Buat kawan-kawan setia blog ini yang mau mendengarkan cerita dewasa dalam bentuk audio (suara cewek bos!) silahkan klik Disini Jangan lupa rajin-rajin berkunjung ke blog ane and jaga sikap kawan-kawan terhadap saudari-saudari kita. Cewek-cewek juga manusia gan. Dipergunakan untuk keperluan pribadi, TITIK

Senin, 11 April 2011

Dilema Ruang Publik Dalam Demokratisasi

Public Space
Oleh Caroline Paskarina *)

Politik Wacana dalam Politik Ruang Pasca-Orde Baru Wacana mengenai ruang publik sebenarnya
bukanlah hal baru dalam konteks hubungan negara dengan rakyat. Wacana ini mulai berkembang sejalan dengan meluasnya gagasan tentang demokratisasi dan civil society yang menekankan pentingnya peran serta masyarakat dalam pembuatan kebijakan. Dalam konteks ini, ruang publik diartikan sebagai suatu ruang tempat warga negara mengembangkan dirinya secara maksimal dalam segala aspek kehidupan, bidang ekonomi atau bidang lainnya. Ruang publik pada prinsipnya terlepas dari campur tangan negara, ataupun dari berbagai kekuatan yang bersifat koersif. “Kebebasan” ini dimaksudkan agar ruang publik dapat memainkan peran sebagai arena berlangsungnya diskusi yang terbuka antarwarga negara.


Namun, pada kenyataannya, konsepsi ruang publik ternyata tidak netral tapi rentan dengan interpretasi negara. Akibatnya, keberadaan ruang publik kemudian tereduksi menjadi sekedar alat untuk menjustifikasi dan melanggengkan kekuasaan rezim penguasa. Pada praktiknya, rezim penguasa dapat mempertahankan kekuasaan melalui 4 cara, yakni dengan cara memaksa, “membeli”, memobilisasi, dan memanipulasi. Memaksa dilakukan dengan media militer yang digunakan sebagai alat negara untuk menekan masyarakat agar tunduk dan patuh pada kehendak negara; “membeli” dilakukan dengan membangun konglomerasi para pemilik modal yang dibantu oleh negara; memobilisasi dilakukan dengan strategi korporatisme negara; dan memanipulasi dilakukan dengan menggunakan wacana.

Keempat strategi ini diterapkan oleh penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya. Pada masa Orde Baru misalnya, keempat strategi ini dilakukan oleh rezim Suharto untuk menjustifikasi, mempertahankan, dan melanggengkan kekuasaannya. Karenanya, tidaklah mengherankan bila negara kemudian menjadi pusat dari seluruh praktik kepemerintahan. Ideologi pembangunan yang dipakai sebagai dasar berjalannya negara didefinisikan dan diinterpretasikan oleh rezim penguasa sebagai pertumbuhan ekonomi yang digandengkan dengan pendekatan keamanan. Peran militer menjadi sangat penting untuk mempertahankan stabilitas nasional sehingga negara membentuk sejumlah lembaga represif untuk melakukan pemantauan terhadap kehidupan sosial politik masyarakat sekaligus mengamankan kekuasaan pusat.2

Dalam bidang ekonomi, pemerintah Orde Baru sejak awal menyandarkan legitimasinya sebagian besar pada kemampuan untuk memajukan kesejahteraan sosial dan ekonomi rakyat Indonesia yang sangat besar jumlahnya. Karena itu, ideologi pembangunan diidentikan dengan pertumbuhan ekonomi yang mengarah pada modernisasi. Negara memfasilitasi tumbuh dan berkembangnya kaum pemilik modal melalui pinjaman-pinjaman luar negeri untuk mendorong proses industrialisasi di Indonesia sehingga lahirlah pola konglomerasi di kalangan pemilik modal.

