Penulis : Mudji Sutrisno
APAKAH peradaban merupakan olahan proses dirajutnya moralitas (baca: kesadaran mengenai baik dan buruk untuk menyikapi hidup) bersumber pada religiositas dalam strukturisasi dan kulturasi hidup bersama terus-menerus untuk membangun masyarakat, negara (secara politik sejahtera dan damai), serta tata ekonomi berkeadilan hingga semakin sedikit masyarakat yang miskin dan semakin sedikit yang tidak mendapatkan hak hidup sebagai manusia?
Apakah jumlah aktor atau pelakunya ketika tidak mau lagi punya anak demi penjungkiran nilai pascaindustri di mana ayah/suami kerja beda tempat dan istri harus kerja pula, lalu memilih cara hidup double income and no kids couples (= DINKS), yaitu pasangan-pasangan yang tak mau punya anak karena tidak mau repot serta mau menikmati hidup di "Barat", menentukan surutnya bahkan matinya peradaban Barat?
Buku Patrick J Buchanan, The Death of the West (NY, 2002), tidak hanya secara provokatif menggugat peradaban Barat dengan data penduduk yang makin surut serta kenyataan imigran non-Barat yang populasinya 3-4 kali lipat lalu menghuni dan hidup di Amerika Serikat tanpa menghirup perekat moralitas nilai korban diri dan semangat mau membangun pluralitas dalam unitas atau majemuk dalam kesatuan bernegara beretos hidup merdeka, mau seperti membangun batu-batu untuk direkatkan sebagai bangsa lewat kemerdekaan, hormat menghormati sesama dan etos kerja keras bukan etos penikmatan hidup sebenarnya merupakan titik persimpangan jalan antara bunuh diri karena moralitas yang dulu dijunjung tinggi seperti keluarga banyak, utuh, ayah ibu kerja dan berkorban untuk perkembangan anak-anak lewat keteladanan kini justru dicampakkan dan diganti gaya moralitas selingkuh, egohedonis, dan sama sekali tak mau korban bahkan peduli pada yang lain?
Ada bagian dari manusia yang disebut kesadaran. Kesadaran ini bertumbuh bersamaan dengan diasahnya budi dan ditajamkannya nurani melalui pendidikan.
Ketika mata budi diajari untuk peka melihat ada yang lain sebagai sesama makhluk dan sesama manusia, di sana rasa ikut menanggung papa serta sukacita dirajut dalam renung-renung refleksi budi.
Ketika nurani diasah lewat pemecahan sepotong roti yang dibagi ibu untuk tidak hanya kumakan sendiri, namun rela membagikannya pada teman atau saudara, di sana yang lain diteguhkan kehadirannya dalam pilihan nurani untuk berbagi hati.
Pendidikan yang dihayati dengan meminum air jeruk kebaikan, oksigen kebenaran dan sinar hangat matahari hidup keindahan, yang diolah dalam benturan-benturan konflik dan pilihan sadar nurani hingga terbentuklah sikap penghayatan hidup penuh syukur karena hati hening mampu menangkap karya Pencipta di alam dan dalam sesama-sesama makhluknya sebagai saudara-saudara-i sesama ciptaan yang sesama manusia itu sendiri.
NAMUN, sejarah pengalaman peradaban menunjukkan logika pilihan dua cabang. Yaitu, ketika kekuatan-kekuatan kreatif bangsa dengan kekayaan dan kebijaksanaan lokalnya majal dan mandul dalam menjadi ruang belajar membatinkan kebenaran, kebaikan, dan keindahan karena kesalahan aktor-aktornya yang dikutuk sejarah lantaran tidak pernah mau belajar menguasai naluri purba dan hasrat berkuasa, hingga terus-menerus menghabiskan diri dalam berkelahi, maka di sana peradaban selalu ditarik surut menjadi kebiadaban atau ruang berkelahinya gajah sesama gajah pelanduk mati di tengah-tengah. Ruang publik peradaban untuk membangun tata sosial menjadi gagal terus karena energi kreatif (dihabiskan untuk unjuk diri dan saling dengki karena sesama dicurigai sebagai persaingan yang oleh Thomas Hobbes disebut situasi manusia mengerkah sesamanya, seperti serigala yang saling merebutkan makanan (homo homini lupus).
Pilihan kedua, adalah jalan peradaban yang sadar akan kehidupan lalu mendidik diri dan seluruh energi kreatif bangsa untuk mengolah sumber-sumber alam dalam tata ekonomi merata sesama warga, membentuk hidup sosial saling menghormati dalam tata/masyarakat taat asas aturan hukum yang disepakati demi kedamaian serta sepakat merajut kesejahteraan bersama dalam kreasi-kreasi peradaban di mana kematian dan bunuh diri budaya ditolaknya dan diganti dengan ikhtiar-ikhtiar serta aksi budaya mencintai dan mempermuliakan kehidupan. Proses hidup menjadi nilai. Kelahiran sesama menjadi perayaan. Perjuangan membela dan mengorbankan diri bagi mekarnya generasi-generasi baru menjadi latihan ekspresi diri untuk mewujudkan kecintaan pada hidup dan pemuliaan pada tiap makhluk dan sesama manusia sebagai bermakna.
Dari mana sumber-sumber penghayatan nilai itu? Dari setiap oasis religius, estetika, dan logika tradisi cinta alam dan cinta kehidupan yang dirayakan di tiap adat, di tiap local geniuss dan diterus-turunkan lewat wacana lisan atau tulisan dalam apa yang oleh istilah modern disebut pendidikan kehidupan.
