Buat kawan-kawan setia blog ini yang mau mendengarkan cerita dewasa dalam bentuk audio (suara cewek bos!) silahkan klik Disini Jangan lupa rajin-rajin berkunjung ke blog ane and jaga sikap kawan-kawan terhadap saudari-saudari kita. Cewek-cewek juga manusia gan. Dipergunakan untuk keperluan pribadi, TITIK

Rabu, 06 April 2011

Bangun Citra Diri dengan Menulis

.... hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk keperluan hari esok .... (Al-Hasyr: 18)

Ketika saya membaca buku Marketing Yourself: Kiat Sukses Meniti Karier dan Bisnis karya Hermawan Kartajaya, saya merasakan sekali gejolak-hebat terjadi di dalam diri saya yang terdalam (inner-self). Saya merasakan sekali bahwa selama ini saya seperti kurang memperhatikan diri saya sendiri. Boro-boro mempedulikan, memperhatikan diri saja rasa-rasanya susah sekali.

Selama hampir setengah abad hidup saya, sudah banyak ilmu yang saya pelajari. Sejak masuk TK, saya sudah diajari macam-macam--ilmu menyanyi, berbaris, hormat kepada ibu guru, dan banyak lagi. Masuk ke SD, para guru saya, selama enam tahun, juga telah memberikan banyak sekali ilmu. Begitu juga ketika di SMP dan SMA. Apalagi setelah saya menjadi mahasiswa. Rasa-rasanya, setiap hari saya belajar sesuatu yang baru.

Lantas, apa yang saya lakukan dengan ilmu-ilmu yang saya miliki? Saya memang tak ingin sekadar mengatakan bahwa ilmu-ilmu yang saya dapat itu sudah memberikan manfaat banyak kepada keberlangsungan hidup saya. Saya menjadi seperti ini pada usia hampir setengah abad ini, ya tentu dikarenakan ilmu yang saya peroleh selama saya bersekolah. Setelah membaca Marketing Yourself--meskipun, sekali lagi, ilmu-ilmu yang saya dapat itu telah memberikan manfaat kepada saya--saya ingin tunjukkan kepada para pembaca tulisan saya ini bahwa ilmu-ilmu yang saya dapat saya rasakan juga berperan mengasingkan diri saya terhadap diri saya yang lebih dalam.

Agak susah ya kalimat terakhir itu Anda pahami? Begini. Meskipun ilmu-ilmu yang saya miliki sekarang telah memberikan manfaat, namun ilmu-ilmu itu sekaligus membuat diri saya menjauh dari diri saya sendiri. Lewat ilmu-ilmu yang saya dapat, saya seperti didorong untuk bisa lebih memahami keadaan yang berada di luar diri saya. Ringkasnya, ilmu-ilmu itu membuat saya lebih tahu banyak tentang hal-hal di luar diri saya ketimbang memahami apa yang ada di dalam diri saya sendiri. Bagaimana pembaca, kira-kira sudah dapat Anda pahamikah hal-hal yang ingin saya sampaikan ini?

Semakin banyak ilmu yang saya dapat dari sekolah, semakin terasing diri saya dengan diri saya sendiri. Saya memang lantas dapat menulis tentang kota Frankfurt dan London ketika saya berkunjung ke sana. Saya juga dapat menuliskan keadaan kota Makkah dan Madinah ketika saya berhaji ke Tanah Suci. Saya juga dapat mengamati rekan-rekan saya ketika bekerja bersama saya. Saya bahkan kadang dapat melemparkan kritik kepada hal-hal yang terjadi di luar diri saya. Tentu, semua itu dapat saya lakukan karena saya punya ilmu.

Namun, dapatkah saya merumuskan diri saya secara baik dan benar? Apakah saya mengetahui apa yang bergejolak di dalam diri saya? Sudah sampai di mana perjalanan diri saya selama ini? Apakah yang saya cari sudah saya dapatkan? Sebenarnya tujuan hidup saya itu apa ya? Apakah saya sudah pernah merasakan cinta yang sesungguhnya? Apakah saya perlu benar-benar merasakan cinta? Sudahkah saya bahagia? Dalam konteks apa saya berada dalam keadaan bahagia? Apa yang sudah saya lakukan sehingga yang saya lakukan itu dapat bermanfaat bagi orang lain? Apakah saya sudah memperbaiki kelemahan-kelemahan saya? Apakah saya berani mengkritik diri saya secara tajam dan blak-blakan?

Mungkin apabila saya terus menderetkan pertanyaan-pertanyaan tentang diri saya, sebagaimana yang saya lakukan di atas, kertas yang saya gunakan untuk menulis ini akan sangat panjang jadinya. Nah, pertanyaan saya yang paling penting untuk saya tujukan kepada diri saya adalah "Apakah ilmu yang saya peroleh selama ini sudah membantu saya untuk memahami diri saya?" Saya ingin secara tegas di sini menyatakan bahwa saya belum memperoleh ilmu untuk memahami diri saya. Jadi, dengan pernyataan ini, saya kemudian dapat secara tegas menyatakan hal penting berikutnya bahwa ilmu yang selama ini saya miliki cenderung untuk tidak membuat saya memahami diri saya sendiri.