Sementara untuk meredam sikap kritis dari kelompok-kelompok masyarakat, digunakan mekanisme korporatisme negara3 di mana negara mengendalikan kepentingan-kepentingan yang berkembang dalam masyarakat dengan menerapkan prinsip pluralisme terbatas. Dalam korporatisme negara, keberadaan organisasi masyarakat diatur, ditentukan, bahkan diciptakan oleh pemerintah sendiri. Aspek pengendalian menjadi penting bagi kelangsungan perkembangan organisasi masyarakat tersebut. Pengendalian dan intervensi pemerintah umumnya bersifat exclusionary, yaitu mengucilkan atau tidak mengakui keberadaan organisasi masyarakat yang kepentingannya dianggap bertentangan atau membahayakan kepentingan pemerintah. Dengan demikian, partisipasi masyarakat dalam politik umumnya diarahkan untuk aktivitas-aktivitas yang ditentukan oleh rezim dan organisasi-organisasi yang didukungnya. Partisipasi politik yang otonom sulit untuk berkembang karena ditentukan oleh mentalitas dari penguasa, yang umumnya didominasi oleh elit-elit militer, birokrat, dan politisi yang terkooptasi atau partai-partai politik pro-rezim4. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa model partisipasi yang diterapkan adalah partisipasi yang terkontrol, baik dalam hal ruang partisipasinya maupun sarana partisipasinya.

Upaya pelanggengan kekuasaan Orde Baru juga dilakukan melalui strategi manipulasi wacana. Melalui strategi ini, negara menggunakan bahasa sebagai media untuk melakukan transfer ideologi dan relasi kekuasaan. Negara mengontrol pendefinisian dan pemaknaan terhadap seluruh produk berbahasa. Masyarakat tidak memiliki cukup akses untuk memperoleh informasi seputar penentuan kebijakan. Masyarakat pun tidak banyak diberi peluang untuk memperoleh informasi dari sumber-sumber alternatif di luar sumber-sumber yang dikontrol penguasa. Kebijakan mengenai informasi apa yang bisa dan perlu dikonsumsi oleh publik, secara dominan ditentukan oleh rezim penguasa.

Dalam era reformasi pasca-Orde Baru, upaya pelanggengan kekuasaan masih tetap dilakukan oleh rezim penguasa. Hanya saja strategi yang dipakai sekarang adalah strategi manipulasi wacana karena sejalan dengan perubahan konfigurasi kekuasaan terjadi pula perubahan dalam pilar-pilar penopang Orde Baru. Peran militer semakin berkurang sejalan dengan meluasnya tuntutan penghapusan peran politik militer, partisipasi masyarakat mulai meluas, sumber daya finansial negara menyusut akibat KKN. Menyusutnya kekuatan ketiga strategi tersebut menempatkan wacana menjadi alat mempertahankan kekuasaan yang relatif halus. Pertarungan wacana menjadi alat untuk merefleksikan pertarungan kepentingan-kepentingan politik dalam relasi kekuasaan. Karena itu, konsep ruang publik menjadi relevan sebagai arena berlangsungnya pertarungan wacana tersebut.

Permasalahannya, konsep ruang publik yang berasal dari demokrasi liberal lebih terfokus pada dimensi prosedural sehingga yang dipentingkan adalah tersedianya ruang yang sebanyak mungkin bagi pertarungan wacana. Namun siapa aktor yang mengisi atau memiliki akses ke dalam ruang tersebut tidak dipermasalahkan. Akibatnya, mereka yang dapat bertarung dalam ruang-ruang publik hanya dari kalangan elit yang memiliki sumber daya, baik finansial maupun pengetahuan. Karenanya, keberadaan ruang publik justru menjadi dilema bagi perkembangan demokrasi lokal. Padahal jargon yang selalu dikemukakan adalah bagaimana memperluas ruang publik. Maka pertanyaan yang harusnya kita antisipasi adalah apakah perluasan ruang publik dapat mendorong partisipasi massa atau sebaliknya mengukuhkan dominasi elit ? Selanjutnya, bagaimana memperluas ruang publik yang populis ?

