semu. Hanya karena kenaikan tiga komponen itulah cinta yang terjalin bagaikan cinta monyet.

Ikrar percintaan yang terjalin pun - meski disaksikan oleh angin, bulan dan petir - menjadi semacam sampah. Bukan hanya Dian Sastrowardoyo saja yang pernah menikmati rasanya jatuh cinta sampai menangis. Semua orang pun pernah mengalami. Jatuh cinta pada pandangan pertama terhadap salah satu kontestan Pemilu tidak bisa menjamin akan adanya kekekalan cinta (everlasting love). Romantisme Megawati pada awal perjuangan partainya pun hanyalah cinta sesaat.

Cinta yang Pudar

Cinta romantis biasanya lebih bisa diterima oleh sosial ketika rasa itu sedang meletup. Kita tidak lagi merasa aneh ketika ada dua orang berlainan jenis bergandengan tangan. Kita juga tidak merasa risih ketika di sinetron ada adegan yang memperlihatkan cinta kepada kekasihnya dengan puisi yang mendayu-dayu. Bahkan di sebuah iklan dipertunjukkan bagaimana seseorang rela menunggu kekasihnya dengan berbasah kuyup karena hujan. Cinta romantis sering mengimajinasikan situasi yang ideal maupun pembebasan imajinasi yang nakal namun penuh mesra.

Ketika di awal hubungan mesra antara rakyat dan pemimpinnya, entah itu di jaman Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur dan Megawati, maka yang terjadi adalah cinta dengan harapan yang berlebih. Namun dengan harapan yang berlebih itulah sebenarnya kita berada dalam kondisi yang ketakutan. Ungkapan-ungkapan, seperti :”Benarkah kamu mencintai saya?” atau “Kamu tidak akan meninggalkanku, bukan?” adalah bentuk ketakutan bila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Wajar ketika seseorang menikmati keadaan ini, karena memang situasi yang terbentuk adalah cinta yang romantis. Cinta romantis merupakan bukti dari adanya kondisi rasa kesepian yang sangat mendalam (Fromm, 1956).

Impian-impian indah yang menjulang tinggi ketika kepemimpinan berganti sekali lagi adalah sesuatu yang wajar. Yang tidak wajar adalah ketika cinta romantis itu menutup pintu hati, pintu mata dan pintu telinga atas kejadian-kejadian yang sebenarnya bisa membuat kita marah namun kita membiarkan dengan alasan yang tidak masuk akal dan merasa kita adalah pasangan jiwa.

Kini, ketika Megawati mengumumkan kenaikan harga tiga komponen pokok, yaitu BBM, TDL dan telepon, maka yang terjadi adalah rasa kecewa. Dalam proses menerima rasa cinta, ketika terjadi hal yang tidak mengenakkan hati -apalagi terjadi perselingkuhan-, maka yang terbentuk adalah memudarnya cinta romantis. Menurunnya rasa cinta ini mengakibatkan cara berpikir dan cara pandang terhadap sesuatu kembali realistis, bahkan tidak jarang kondisi saling menyalahkan pun terjadi. Biasanya pula dalam kondisi dimana rasa cinta ini pudar, maka ketidaksepakatan sering terjadi, karena mulai diintervensi oleh rasa yang namanya tidak percaya.

Adakah Cinta Sejati?

Cinta sejati sering dianggap sebagai bentuk penyerahan diri dan mengabdi pada pasangan. Pendapat yang demikian tentunya keliru. Begitu pula dengan anggapan yang menyatakan, bahwa cinta sejati itu adalah menyenangkan pasangan. Bukan begitu makna dari cinta sejati.

Cinta sejati adalah keluarnya penghargaan, kebanggaan dan penerimaan yang tulus untuk sang kekasih. Ruh dari cinta sejati adalah saling rendah hati, sabar dan menanggung segala sesuatu secara bersama-sama. Tidak ada yang dimenangkan maupun dikalahkan ketika hubungan cinta sejati sedang terjadi.

Nah, disinilah pemerintah selalu terjebak dengan hakekat nasionalisme ataupun patriotisme. Mereka menyangka, bahwa rakyat selalu memahami apa yang menjadi kemauan pemerintah. Nasionalisme dipandang sebagai sikap pengorbanan rakyat terhadap negaranya atau cinta yang teramat dalam terhadap negaranya. Pandangan yang sempit ini sama dengan pencampuradukan cinta sejati dan cinta romantis.

Ketika rakyat benar-benar menerima pemerintah dengan apa adanya, sebaliknya ada usaha perselingkuhan yang bisa menyakiti hati rakyat. Perselingkuhan itu bisa saja terjadi ketika pemerintah mengampuni konglomerat bermasalah yang mengajak damai bagaikan sepasang kekasih yang baru saja berpisah. Bisa pula ketika pemerintah bermesraan kembali dengan masa lalu yang telah mengkhianatinya dan rakyat terlupakan.

