Buat kawan-kawan setia blog ini yang mau mendengarkan cerita dewasa dalam bentuk audio (suara cewek bos!) silahkan klik Disini Jangan lupa rajin-rajin berkunjung ke blog ane and jaga sikap kawan-kawan terhadap saudari-saudari kita. Cewek-cewek juga manusia gan. Dipergunakan untuk keperluan pribadi, TITIK

Senin, 11 April 2011

Apa itu Neo-Liberalisme?

APA ITU “NEO-LIBERALISME” ?
(Tinjauan Singkat Sejarah Terbentuknya Tata Ekonomi Global)


"NEO-LIBERALISME" merupakan sebuah kumpulan kebijakan ekonomi yang berkembang selama kurang lebih 25 tahun ini. Walaupun istilah ini jarang terdengar di Amerika Serikat, namun anda dengan jelas dapat melihat pengaruh neo-liberalisme di sini dimana yang kaya menjadi semakin kaya dan yang miskin menjadi semakin miskin”

(Elizabeth Martinez, Agustus 1996).[1]

Stop Neo-liberalisme


"Neo" berarti kita membicarakan tentang jenis baru liberalisme. Lantas seperti apa jenis yang lama? Aliran ekonomi liberal menjadi terkenal di Eropa ketika Adam Smith, seorang ekonom Inggris, menerbitkan bukunya di tahun 1776 yang berjudul The Wealth of Nations. Ia dan pihak-pihak lainnya mendukung penghapusan intervensi pemerintah dalam urusan ekonomi. Menyerukan agar tidak ada pembatasan dalam manufaktur, tidak adanya hambatan dalam perdagangan, tidak adanya tarif (bea), Smith menyatakan: perdagangan bebas adalah cara terbaik untuk perkembangan perekonomian sebuah bangsa. Gagasan ekonomi semacam ini adalah "liberal" dalam artian tidak adanya kontrol. Penerapan watak individualisme ini mendorong adanya perusahaan "bebas", persaingan "bebas" -yang sesungguhnya bermakna kebebasan bagi kaum kapitalis untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya sesuai keinginan mereka.

Liberalisme ekonomi mendominasi Amerika Serikat sepanjang tahun 1800-an dan awal 1900-an. Kemudian terjadinya Great Depression (depresi ekonomi besar-besaran) tahun 1930-an membawa seorang ekonom yang bernama John Maynard Keynes kepada teori yang menentang liberalisme sebagai kebijakan terbaik bagi kaum kapitalis. Ia menyatakan bahwa, pada dasarnya, tingkat kerja penuh (full employment) adalah penting bagi kapitalisme untuk berkembang dan hal itu bisa dicapai hanya jika pemerintah dan bank sentral melakukan intervensi untuk meningkatkan lapangan kerja. Ide-ide ini memiliki banyak pengaruh dalam kebijakan New Deal-nya Presiden Roosevelt -yang saat itu meningkatkan taraf hidup bagi banyak orang. Kepercayaan bahwa pemerintah harus memajukan kebaikan umum (common good) diterima secara luas.

Namun krisis kapitalis selama 30 tahun yang lalu, dengan menurunnya tingkat keuntungan yang mereka peroleh, memberi ilham kepada elit perusahaan untuk membangkitkan kembali liberalisme ekonomi. Inilah yang membuatnya menjadi “neo” atau “baru”. Sekarang ini, dengan cepatnya apa yang disebut sebagai globalisasi perekonomian kapitalis, kita menyaksikan neo-liberalisme dalam skala global.

Kaum Neo-Liberalisme banyak mengecam kegagalan-kegagalan teori Keynes. Diantaranya adalah Mark H. Willes mantan Presiden Bank Sentral di Minneapolis dalam bukunya yang bertitel The Crisis In Economic Theory. Dia mengatakan “Saya pernah percaya secara konvensional terhadap teori Keynesian dan model-model ekonomi yang berlandaskan padanya. Namun, sekarang ini saya yakin bahwa teori ini secara mendasar salah”. Selain Willes, James W. Dean, Profesor Ekonomi Makro di Universitas Simon Fraser, Kanada menyumbang tulisan yang senada dengan Willes, yang berjudul “Runtuhnya Kesepakatan Keynesian”.

