Buat kawan-kawan setia blog ini yang mau mendengarkan cerita dewasa dalam bentuk audio (suara cewek bos!) silahkan klik Disini Jangan lupa rajin-rajin berkunjung ke blog ane and jaga sikap kawan-kawan terhadap saudari-saudari kita. Cewek-cewek juga manusia gan. Dipergunakan untuk keperluan pribadi, TITIK

Rabu, 06 April 2011

Mengenal Mitos dan Mitologi

Mitos : Ilustrasi
Menurut C.A. van Peursen, mitos ialah sebuah cerita yang memberikan pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang, memberikan arah kepada kelakukan manusia, dan merupakan semacam pedoman untuk kebijaksanaan manusia. Lewat mitos itu manusia dapat mengambil bagian 'partisipasi' dalam kejadian sekitarnya, dapat menanggapi daya kekuatan alam.[1] Mitos menceritakan bagaimana suatu keadaan menjadi sesuatu yang lain; bagaimana dunia yang kosong menjadi berpenghuni; bagaimana situasi yang kacau menjadi teratur; bagaimana yang tak dapat mati menjadi mati; bagaimana musim berganti iklim yang tidak lagi bermusim; bagaimana manusia yang semula hanya sepasang menjadi beraneka ragam suku dan bangsa bagaimana makhluk tak berkelamin menjadi lelaki atau perempuan, dan sebagainya. Singkatnya, mitos tidak hanya menceritakan asal mula dunia, bintang, tumbuh-tumbuhan, dan manusia, tetapi juga kejadian awal yang menyebabkan manusia menemukan dirinya ada seperti ia temukan sekarang ini, bisa mati, berjenis kelamin, tersusun dalam suatu masyarakat, harus bekerja keras agar bisa hidup, dan harus hidup dalam seperangkat norma.[2]

Dalam kaitannya dengan Alukta, mitos menjadi penting bukan semata-mata karena memuat kejadian ajaib atau peristiwa mengenai makhluk adikodrati, melainkan karena mitos tersebut memiliki fungsi eksistensial bagi manusia, komunitas Alukta. Sejalan dengan penekanan Malinowski, mitos merupakan kisah atau cerita suci yang diceritakan untuk menetapkan kepercayaan tertentu, berperan sebagai peristiwa pemula dalam suatu upacara atau ritus, atau sebagai model tetap dari perilaku moral maupun religius.

Karenanya, mitologi atau tradisi suci dari suatu masyarakat adalah kumpulan cerita yang terjalin dalam kebudayaan mereka, yang menyuarakan keyakinan mereka, menentukan ritus mereka, yang berlaku sebagai peta peraturan sosial maupun sebagai model tetap dari tingkah laku moral mereka. Setiap mitos tentu saja memiliki isi literer karena selalu berbentuk narasi. Akan tetapi, narasi itu bukan sekedar dongeng yang menghibur maupun pernyataan yang diberikan kepada penganut agama. Mitos adalah cerita sejati mengenai kejadian yang bisa dirasa telah turut membentuk dunia dan hakikat tindakan moral, serta menentukan hubungan ritual antara manusia dengan penciptanya, atau dengan kuasa yang ada.[3]

Apabila mitos memberikan pendasaran bagi ritus, keyakinan, keharusan moral, dan organisasi sosial, ini berarti mitos bukanlah ilmu primitif ataupun kiasan filosofis, bukan pula sejarah aneh-aneh yang diputarbalikkan. Fungsi utama mitos bukanlah untuk menerangkan atau menceritakan kejadian historis, bukan pula untuk mengekspresikan fantasi dari impian suatu masyarakat. Tujuan utama dari tradisi suci bukanlah mau memberikan kronologi peristiwa masa lampau, melainkan memberikan dasar peristiwa awal mengenai masa lampau yang jaya untuk diulangi lagi di masa kini.[4]

Di sisi lain, menurut Susanne K. Langer, apakah dipercaya atau tidak, mitos terangkat karena keseriusan beragama, ia salah satu fakta historis, atau merupakan suatu kebenaran "mistik".[5] Atau dengan kalimat lain, fungsi mitos ialah mengungkapkan, mengangkat dan merumuskan kepercayaan, melindungi dan memperkuatkan moralitas, menjamin efesiensi dan ritus, serta memberi peraturan praktis untuk menuntun manusia. Jadi, menurut antropologi fungsionalis, mitos adalah kekuatan yang mempranatakan masyarakat itu sendiri, sehingga memainkan peranan penting dalam hidup sosial, tetapi mitos tidaklah merefleksikan keseluruhan struktur sosial. Mitos bisa saja, karena sifatnya yang selektif, menampilkan sifat-sifat pilihan dari realitas sosial; namun tidak selalu merupakan kekuatan pemersatu dalam masyarakat; mitos dapat, dan terkadang justru, menjadi kekuatan pemecah juga.


[1] C.A. Van Peursen, op. cit., hlm. 37.
[2] Mariasusai Dhavamony, op. cit., hlm 149.
[3] Ibid., h. 150.
[4] Ibid
[5] Susanne K. Langer, Philosophy in A New Key, (New York: Mentor Books, 1949), h. 142.

0 komentar:

Posting Komentar