Pemaparan di atas kiranya juga dapat dijadikan inspirator bagi insan bercinta maupun mereka yang terlanjur cinta pada sebuah kekuasaan. Dalam sudut pandang yang lain, maka Iwan Fals menjadikan cinta bagai sebuah cerita komik! Bukankah begitu makna cinta sejati? Ia selalu ada ketika dalam situasi apapun. Bukan hanya pemerintah yang enak sedangkan rakyatnya harus makan dengan irit agar tidak membuang banyak minyak tanah untuk sebuah kompor.
  

Empat Tanda Cinta Sejati
Anda dapat menemukan seseorang yang benar-benar sangat cocok untuk dijadikan pasangan hidup dan bahkan memilikinya lebih dari satu dalam hidup Anda. Tetapi kemudian bagaimana Anda benar-benar mengetahuinya dengan yakin?




Berikut bantuan untuk meyakinkan keputusan hubungan Anda:

Ungkapkan keinginan dan mengapa menginginkannya?

Anda harus memiliki kejelasan tidak hanya tentang apa yang Anda ingin dari cinta, tetapi apa yang diinginkan dalam hidup dengan pasangan Anda. Segera setelah mengetahui itu, Anda akan yakin telah masuk dalam suatu hubungan dengan tujuan dan visi yang jelas seperti apa hubungan Anda dengan dia. Menentukan kriteria akan membantu terhindar dari kesulitan terlibat dengan seseorang yang tidak cocok bagi Anda.

Ukur romantisme Anda
Meskipun kedengarannya basi, buatlah daftar harapan pasangan ideal Anda. Isi dengan keinginan pasangan sempurna, istimewa tetapi realistis. Semakin banyak Anda tahu apa yang cocok bagi Anda, semakin mudah menangkap momen kapan dia bisa berjalan bersama Anda.

Cintai diri sendiri

Ada pepatah lama mengatakan: “Anda tidak akan bisa membahagiakan orang lain sampai Anda membahagiakan diri sendiri.” Hal ini tidak hanya akan membantu pada saat bertemu dengan seseorang yang baru tetapi juga membantu Anda memulai hubungan pada saat yang tepat.

Jadilah yang terbaik

Cinta bukan hanya sekedar mencari seseorang yang akan membuat Anda bahagia. Kecocokan akan menghasilkan yang terbaik- mungkin seseorang yang akan membuat Anda menjadi orang yang bahagia dan lebih produktif.

Cara terbaik untuk menemukan cinta sejati adalah pintar-pintarlah memilih seseorang dan jelas mengapa Anda memilihnya.

Senin, 18 April 2011

Implikasi Landasan Filsafat Pendidikan

1. Implikasi Bagi Guru

Apabila kita konsekuen terhadap upaya memprofesionalkan pekerjaan guru maka filsafat pendidikan merupakan landasan berpijak yang mutlak. Artinya, sebagai pekerja professional, tidaklah cukup bila seorang guru hanya menguasai apa yang harus dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya. Kedua penguasaan ini baru tercermin kompetensi seorang tukang.

Disamping penguasaan terhadap apa dan bagaimana tentang tugasnya, seorang guru juga harus menguasai mengapa ia melakukan setiap bagian serta tahap tugasnya itu dengan cara tertentu dan bukan dengan cara yang lain. Jawaban terhadap pertanyaan mengapa itu menunjuk kepada setiap tindakan seorang guru didalam menunaikan tugasnya, yang pada gilirannya harus dapat dipulangkan kepada tujuan-tujuan pendidikan yang mau dicapai, baik tujuan-tujuan yang lebih operasional maupun tujuan-tujuan yang lebih abstrak. Oleh karena itu maka semua keputusan serta perbuatan instruksional serta non-instruksional dalam rangka penunaian tugas-tugas seorang guru dan tenaga kependidikan harus selalu dapat dipertanggungjawabkan secara pendidikan (tugas professional, pemanusiaan dan civic) yang dengan sendirinya melihatnya dalm perspektif yang lebih luas dari pada sekedar pencapaian tujuan-tujuan instruksional khusus, lebih-lebih yang dicekik dengan batasan-batasan behavioral secara berlebihan.

Dimuka juga telah dikemukakan bahwa pendidik dan subjek didik melakukan pemanusiaan diri ketika mereka terlihat di dalam masyarakat profesional yang dinamakan pendidikan itu; hanyalah tahap proses pemanusiaan itu yang berbeda, apabila diantara keduanya, yaitu pendidik dan subjek didik, dilakukan perbandingan. Ini berarti kelebihan pengalaman, keterampilan dan wawasan yang dimiliki guru semata-mata bersifat kebetulan dan sementara, bukan hakiki. Oleh karena itu maka kedua belah pihak terutama harus melihat transaksi personal itu sebagai kesempatan belajar dan khusus untuk guru dan tenaga kependidikan, tertumpang juga tanggungjawab tambahan menyediakan serta mengatur kondisi untuk membelajarkan subjek didik, mengoptimalkan kesempatamn bagi subjek didik untuk menemukan dirinya sendiri, untuk menjadi dirinya sendiri (Learning to Be, Faure dkk, 1982). Hanya individu-individu yang demikianlah yang mampu membentuk masyarakat belajar, yaitu masyarakat yang siap menghadapi perubahan-perubahan yang semakin lama semakin laju tanpa kehilangan dirinya.