Tulisan Willes dan Dean ini hadir diantara sepuluh tulisan lain yang mengedepankan gagasan para ekonom Barat yang gelisah terhadap kejenuhan pertumbuhan ekonomi di akhir era 1970-an yang ditandai dengan situasi stagflasi. Situasi ini berlangsung di Amerika Serikat 1969, Italia 1970, Jerman Barat, Inggris dan Jepang pada tahun 1973, serta Perancis pada 1974.


Kembalinya Over Produksi
Pertanyaannya, mengapa Keynesianisme mulai dikecam? Menarik melihat bagaimana konteks kemunculan Keynes yang unik dalam sejarah pemikiran ekonomi. Sejarah mencatat bagaimana situasi masyarakat Amerika pada saat Great Depression 1929. pendapatan nasional turun dari US $ 104 milyar menjadi US $ 56 milyar pada tahun 1933. pengangguran berkecamuk, 85.000 perusahaan bangkrut. Perampokan toko-toko makanan oleh penduduk mulai terjadi di Virginia Barat. Untuk mengatasi hal ini, Roosevelt dalam seratus hari pemerintahannya mengeluarkan 15 produk UU baru. UU ini, selain sebagai langkah taktis pengamanan sosial, juga membalikkan secara total logika pasar sebelumnya.[2] Security Act misalnya dibuat dengan tujuan menghapuskan spekulasi saham dan piramida perusahaan yang tidak sehat. Dengan demikian perubahan penting terjadi: pemerintah mengubah struktur pasar.

Akan tetapi, kebangkrutan yang massive terlalu berat dampaknya. Perangkat regulasi ini tak maksimal sebab para pengusaha sudah tidak menjalankan aktivitas perekonomian. Situasi ini akhirnya memaksa pemerintah untuk berposisi sebagai penentu tingkat pengeluaran yang menggantikan ketidakberdayaan sektor swasta. Disinilah teori Keynes diterapkan. Kebijakan fiskal untuk stabilisasi pendapatan nasional.

Langkah berani Roosevelt dengan New Deal-nya, berkaitan erat pada situasi dimana PD II sebagai perang kaum Imperialisme, yang memberikan banyak kontribusi pada kesuksesan pertumbuhan ekonomi Amerika selanjutnya. Situasi perang sesungguhnya menjadi faktor yang sangat penting untuk diberlakukannya defisit anggaran. Pemerintah harus banyak mengeluarkan dana ditengah situasi dunia yang penuh ancaman itu. Penulis sejarah perekonomian dunia, Robert L. Heilbronner (1982) mencatat bahwa pengeluaran untuk membeli peralatan senjata dan teknologi perang setiap tahun meningkat dan mencapai US $ 100 milyar pada tahun 1944. inilah sesungguhnya yang menjadi alasan utama keberhasilan pertumbuhan Amerika setelah masa-masa sulit yang sangat mencekam itu. Hanya atas dorongan pemerintahlah –melalui anggaran belanja defisit yang diarahkan pada pembelanjaan untuk mempersenjatai Perang Dunia II- pengangguran bisa diatasi. Selama depresi besar-besaran, tak ada kesempatan untuk perluasan pasar. Perang menyediakan semua kebutuhan itu, sehingga pelaku bisnis menangguk kesempatan menggerakan roda produksi.

Jadi, kesimpulan bahwa adopsi kebijakan Keynesian-lah yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi sejak 1940-an hingga 1970-an terkesan lebih menjadi sekedar mitos. Sebab sesungguhnya, restorasi tingkat keuntungan dalam investasi produksi-lah yang menyelamatkannya; melalui gaji riil yang rendah karena tingkat pengangguran tahun 1930-an, hancurnya kompetisi bisnis dan konsentrasi massive kapital serta anggaran belanja defisit negara yang dibelanjakan untuk membeli barang-barang kebutuhan perang sejak akhir tahun 1940-an. Departemen Pertahan AS, seperti diketahui berkembang menjadi kekuatan ekonomi besar yang pembelanjaannya sama dengan tiga per empat pendapatan nasional Inggris serta mempekerjakan 4 juta pegawai dan tentara serta sekitar 2,3 juta pekerja sipil dalam industri militer. Karena itulah James Dean boleh jadi benar ketika menyebut Keynes sebagai seorang “Prophet/Nabi” kendati kemudian berakhir tragis sebagai “Nabi Palsu”. Ia datang sebagai “Messias” dalam situasi yang benar-benar menantikan kehadirannya, kendati situasi itu sendirilah yang sesungguhnya menentukan.

