Buat kawan-kawan setia blog ini yang mau mendengarkan cerita dewasa dalam bentuk audio (suara cewek bos!) silahkan klik Disini Jangan lupa rajin-rajin berkunjung ke blog ane and jaga sikap kawan-kawan terhadap saudari-saudari kita. Cewek-cewek juga manusia gan. Dipergunakan untuk keperluan pribadi, TITIK

Kamis, 07 April 2011

Meresensi Buku dalam Setting "Mengikat Makna"

Penulis: Hernowo

Jika ada yang bertanya kepada saya--dan jawaban yang diharapkan dari saya sifatnya praktis, tidak filosofis--tentang apa sih arti "mengikat makna", saya akan menjawab, "Mengikat makna' adalah meresensi buku." Cuma itu? Ya.
Ketika saya belum memiliki pengalaman menulis secara "fun", saya banyak berlatih menulis dalam konteks meresensi buku. Dalam bahasa saya, ketika saya meresensi

Jika saya membaca buku, itu berarti saya sedang membaca pergulatan pemikiran pengarang buku tersebut. Saya, misalnya, mencermati dan menyeleksi benar mana tulisan si pengarang yang menarik perhatian saya. Apa kriteria menarik perhatian itu? Menarik perhatian yang saya maksud adalah apa-apa yang ditulis atau dirumuskan oleh si pengarang itu sangat cocok dengan keadaan diri saya--khususnya cocok (match) dengan pengalaman saya yang saya miliki.

Saya kumpulkan tulisan-tulisan si pengarang yang cocok dengan pengalaman saya, dan kemudian saya tuliskan kembali (pindah/salin) ke buku harian saya. Semakin banyak tulisan si pengarang yang saya kumpulkan, berarti buku yang dikarangnya itu mengasyikkan diri saya. Saya merasakan sekali, sewaktu saya menemukan rumusan si pengarang yang cocok dengan pengalaman diri saya, diri saya berkembang.

Berkembang? Ya. Ketika membaca buku, saya--sebagaimana diungkapkan oleh Ursula Le Guin--sebenarnya sedang membaca diri saya lewat pengalaman orang lain. Buku--merujuk ke Kuntowijoyo--adalah kumpulan "pengalaman batin" seseorang yang telah distrukturkan. Jika kita rajin membaca buku--tentu, buku yang saya maksud di sini adalah buku yang berisi pergulatan pemikiran si penulisnya--itu berarti kita rajin belajar dari pengalaman orang lain, termasuk (menurut saya) belajar dari pengalaman diri sendiri.

Nah, ketika saya membaca buku, karena di dalam diri saya sudah tersimpan pelbagai pengalaman batin, pengalaman batin saya lantas bersentuhan (tepatnya, berinteraksi) dengan pengalaman batin si penulis buku. Persentuhan yang akrab dan sangat intim akan membuat saya berada dalam keadaan yang "fun"--meski juga, kadang, ada semacam "ketegangan". Bertemunya pengalaman saya dan pengalaman si penulis buku itulah yang membuat diri saya berkembang.

Ciri-ciri perkembangan diri yang saya alami, di antaranya, adalah saya jadi dapat mengoreksi sekaligus memperbaiki pengalaman saya. Saya jadi dapat membuat diri saya kaya raya akan "pengalaman batin". Dan, ada kemungkinan, saya diteguhkan sebagai manusia karena saya menemukan bahwa, ternyata, pengalaman yang dituliskan oleh seorang penulis-sukses sama persis dengan pengalaman saya. Inilah manfaat-hebat dari membaca buku menurut saya.

Akhirnya, ketika saya mencuplik dan mengumpulkan tulisan-tulisan yang menarik perhatian saya dari sebuah buku, saya sebenarnya sedang mencuplik pengalaman saya dalam bahasa seorang penulis-sukses yang bukunya saya baca. Jika cuplikan yang saya kumpulkan cukup banyak, saya lalu dapat memetakan kandungan buku yang menarik bagi diri saya. Saya pun lantas mampu "mengikat" semua itu sesuai keinginan saya. Jadilah kemudian sebuah resensi buku yang sangat bermakna bagi diri saya.

Langkah meresensi buku yang barusan saya uraikan tersebut, biasa saya istilahkan sebagai teknik "menggunting dan merekatkan" (atau cutting and glueing--dalam bahasa Inggris pasaran yang sudah saya sesuaikan dengan keadaan diri saya). Ini merupakan cara meresensi buku yang dapat dilakukan oleh seorang pemula. Manfaat meresensi buku seperti ini adalah dapat memberikan peluang sangat besar kepada seseorang untuk berlatih menulis dengan bantuan "bahasa" orang lain. Inilah juga yang dapat membuat seseorang jadi melakukan kegiatan membaca buku secara efektif (ada efeknya terhadap pengembangan diri).

Jika langkah pertama meresensi buku--dengan teknik "cutting and glueing"--sudah berkali-kali dilewati, saya kemudian mendorongnya untuk meningkatkan kadar kegiatan meresensi buku ke langkah yang lebih tinggi. Langkah selanjutnya ini saya sebut sebagai teknik "focusing" atau memusatkan perhatian pada satu hal yang ada di dalam buku yang menarik perhatiannya. Dia, misalnya, dapat memusatkan perhatian pada sosok pengarang atau penulisnya.