Ruang Publik sebagai Arena Pertarungan Wacana
Konsepsi ruang publik sebagai arena pertarungan wacana berkembang dalam praktik demokrasi deliberatif. Demokrasi deliberatif mendasarkan asumsinya pada tindakan komunikatif dalam bentuk pertarungan wacana. Arena tempat berlangsungnya pertarungan wacana inilah yang disebut dengan ruang publik. Oleh karena itu, dalam konsepsi ini, ruang publik tidak diartikan secara fisik tetapi merupakan ruang sosial (social space) yang dihasilkan oleh tindakan komunikatif. Ruang publik menjadi tempat bagi terbentuknya opini publik yang merefleksikan isu-isu yang berkembang dalam tataran elit maupun massa5. Pembentukan opini publik melalui debat publik akan memiliki kekuatan (communicative power) untuk mempengaruhi pengambilan keputusan yang secara formal dilakukan melalui mekanisme perwakilan.

Kemampuan mempengaruhi tersebut dilakukan melalui opini publik yang terbentuk dari diskursus publik. Dengan demikian, kekuatan pengaruh dari deliberasi yang berlangsung dalam ruang publik terletak pada bagaimana isu-isu dibentuk, didefinisikan, dan dipublikasikan, yang artinya merupakan bagian dari proses kontestasi diskursus dalam debat publik. Dalam proses ini, masing-masing pihak saling bertukar argumen rasional untuk mempengaruhi pihak lain sehingga preferensi seseorang terhadap suatu isu dapat diubah sampai akhirnya terbentuk kesepakatan atau konsensus.

Pada hakikatnya, pembentukan ruang publik dapat dilihat dari munculnya wacana alternatif yang mampu menandingi wacana utama (main discourse). Relasi kekuasaan yang dominatif terefleksikan dalam produksi dan reproduksi kuasa yang masuk dalam ruang kultural, yakni tempat wawasan dan makna dikomunikasikan dalam berbagai wacana yang saling berkompetisi. Wacana tandingan merupakan bentuk perlawanan terhadap dominasi penguasa yang dipertahankan melalui struktur teks, pilihan kosakata, dan gramatika yang membentuk pemaknaan terhadap suatu realitas politik.

Untuk mengukur ketersediaan ruang publik, terlebih dahulu dilakukan analisis terhadap pertarungan wacana yang berlangsung dalam ruang publik untuk memperoleh gambaran bagaimana suatu wacana tandingan (counter discourse) dibuat dan ditampilkan6. Pemaknaan terhadap wacana yang muncul, baik wacana utama maupun wacana tandingan dianalisis dengan mengacu pada konteksnya, yakni konteks sosial7, yakni bagaimana produksi dan reproduksi wacana tentang suatu fenomena dihubungkan dengan struktur sosial dan pengetahuan yang berkembang dalam masyarakat lokal, termasuk juga dengan aspek-aspek budaya politik lokal, seperti praktik kekuasaan, nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan setempat. Konteks pertarungan wacana inilah yang akan menjelaskan proses produksi dan reproduksi makna dari suatu wacana.

Mewaspadai Perluasan Ruang Publik
Perluasan ruang publik berkaitan erat dengan kemampuan seluruh elemen masyarakat untuk memproduksi wacana tandingan untuk melawan hegemoni wacana utama. Wacana tandingan tidak akan dapat terbentuk bila pertarungan wacana berlangsung secara tidak seimbang di mana penguasa menentukan bagaimana suatu isu dibentuk, didefinisikan, dan dipublikasikan. Proses deliberasi ini rentan dengan dominasi elit karena hanya kelompok elitlah yang memiliki akses untuk membentuk, mendefinisikan, dan mempublikasikan isu-isu.
Dengan demikian, perluasan ruang publik jangan hanya dimaknai sebagai penambahan ruang-ruang bagi berlangsungnya pertarungan wacana, tapi juga bagaimana isu-isu yang akan mengisi ruang publik itu dibentuk dan dimaknai. Substansi ruang publik adalah ketersediaan informasi publik yang berhak diakses oleh seluruh elemen masyarakat. Jenis informasi yang menjadi hak publik adalah informasi publik yang secara resmi dimiliki lembaga-lembaga negara, perusahaan negara, ataupun pemerintah lokal.8 Berdasarkan batasan ini, setiap informasi yang menyangkut penyelenggaraan pemerintahan secara umum maupun khusus, termasuk kebijakan publik dan pelaksanaan urusan-urusan internal institusi pemerintah merupakan informasi resmi yang berhak diketahui oleh publik. Aksesibilitas terhadap informasi-informasi tersebut akan menjadi dasar bagi praktik tata pemerintahan yang bertanggung jawab karena publik dapat turut mengawasi jalannya pemerintahan. Perluasan ruang publik harus disertai dengan perluasan akses publik terhadap informasi-informasi tersebut.