Terdorong oleh perang dan peningkatan persenjataan, maka seluruh cabang produksi mengalami revolusi teknologi –terutama penemuan peralatan-peralatan teknologi yang mempercepat otomatisasi proses produksi- Ingat, komputer yang mulai digunakan secara meluas dan berkembang sejak perang dunia II. Sekali lagi, anggaran belanja defisit negara pada masa Perang Dunia II dan Perang Dingin, yang disalurkan untuk Research and Development serta Technical Improvements, adalah faktor penting meningkatnya inovasi teknologi. Ini menyebabkan berlipatgandanya profit karena bisa menghemat ongkos produksi barang-barang. Penghematan ini memungkinkan penjualan barang menjadi lebih murah dengan konsumen yang lebih besar.

Keuntungan sejarah ini (kemampuan dan penguasaan teknologi semasa perang) sekaligus menjadi modal utama terciptanya over produksi serta insting ekspansi global berikutnya.

Kembali ke era stagflasi 70-an diatas, ekonomi dunia kini dihadapkan pada persoalan-persoalan yang kembali stagnan. Akibatnya, para intelektual mencoba membuka kembali kitab-kitab ilmu ekonomi. Ayat-ayat Smith, Ricardo, Quesney, Say, Mill dan pemikir-pemikir klasik lainnya dicerna ulang. Upaya ini untuk mencari inspirasi yang dapat menjelaskan problem “baru”, seperti ditulis Dean. “…mengapa pasar secara agregat tidak menjamin kesempatan kerja bagi semua yang menginginkannya, walaupun kenyataannya keadaan kesempatan kerja penuh diinginkan oleh seluruh individu partisipan pasar”.

Andai saja rantai sejarah benar-benar dicermati, sesungguhnya realitas ekonomi Barat ketika adalah sebuah keniscayaan yang tak bisa dihindari. Restrukturisasi kapital, setelah gelombang panjang ekspansi sejak 1940 - 1960-an, yang terus terbentuk dari hasil keuntungan setiap tahun menjadi tidak lagi produktif untuk investasi. Inilah yang menyebabkan penurunan jumlah lapangan kerja. Terjadi over akumulasi modal, meningkatnya perubahan modal ke dalam kertas-kertas yang menghasilkan bunga, atau spekulasi surat berharga. Aktivitas ini tidak hanya di lakukan oleh para “spekulan profesional” melainkan justru didominasi oleh bank-bank swasta besar maupun perusahaan multinasional. Jadi, sesungguhnya situasi yang serupa dengan depresi 1929 kembali terjadi. Di akhir tahun 1970-an kembali over produksi mulai memanifes.

Menjawab persoalan ini, serta hasil reinterpretasi terhadap fatwa kaum klasik, para ekonom menawarkan apa yang disebut teori “Harapan Rasional”. Inilah teori ekonomi klasik “baru” yang berangkat dengan kepercayaan optimasi individu dalam aktivitas ekonomi serta pasar yang bisa menjernihkan. Jadi, biarkanlah pasar berjalan sesuai logikanya dan pelaku pasar pasti bertindak rasional dalam pilihan-pilhan aktivitas ekonominya. Inilah basis ideologis bagi Neo-Liberalisme yang sesungguhnya. Secara Ideologis, Neo-Liberalisme tidak lagi mempercayai pendekatan Keynesianisme untuk menyelesaikan krisis kapitalisme yang melilitnya di tingkat global.


Neo-Liberalisme menuai radikalisme
Finance capital saat ini telah mendominasi perputaran ekonomi dunia. Lebih dari 90 % transaksi dunia, didasarkan atas pergerakan uang-kertas (paper-money) “mengambang”, yaitu bahwa sesungguhnya transaksi-transaksi tersebut bersifat spekulatif. Hal yang sama juga terjadi pada sejumlah besar modal-uang yang di investasikan dalam pasar saham. Sejak terjadinya ledakan pasar saham pada bulan oktober 1987, jumlah paper-money yang diinvestasikan dalam saham-saham perusahaan melonjak menjadi lebih dari 25 % di Italia dan Kanada, lebih dari 50 % di AS, Jerman dan Inggris; serta diatas 100 % di Perancis.