Buku Marketing Yourself sungguh mendorong dan mendukung saya untuk mencari ilmu yang dapat saya gunakan untuk memahami diri saya. Mengapa saya ingin mendapatkan ilmu yang dapat membantu saya untuk memahami diri saya? Sebab jika saya tidak bersegera mendapatkan ilmu tersebut, ada kemungkinan ilmu saya yang lain (di luar ilmu untuk memahami diri) dapat saja bertambah, namun saya semakin dijauhkan dari diri saya oleh ilmu yang terus bertambah itu. Ini akan berakibat fatal. Saya bisa berubah menjadi orang yang tidak rendah hati. Saya bisa menjadi orang yang tidak jujur. Saya juga, ada kemungkinan besar, lantas bisa menjadi orang yang kadang bersikap arogan karena ilmu saya yang banyak itu (minus ilmu untuk memahami diri).

Setidaknya, buku Marketing Yourself ini mengingatkan saya bahwa saya perlu merumuskan diri saya secara segera. Buku ini mengenalkan konsep membangun citra diri dengan nama "segitiga PDB". PDB adalah singkatan dari "positioning", "differentiation", dan "brand". Sebagaimana yang saya pahami atas konsep "segitiga PDB", konsep tersebut menganjurkan agar seseorang itu dapat memposisikan dirinya di tengah masyarakatnya. Memposisikan diri berarti mengenali diri dan kemudian meletakkan diri dalam konteks yang diinginkannya.

Setelah berhasil memposisikan diri, seseorang perlu terus mempertajam detail tentang dirinya. Proses memposisikan (atau dalam bahasa saya adalah merumuskan dan mengenali) diri sendiri itu, perlu berlangsung secara kontinu dan konsisten--kalau perlu setiap hari. Apabila proses itu dapat dilangsungkan secara kontinu dan konsisten, nanti orang itu akan masuk ke wilayah berikutnya yang bernama diferensiasi. Artinya, tiba-tiba saja detail diri atau keunikan diri itu akan mencuat hebat.

Detail atau keunikan diri yang sudah diperoleh seseorang pun perlu dijaga. Sebab, detail diri itu bisa hilang ditelan perkembangan zaman. Jadi, detail atau keunikan diri itu perlu diasah terus-menerus sehingga semakin mengkilap dan terang benderang. Inilah proses yang tidak mudah karena seseorang yang sudah mencuat keunikan dirinya cenderung untuk merasa "berbeda" dengan orang lain (dalam bahasa kasarnya, ini bisa disebut dengan "sombong"). Kesombongan akan merusak baik "positioning" maupun, yang akan dirusak lebih parah, "differentiation".

Apabila seseorang dapat secara hebat dan konsisten menjaga "positioning" dan "differentiation"-nya, maka--menurut konsep "segitiga PDB"--secara otomatis orang tersebut akan memiliki semacam merek atau citra atau "brand". Sebagaimana produk benda mati seperti mobil, "brand" tentu akan mampu membuat perbedaan. Bisa jadi sebuah produk yang fungsinya sama (mobil adalah alat transportasi), namun jika yang satu lebih kuat "brand"-nya, maka nilai jualnya tentu akan lebih tinggi. Begitulah seorang manusia yang sudah sampai ke taraf memiliki "brand".

Apakah konsep "segitiga PDB" itu dapat dikatakan sebagai ilmu yang dapat membuat seseorang dapat memahami diri? Apakah ini merupakan ilmu yang dapat membuat seseorang menjadi tidak terasing dengan dirinya apabila dapat menguasai dan--ini yang penting--menerapkan konsep "segitiga PDB"? Saya tidak tahu. Ada kemungkinan ya, dan ada kemungkinan tidak. Lho kok akhirnya, Pak Hernowo tidak dapat memutuskan soal ini secara tegas?

Saya berpendapat, konsep "segitiga PDB" ini akan dapat membantu seseorang untuk mengenali dirinya. Hanya saya akan menambahkan di sini bahwa konsep "segitiga PDB" ini baru akan efektif apabila orang yang ingin memiliki "brand" itu dapat merumuskan dirinya secara tertulis. Artinya, hanya lewat kegiatan "merumuskan" atau menulis (dalam bahasa saya, ini disebut "mengikat") ada kemungkinan besar seseorang dapat dengan cepat dan kukuh memposisikan dirinya, lantas mencari keunikan dirinya, dan akhirnya membangun citra diri yang baik.

Saya khawatir jika penerapan konsep "segitiga PDB" itu dituliskan oleh orang lain, ada kemungkinan orang yang akhirnya memiliki "brand" itu tidak mampu untuk mengendalikan dampak negatifnya (ingat soal "sombong" yang saya singgung di atas). Apabila seseorang dapat merumuskan dirinya dan memiliki catatan yang akurat tentang dirinya dalam bentuk tertulis, bukan saja dia dapat mengatasi dampak negatif tersebut, melainkan juga dapat terus mengembangkan dirinya secara terprogram dan terarah.

Marilah kita membangun citra diri kita--dalam konteks yang terus membaik hari demi hari--lewat menuliskan diri kita dalam bentuk catatan harian.[]

{ seri catatan oleh Hernnowo }

0 komentar:

Posting Komentar