Ditinjau dari aktor pelontar wacana, perluasan ruang publik perlu diantisipasi dari kemungkinan dominasi elit dalam produksi dan reproduksi wacana. Dalam era reformasi yang ditandai dengan kebebasan, termasuk dalam hal aksesibilitas informasi, para aktor yang bertarung dalam ruang publik menjadi semakin beragam. Perluasan ini terutama didukung oleh semakin beragamnya media massa yang tersedia di mana media massa bisa berperan sebagai media penyelenggaraan hak publik untuk memperoleh informasi atau sebagai forum bagi pertarungan wacana seputar kebijakan-kebijakan yang menyangkut kepentingan umum. Akan tetapi, peranan media massa tidak dapat dilepaskan dari kepentingan akumulasi kapital sehingga informasi yang disajikan ataupun wacana publik yang diselenggarakan, memiliki kecenderungan terbatas hanya pada isu-isu permasalahan yang mempunyai nilai jual dan tidak bertentangan dengan kepentingan ekonomi institusi media massa yang bersangkutan.

Kemunculan para aktor pelontar wacana menjadi sangat ditentukan oleh pertimbangan kepentingan ekonomi dari para pelaku media. Di satu sisi, kecenderungan ini dapat membatasi para aktor yang terlibat dalam ruang publik karena umumnya media massa akan lebih memilih memunculkan aktor-aktor yang telah dikenal publik meskipun isu yang dikemukakannya belum tentu mampu memberikan pencerahan bagi masyarakat. Padahal, aktor-aktor pelontar wacana yang telah dikenal publik umumnya adalah mereka yang telah berada dalam lingkaran elit, baik elit penguasa (governing elites) maupun elit strategis (strategic elites) sehingga dominasi elit menjadi sesuatu yang harus diwaspadai sejalan dengan meluasnya ruang publik. Elit menjadi aktor yang sangat berperan dalam melontarkan wacana sementara massa tetap berada di luar arena sebagai penonton yang tidak memiliki akses untuk terlibat dalam produksi dan reproduksi wacana.

Di sisi lain, kepentingan ekonomi juga dapat mendorong media massa untuk memunculkan aktor-aktor baru yang mampu memberikan alternatif pandangan terhadap suatu isu. Kemunculan aktor-aktor baru yang belum masuk dalam lingkaran elit penguasa diharapkan mampu memberikan pemaknaan yang relatif terbebas dari kepentingan pelanggengan kekuasaan. Strategi pelaku media untuk memunculkan pelontar wacana yang tidak termasuk lingkaran elit penguasa ini juga dimaksudkan untuk memunculkan wacana alternatif yang dapat mengatasi kejenuhan masyarakat akan berita-berita politik dari perspektif yang sama sehingga proses deliberasi tidak terjebak dalam alur pertarungan argumentasi yang monoton.

Perluasan ruang publik tentu saja tidak dapat dipahami sebagai proses yang netral karena di dalamnya akan selalu ada beragam kepentingan, baik dari level elit maupun massa. Terlepas dari kekurangan-kekurangan yang masih terdapat dalam proses deliberasi, kemunculan ruang publik yang difasilitasi oleh media massa, akademisi, dan LSM membawa dampak positif bagi pembelajaran politik publik. Berbeda dengan proses politik semasa Orde Baru yang serba tertutup, proses politik pada masa reformasi membuka celah bagi masyarakat untuk “mengintip” pertarungan kepentingan di balik gedung-gedung pemerintah. Masyarakat dapat belajar untuk memilih alternatif informasi yang paling diyakininya tanpa harus dipaksa meyakini kebenaran pemberitaan yang berasal dari satu sumber atau satu perspektif karena bagaimanapun, wacana-wacana yang berkembang sesungguhnya tidak menyediakan kebenaran melainkan konstruksi makna yang dapat diuji validitas klaimnya oleh siapa pun.