Bagaimana latar belakang pendidikan si penulis? Mengapa dia menulis buku ini dan bukan itu? Apakah ada keistimewaannya? Apakah ada yang dapat dipelajari dari pengalamannya menulis? Jika seseorang dapat meresensi sosok penulisnya, tentulah orang itu sekaligus dapat belajar bagaimana menjadi penulis yang berhasil--sebagaimana buku dan penulisnya dia pilih sendiri untuk dibaca. Atau, selain itu semua, dia kemudian dapat memetik hikmah dari kekayaan pengalaman luar biasa yang dimiliki si penulis.

Tak hanya sosok penulisnya yang dapat disorot lewat teknik "focusing". Seorang peresensi buku juga dapat memperhatikan secara cermat dan saksama tentang desain sampul buku, jika dia memang suka dan punya pengalaman dalam bidang rancang-merancang sampul. Atau, dia juga dapat fokus pada bagaimana buku itu diorganisasikan, dirancang bab-babnya, atau dibangun oleh si penulis. Seorang peresensi yang menggunakan teknik "focusing" akan sangat terbantu dalam meresensi buku jika dia memahami dengan baik anatomi buku--apa saja sih komponen-komponen penting pembangun buku.

Teknik tertinggi dalam meresensi buku saya sebut sebagai teknik "comparing". Akan lebih bagus jika orang yang ingin menggunakan teknik ketiga ini sudah melewati (atau sudah berlatih secara cukup lama dengan) kedua teknik sebelumnya--"cutting and glueing" dan "focusing". Kenapa? Sebab, kedua teknik sebelum teknik "comparing" ini akan mempertajam dan memuluskan penggunaan teknik "comparing". Dalam bahasa yang sederhana, teknik ketiga ini bisa disebut sebagai teknik membandingkan.

Karena membandingkan, maka yang dia baca tidak hanya satu buku yang ingin diresensi, tetapi juga buku lain, baik buku dengan tema sejenis yang ditulis oleh penulis berbeda atau buku berbeda yang ditulis oleh penulis yang sama. Dalam teknik membandingkan, yang perlu "diikat" oleh seorang peresensi jadi cukup banyak dan terukur. Dan sewaktu seorang peresensi meggabung-gabungkan apa-apa yang mau "diikat", dia perlu menganalisis lebih jeli dan, itu tadi, terukur.

Bagaimana bentuk-bentuk hasil resensi dengan menggunakan tiap-tiap teknik tersebut? Tentu, saya tak akan mencontohkannya. Saya juga tak akan menunjukkan bahwa hasil yang satu akan lebih baik dari hasil yang lain. Saya sedang tidak berbicara soal hasil. Saya hanya ingin seseorang dapat memanfaatkan kegiatan baca-tulis untuk "mengikat makna" hidupnya--baik lewat buku yang dibacanya maupun lewat medium yang lain.

Setelah saya berlatih "mengikat makna" lewat proses meresensi buku, saya kemu-dian merasakan bahwa semakin lama saya bergaul dengan banyak buku, semakin lama pula kemampuan menulis saya mencuat-hebat. Lama-lama saya pun jatuh cinta pada buku dan kegiatan membaca buku. Lho kok? Ya, saya jatuh cinta lantaran buku benar-benar mengayakan diri saya dan membuat saya dapat mendeteksi diri saya yang terus-menerus berubah.

Pada akhirnya, proses "mengikat makna" saya perpanjang dan perlebar ke mana-mana. Tak hanya buku yang saya resensi. Saya melanjutkan proses "mengikat makna" dalam konteks apa saja. Pokoknya jika saya bersentuhan dengan hal-hal yang bermanfaat bagi diri saya, saya langsung menuliskannya. Misalnya, saya tiba-tiba memperoleh sesuatu yang bermanfaat dari menonton film, mendengarkan musik, atau, bahkan, ketika melihat diri saya sendiri, langsung saja hal-hal yang bermanfaat itu cepat-cepat saya sikat--eh, "ikat"!

Ya, akhirnya, saya mempersepsi bahwa menulis (atau "mengikat makna") itu dapat membantu saya dalam mengenali pikiran, perasaan, dan apa pun yang bergejolak di dalam diri saya. Karena saya merasakan manfaatnya bagi diri saya sendiri, saya pun kemudian berjanji kepada diri saya bahwa saya akan melakukan "mengikat makna" setiap hari. Dan itulah yang kemudian saya sebut sebagai--sekaligus saya jajakan ke mana-mana agar siapa saja mau--menulis catatan harian (diary).

"Kita membaca buku untuk mencari tahu tentang diri kita sendiri. Apa yang dilakukan, dipikirkan, dan dirasakan oleh orang lain--entah hal-hal itu nyata atau imajiner--merupakan petunjuk yang sangat penting terhadap pemahaman kita mengenai apa sebenarnya diri kita dan bisa menjadi seperti apakah diri kita ini," ujar Ursula Le Guin.

Semoga bermanfaat. (Bandung, 29 Januari 2004)

0 komentar:

Posting Komentar