Pada kedua ini, kehidupan dibaca teksnya dan direnungi wisdom serta rohnya lalu dirayakan bersama anak cucu untuk tetap mencintai dan mempermuliakan serta tidak merampok menghancurkannya demi ego diri serakah atau demi komunalisme sempitnya yang lupa bahwa bahasa ini majemuk, dan hanya mampu merekat bila menyumbangkan masing-masing untuk satu permuliaan kelangsungan kehidupan itu sendiri.
Oasis kebenaran tidak hanya diolah dalam penangkapan pengertian otak melulu, tetapi dikaji bersama nurani dalam renungan-renungan pertanyaan pokok, yaitu untuk apa kita bersama sebagai bangsa ini menghayati dan memaknai hidup yang majemuk suku, majemuk kekayaan identitas, namun menyatu dalam bernegara dengan kesepakatan tata negara yang adil, beradab, majemuk, pasti hukum dan demokratis?
Oasis kebaikan tidak hanya diramaikan dalam pepatah, petuah kata, serta ajakan pidato dan upacara formal, namun dicoba hayati sebagai etos perlakuan terhadap sesama yang dari mata air-mata air religiositas diyakini bahwa sesama adalah citra Tuhan, kalifatullah Allah serta rekan sesama peziarah menuju asal hidup, yaitu sumber kebaikan itu sendiri. Yang dipraktikkan lewat berbuat baik dan menularkan serta membagi kebaikan agar hidup makin disyukuri, lantaran makin sedikit yang tidak kebagian rahmat baik pencipta dan makin menyusut sesama-sesama yang papa dan tidak merasakan ratanya kebaikan yang dibagi, karena sikap-sikap menumpuk buat diri sendiri atau tata hidup bersama yang tidak membagi roti untuk sesama tetap dominan sebagai cara hidup serakah menggenggam dua tangan dan merebut semuanya dalam gangguan sendiri, serta sama sekali tidak mau mengulurkan tangan terbuka buat yang lain.
Meminjam Arnold Toynbee, pilihan pertama peradaban yang antikehidupan dan antipemekaran daya-daya kebudayaan kreatif akan membawa kehancuran bahkan hilangnya peradaban sebuah bangsa. Olehnya bahkan ditunjuk sumbernya karena tidak tumbuh lagi generasi pe-rintis kreatif, tidak ada lagi pencipta dan perancang hidup bersama yang beradab karena daya kreasi dibuang habis oleh perkelahian dan bunuh diri budaya karena kesalahan sendiri.
Mengapa kesalahan sendiri? Karena orang menyalurkan naluri-naluri primitifnya sebagai pemborosan dan saling menghancurkan tanpa perekat dan tanpa satu kerelaan untuk berkorban, menghormat sesama, apalagi solider.
Dalam bahasa Freud, sublimasi kultural dipakai dan didorong oleh naluri Thanatos, yaitu naluri merusak bahkan naluri kematian. Padahal, pilihan kedua, bila mau, dalam sublimasi karya-karya budaya Freudian, ia akan berkembang bila disumberkan pada eros, yaitu pro life energy yang melangsungkan dan merawat kehidupan.
PERADABAN yang membela kehidupan yang bersumber pada eros inilah yang dalam pemahaman tradisi besar lama dirumuskan sebagai puncak-puncak dari pencapaian masing-masing tradisi lokal ketika ekspresi-ekspresi karya kultural diberi wujud entah seni, atau karya maupun kebijaksanaan tenunan adat setempat. Mengapa pemahaman puncak-puncak masuk dalam tradisi besar lama? Dua alasannya. Pertama, asumsi penentu benar tidaknya atau baik tidaknya dipegang oleh otoritas, pusat dengan kuasa monopoli penafsir dan penentu sebuah peradaban sah atau tidak.
Maka, ketika kesadaran keragaman makin tercerahkan berkat pendidikan serta insight-insight betapa perbedaan merupakan kenyataan kehidupan yang memperkaya, maka di sana, masing-masing tradisi sama sahnya untuk menafsir dan menentukan local wisdom atau kearifan siapa pun itu sama-sama berharga di antara satu dengan yang lain untuk menjadi acuan serta penentu makna dan arti kehidupan.
Dengan kata lain, begitu proses pendidikan memperluas dan memperdalam kesadaran setiap identitas aku bersama-sama dengan aku-aku yang lain maka tidak ada lagi main kuasa monopoli si Aku Besar yang memaksakan bahkan mendikte aku-aku lain sebagai sesama-sesama peziarah kebenaran, keindahan dan kebaikan. Inilah kesadaran multi aku kultural di mana aku beridentitas etnik sama sah dan benarnya ketika merajut kebudayaannya menjadi transformatif (pendaerahan) bersama-sama aku beridentitas kota; juga bersama diri pesisir; diri agraris; diri kosmopolitan maupun diriku yang pasca-Indonesia atau aku universal bahkan pula aku lintas batas.
Ini semua amat mengandaikan proses pendidikan yang mencerahkan budi untuk berpikir jernih agar tidak bergerak karena emosi dan marah serta dengki sekaligus edukasi sumbangan tradisi-tradisi agama dan kebijaksanaan lokal untuk mendidik beningnya nurani buat jujur terhadap diri sendiri; Tuhan dan terhadap sesama!
Hanya melalui proses ini, pemimpin dan masyarakat dewasa bernegara bisa terwujud!
DR Mudji Sutrisno, Rohaniwan dan pengajar di STF Driyarkara Jakarta
0 komentar:
Posting Komentar