Ekonomi-politik dunia yang di dominasi oleh oligarki finansial berdampak pada konsentrasi nilai yang diproduksi masyarakat dunia ke tangan segelintir multi nasional. Ini terlihat dalam bentuk penyatuan modal bank, finansial dan produksi. Trilyunan dollar keluar-masuk sebagai gerak internasional modal finansial. Kelenturan gerak modal uang ini, sebelumnya telah dijembatani oleh para pemimpin G-7. Pada pertemuan tahun 1976 mereka menyepakati sebuah program reorganisasi ekonomi dunia ketiga dengan cara: membuka pasar dunia (yaitu mengimpor dari negara-negara imperialis); prioritas ekspor dari pada pasar dalam negeri; swastanisasi perusahaan-perusahaan negara; dan membuka diri terhadap investasi asing (yaitu penanaman modal oleh negara-negara maju); serta pengurangan subsidi anggaran yang “tidak produktif” seperti BBM/TDL, kesehatan dan pendidikan. Sejarah perjalanan inisiatif-inisiatif globalisasi berturut-turut adalah Kennedy Round (1962-1968), Tokyo Round (1973-1980), Uruguay Round (1986), dan juga WTO (1990-an).

Dalam WTO-lah paradigma ekonomi dunia dimaklumatkan untuk kembali pada liberalisme yang bukan klasik tetapi Neo-liberalisme. Blok-blok perdagangan antar kawasan seperti AFTA, NAFTA dan forum APEC mulai dibentuk sebagai Steering Comitte yang akan mencoba mengatasi ketimpangan infra struktur ekonomi yang tidak sejajar ketika masuk dalam pasar global dunia.


Pokok-pokok utama neo-liberalisme, meliputi:
1. Aturan Pasar. Membebaskan perusahaan "bebas" atau perusahaan swasta dari kewajiban-kewajiban yang diterapkan oleh pemerintah (negara) tidak peduli sebanyak apa kerugian sosial yang diakibatkannya. Keterbukaan yang lebih besar pada perdagangan internasional dan investasi, seperti di NAFTA. Pengurangan upah dengan mencegah peran serikat-serikat (de-unionizing) buruh dan mengurangi hak-hak buruh yang sudah dimenangkan oleh buruh selama bertahun-tahun perjuangannya. Tidak ada lagi kontrol harga. Intinya, kebebasan mutlak bagi pergerakan modal, barang, dan jasa. Untuk meyakinkan bahwa hal ini baik bagi kita, mereka berkata "pasar yang tidak diregulasi (diatur) adalah jalan terbaik untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, yang akan sangat menguntungkan semua orang.'' Ini mirip dengan kebijakan ekonomi "sisi-penawaran" dan "mengalir ke bawah" - nya Reagan - tapi ternyata kesejahteraan tidak banyak mengalir ke bawah.

2. Memotong Anggaran Belanja Publik Bidang Pelayanan Sosial seperti pendidikan dan pemeliharaan kesehatan. Mengurangi Dana Jaringan Pengaman untuk Rakyat Miskin, dan bahkan dana pemeliharaan jalan raya, jembatan, pengadaan air - lagi-lagi atas nama pengurangan peran pemerintah. Tentu saja, mereka tidak menentang subsidi pemerintah dan keringanan pajak bagi dunia bisnis.

3. Deregulasi, mengurangi peraturan pemerintah dalam segala hal yang bisa menurunkan keuntungan, termasuk dalam hal perlindungan alam dan keselamatan kerja.

4. Privatisasi. Menjual badan-badan usaha milik negara, barang-barang dan jasa kepada investor swasta. Ini termasuk bank-bank, industri-industri strategis, jaringan rel kereta api, jalan-jalan tol, pembangkit listrik, sekolah-sekolah, rumah sakit dan bahkan air bersih. Walaupun biasanya dikerjakan atas nama efisiensi yang lebih besar, yang sering dibutuhkan, privatisasi terutama sekali berpengaruh dalam pemusatan kemakmuran yang lebih besar lagi ke tangan segelintir orang dan membuat masyarakat membayar lebih banyak lagi untuk memenuhi kebutuhannya.