Penutup : Membangun Ruang Publik yang Populis
Dominasi elit dan kapital dalam membangun wacana merupakan kecenderungan yang harus diwaspadai dari perluasan ruang publik. Bila kecenderungan ini tidak diantisipasi, maka perluasan ruang publik akan menjadi sia-sia karena masyarakat luas justru menjadi pihak yang tidak memiliki akses terhadap ruang publik tersebut sehingga ruang publik yang terbentuk bukan merupakan ruang publik yang otonom. Ketersediaan ruang publik menjadi lebih efektif untuk memunculkan wacana tandingan apabila diimbangi dengan perubahan struktural dalam masyarakat, terutama menyangkut hubungan antara elit dengan massa. Desain hubungan elit dan massa lebih diarahkan pada pola interaksi yang transaksionis dan bukan instruksionis. Karena itu, penggunaan bahasa, baik dari segi struktur maupun substansinya, harus membuka peluang bagi seluruh pihak untuk menguji validitas klaim yang diajukan pihak lain.

Perkembangan media massa dapat dimanfaatkan sebagai media melakukan pendidikan politik yang kritis bagi masyarakat. Pengaruh kapitalisme dalam media massa memang tidak dapat dihindarkan, namun perkembangan tingkat pendidikan dan keberagaman arus informasi dapat membantu membentuk kerangka pikir masyarakat dalam memaknai suatu isu atau pesan. Karena itu, peran media massa, kalangan akademisi, dan LSM tidak ditempatkan sebagai penyedia kebenaran tapi lebih sebagai agen konstruksi pesan.

Forum-forum dialog publik secara interaktif harus diperbanyak sehingga masyarakat dapat memiliki akses terhadap informasi alternatif. Pesan dibentuk secara bersama-sama antara pihak-pihak yang berkomunikasi serta dihubungkan dengan konteks sosial sehingga masyarakat dapat berperan lebih aktif dalam menginterpretasikan suatu pesan.

Tepi Cikapundung, Oktober 2005



1 Penulis adalah Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP UNIKOM dan Staf Peneliti pada Puslit Kebijakan Publik dan Pengembangan Wilayah Lembaga Penelitian UNPAD.
2 Syaukani, dkk., Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002, hal. 127 – 141.
3 Konsep korporatisme pertama kali diperkenalkan oleh Phillip Schmitter untuk menjelaskan fenomena ekonomi dan politik yang saling berkaitan. Korporatisme dapat diterapkan pada berbagai bentuk sistem politik, baik yang demokratis maupun yang otoriter. Dalam sistem politik yang demokratis, mekanisme pengaturan kepentingan yang berkembang dalam masyarakat umumnya diartikulasikan melalui organisasi masyarakat yang tumbuh secara otonom. Keberadaan organisasi masyarakat semata-mata mewakili kepentingan yang berkembang dalam masyarakat. Mekanisme ini dikenal dengan nama societal corporatism. Sementara dalam sistem politik yang otoriter, mekanisme pengaturan kepentingan dalam masyarakat diartikulasikan melalui organisasi-organisasi masyarakat yang dibentuk dan dikendalikan oleh negara yang disebut dengan mekanisme state corporatism (dalam Ignasius Ismanto. Korporatisme , Patrimonialisme, dan Internasionalisasi Kapital : Isu Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme . Artikel dalam Jurnal Analisis CSIS, No. 1 Tahun XXVIII, 1999, hal. 17).
4 Juan Linz, dalam Fred I. Greenstein dan Nelson W. Polsby,Handbook of Political Science Vol.3. Addison-Wesley Publishing Company, 1975, hal. 271.
5 John Dryzek, Deliberative Democracy and Beyond : Liberals, Critics, Contestations. Oxford : Oxford University Press. 2000, hal. 24.
6 Analisis wacana (discourse analysis) merupakan jenis penelitian yang berfokus pada analisis struktur, strategi, dan proses produksi dan reproduksi makna texts dan talks yang dilakukan secara eksplisit dan sistematis. Texts berkaitan dengan struktur ekspresi dalam bentuk kata, susunan kata, atau susunan kalimat, sementara talks merupakan struktur ekspresi dalam bentuk audio (suara, ucapan, dan sebagainya). Akan tetapi, texts dan talks tidak hanya dianalisis dari aspek strukturnya (bentuknya) melalui perspektif semiotika, tetapi juga dianalisis dari proses dan konteks yang melatarbelakangi produksi dan reproduksi keduanya. Lihat lebih lanjut dalam Teun A. Van Dijk. “What Do We Mean by Discourse Analysis ?” Artikel Editorial dalam Discourse Studies An Interdisciplinary Journal for the Study of Text and Talk Volume 02 Issue 02 - Publication Date: 1 May 2000. Download dari www.discourse-in-society.org Sedangkan mengenai perspektif semiotika dapat dilihat dalam Panuti Sudjiman dan Aart van Zoest (eds). Serba-serbi Semiotika. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. 1992.
7 Teun van Dijk, sebagaimana dikutip oleh Eriyanto. Analisis Wacana : Pengantar Analisis Teks Media Yogyakarta : LkiS. 2001, hal. 225, 271 – 274.
8 Dedy N. Hidayat. Public Sphere dan Hak Memperoleh Informasi . Artikel dalam www.forum-inovasi.or.id