Apabila demikianlah keadaannya maka sekolah sebagai lembaga pendidikan formal hanya akan mampu menunaikan fungsinya serta tidak kehilangan hak hidupnya didalam masyarakat, kalau ia dapat menjadikan dirinya sebagai pusat pembudayaan, yaitu sebagai tempat bagi manusia untuk meningkatkan martabatnya. Dengan perkataan lain, sekolah harus menjadi pusat pendidikan. Menghasilkan tenaga kerja, melaksanakan sosialisasi, membentuk penguasaan ilmu dan teknologi, mengasah otak dan mengerjakan tugas-tugas persekolahan, tetapi yang paling hakiki adalah pembentukan kemampuan dan kemauan untuk meningkatkan martabat kemanusiaan seperti telah diutarakan di muka dengan menggunakan cipta, rasa, karsa dan karya yang dikembangkan dan dibina.

Perlu digarisbawahi di sini adalah tidak dikacaukannya antara bentu dan hakekat. Segala ketentuan prasarana dan sarana sekolah pada hakekatnya adalah bentuk yang diharapkan mewadahi hakekat proses pembudayaan subjek didik. Oleh karena itu maka gerakan ini hanya berhenti pada “penerbitan” prasarana dan sarana sedangkan transaksi personal antara subjek didik dan pendidik, antara subjek didik yang satu dengan subjek didik yang lain dan antara warga sekolah dengan masyarakat di luarnya masih belum dilandasinya, maka tentu saja proses pembudayaan tidak terjadi. Seperti telah diisyaratkan dimuka, pemberian bobot yang berlebihan kepada kedaulatan subjek didikakan melahirkan anarki sedangkan pemberian bobot yang berlebihan kepada otoritas pendidik akan melahirkan penjajahan dan penjinakan. Kedua orientasi yang ekstrim itu tidak akan menghasilkan pembudayaan manusia.



2. Implikasi bagi Pendidikan Guru dan Tenaga Kependidikan

Tidaklah berlebihan kiranya bila dikatakan bahwa di Indonesia kita belum punya teori tentang pendidikan guru dan tenaga kependidikan. Hal ini tidak mengherankan karena kita masih belum saja menyempatkan diri untuk menyusunnya. Bahkan salahsatu prasaratnya yaitu teori tentang pendidikan sebagimaana diisyaratkan pada bagian-bagian sebelumnya, kita masih belum berhasil memantapkannya. Kalau kita terlibat dalam berbagi kegiatan pembaharuan pendidikan selama ini maka yang diperbaharui adalah pearalatan luarnya bukan bangunan dasarnya.

Hal diatas itu dikemukakan tanpa samasekali didasari oleh anggapan bahwa belum ada diantara kita yang memikirkan masalah pendidikan guru itu. Pikiran-pikiran yang dimaksud memang ada diketengahkan orang tetapi praktis tanpa kecuali dapat dinyatakan sebagi bersifat fragmentaris, tidak menyeluruh. Misalnya, ada yang menyarankan masa belajar yang panjang (atau, lebih cepat, menolak program-program pendidikan guru yang lebih pendek terutama yang diperkenalkan didalam beberapa tahun terakhir ini) ; ada yang menyarankan perlunya ditingkatkan mekanisme seleksi calon guru dan tenaga kependidikan; ada yang menyoroti pentingnya prasarana dan sarana pendidikan guru; dan ada pula yang memusatkan perhatian kepada perbaikan sistem imbalan bagi guru sehingga bisa bersaing dengan jabtan-jabatan lain dimasyarakat. Tentu saja semua saran-saran tersebut diatas memiliki kesahihan, sekurang-kurangnya secara partial, akan tetapi apabila di implementasikan, sebagian atau seluruhnya, belum tentu dapat dihasilkan sistem pendidikan guru dan tenaga kependidikan yang efektif.

Sebaiknya teori pendidikan guru dan tenaga kependidikan yang produktif adalah yang memberi rambu-rambu yang memadai didalam merancang serta mengimplementasikan program pendidikan guru dan tenaga kependidikan yang lulusannya mampu melaksanakan tugas-tugas keguruan didalam konteks pendidikan (tugas professional, kemanusiaan dan civic). Rambu-rambu yang dimaksud disusun dengan mempergunakan bahan-bahan yang diperoleh dari tiga sumber yaitu: pendapat ahli, termasuk yang disangga oleh hasil penelitian ilmiah, analisis tugas kelulusan serta pilihan nilai yang dianut masyarakat. Rambu-rambu yang dimaksud yang mencerminkan hasil telaahan interpretif, normative dan kritis itu, seperti telah diutarakan didalam bagian uraian dimuka, dirumuskan kedalam perangkat asumsi filosofis yaitu asumsi-asumsi yang memberi rambu-rambu bagi perancang serta implementasi program yang dimaksud. Dengan demikian, perangkat rambu-rambu yang dimaksud merupakan batu ujian didalam menilai perancang dan implementasi program, maupun didalam “mempertahankan” program dari penyimpngan-penyimpangan pelaksanaan ataupun dari serangan-serangan konseptual.


(Nunu Heryanto)