5. Mengurangi Konsep "Kebaikan Umum" atau "Komunitas" dan menggantikannya dengan "tanggung jawab individu". Menekan rakyat miskin dalam masyarakat untuk dapat menjawab persoalan mereka akan kurangnya perawatan kesehatan, pendidikan dan jaminan sosial semuanya oleh mereka sendiri - dan kemudian menyalahkan mereka, jika mereka gagal, sebagai "pemalas".

Di seluruh dunia, neo-liberalisme telah didiktekan oleh lembaga-lembaga keuangan yang berkuasa seperti International Monetary Fund (IMF), Bank Dunia dan Inter-American Development Bank. Neo-liberalisme merajalela di seluruh Amerika Latin, Asia Timur dan Tenggara. Contoh pertama yang jelas tentang bekerjanya neo-liberalisme terjadi di Chile, kudeta Jendral Pinochet tahun 1973 yang didukung CIA menumbangkan pemerintahan popular hasil pemilu Allende. Negeri-negeri lain kemudian menyusul, dengan akibat terburuk yang ditimbulkannya seperti di Meksiko dimana upah turun sebesar 40% hingga 50% di tahun pertama NAFTA, padahal di saat yang sama biaya hidup justru meningkat sebesar 80%. Lebih dari 200.000 usaha kecil dan menengah bangkrut dan lebih dari 1.000 badan-badan usaha milik negara diprivatisasi di Meksiko. Seorang pakar mengatakan, "Neo-liberalisme berarti neo-kolonisasi Amerika Latin."

Di Amerika Serikat neo-liberalisme menghancurkan program-program kesejahteraan; hak-hak buruh terus dikurangi (termasuk buruh migran), dan memotong program-program sosial. "Kontrak" kaum Republikan pada Amerika adalah murni neo-liberalisme. Para pendukungnya berupaya keras menolak perlindungan pada anak-anak, remaja, perempuan, dan bahkan juga pada planet ini sendiri - dan berupaya menipu kita agar menerimanya dengan mengatakan bahwa hal ini akan "mengurangi peran pemerintah". (get the government off my back). Jelas yang diuntungkan dari neo-liberalisme hanyalah sekelompok minoritas dari masyarakat dunia. Bagi mayoritas luas masyarakat hal ini lebih membawa penderitaan daripada sebelumnya: menderita tanpa keuntungan yang kecil sekali pun yang telah dengan susah payah diperoleh melalui perjuangan selama 60 tahun terakhir. Penderitaan tanpa akhir.

Namun, dimanapun penindasan disitulah perlawanan diadakan. Perancis Desember 1995, sekitar dua juta orang buruh kereta api berhasil menggagalkan pemotongan tunjangan sosial. Aksi massa ini berlangsung selama 24 hari. Protes juga sempat terjadi ketika dalam rangka mencapai target anggaran menjelang penyatuan mata uang Euro, pemertintah memotong sekitar 5.500 lapangan kerja. Aksi-aksi serupa kembali menguat di Eropa dalam rangkaian protes terhadap kenaikan harga BBM yang tinggi bulan september 2000 yang lalu. Bahkan hingga Desember 2000, para petani bahkan masih terus melakukan aksinya sembari membawa sapi dari peternakan mereka di depan gedung pertemuan KTT Eropa (lihat Kompas, 8/12//2000).

Kegelisahan ini amat wajar bila tidak ingin menunggu kehancuran yang lebih parah. Penglaman sejarah menunjukkan bahwa perang adalah alternatif untuk penyelesaian krisis. Melalui perang dua hal dapat tercapai; ekspansi pasar atau penghancuran pasar, untuk kemudian dibangun kembali sebagai jalan akomodasi nafsu akumulasi kapital.


[1] Elizabeth Martinez adalah seorang aktivis yang lama bekerja dalam bidang penegakkan hak-hak sipil, menulis beberapa buah buku, antara lain "500 Years of Chicano History in Photographs."
Pernyataan diatas diungkapkannya dalam sebuah pertemuan the Intercontinental Encounter for Humanity and against Neoliberalism, 27 Juli - 3 August 1996, di La Realidad, Chiapas.
[2] Logika pasar saat itu adalah dominasi kaum ekonom klasik para pengikut Adam Smith dengan liberalisme pasar-nya.

0 komentar:

Posting Komentar