KEPUSTAKAAN
Charney, Evan. 1998. “Political Liberalism, Deliberative Democracy and the Public Sphere”. American Political Science Review Vol. 92 No. 1, March.
Cooke, Maeve. 2000. “Five Arguments for Deliberative Democracy”. Political Studies, Vol. 48.
Dryzek, John S. 2000. Deliberative Democracy and Beyond : Liberals, Critics, Contestations. Oxford : Oxford University Press.
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana. Yogyakarta : LkiS.
Greenstein, Fred I. dan Nelson W. Polsby. 1975. Handbook of Political Science Vol.3. Addison-Wesley Publishing Company.
Greiff, Pablo de. 2000. “Deliberative Democracy and Group Representation”. Social Theory and Practice Vol. 26 No. 3.
Gutmann, Amy dan Dennis Thompson. 1996. Democracy and Disagreement. Cambridge : Harvard University Press.
Habermas, Jürgen. 1981. The Theory of Communicative Action : Reason and the Rationalization of Society Vol. I Boston : Beacon Press.
_____. 1996. Between Facts and Norms : Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy. Cambridge : MIT Press.
Hardiman, F. Budi. 1993. Menuju Masyarakat Komunikatif : Ilmu, Masyarakat, Politik, dan Postmodernisme menurut Jürgen Habermas. Yogyakarta : Kanisius.
Hidayat, Dedy N. Public Sphere dan Hak Memperoleh Informasi. Artikel dalam www.forum-inovasi.or.id
Ismanto, Ignasius. 1999. Korporatisme , Patrimonialisme, dan Internasionalisasi Kapital : Isu Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme. Artikel dalam Jurnal Analisis CSIS, No. 1 Tahun XXVIII.
Kim, Joohan. 1999. “Communication, Reason, and Deliberative Democracy”. Journal of Communication.
Latif, Yudi dan Idi Subandy Ibrahim (eds.). 1996. Bahasa dan Kekuasaan : Politik Wacana di Panggung Orde Baru. Bandung : Mizan Pustaka.
Mulyana, Deddy. 2001. Nuansa-nuansa Komunikasi : Meneropong Politik dan Budaya Komunikasi Masyarakat Kontemporer. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Palti, Elias Jose. 2001. “Recent Studies on the Emergence of a Public Sphere in Latin America”. Latin American Research Review Vol. 36 No. 2.
Santoso, Anang. 2003. Bahasa Politik Pasca-Orde Baru. Jakarta : Wedatama Widya Sastra.
Syaukani, dkk., 2002. Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Van Dijk, Teun A. 2000. “What Do We Mean by Discourse Analysis ?” Artikel Editorial dalam Discourse Studies An Interdisciplinary Journal for the Study of Text and Talk Volume 02 Issue 02 - Publication Date: 1 May 2000. Download dari www.discourse-in-society.org.
_____. 2002. “Political Discourse and Political Cognition”. Artikel. Download dari www.discourse-in-society.org.

0 komentar:

Posting Komentar