Buat kawan-kawan setia blog ini yang mau mendengarkan cerita dewasa dalam bentuk audio (suara cewek bos!) silahkan klik Disini Jangan lupa rajin-rajin berkunjung ke blog ane and jaga sikap kawan-kawan terhadap saudari-saudari kita. Cewek-cewek juga manusia gan. Dipergunakan untuk keperluan pribadi, TITIK

Rabu, 06 April 2011

Membaca - Menulis atau Menulis - Membaca

Penulis: Hernowo

Apabila Anda disodori sebuah pertanyaan tentang apakah lebih baik membaca lebih dahulu baru menulis atau menulis lebih dahulu baru membaca, apa kira-kira jawaban Anda?

Apabila Anda disodori sebuah pertanyaan tentang apakah lebih baik membaca lebih dahulu baru menulis atau menulis lebih dahulu baru membaca, apa kira-kira jawaban Anda?

Di Andaikan Buku Itu Sepotong Pizza, tepatnya di halaman 90, hal tersebut sempat saya lontarkan. Namun, ketika itu, saya belum ingin memecahkannya.

"Bagaimana caranya agar kita mau dan mampu menjalankan dua aktivitas membaca dan menulis secara bersamaan dan efektif? Apakah mungkin kita melakukan hanya satu aktivitas, tetapi terjalankan secara efektif misalnya membaca saja atau menulis saja?" tulis saya. "Apabila tidak mungkin, aktivitas yang mana dahulu yang sebaiknya dijalankan--apakah membaca dahulu atau menulis dahulu?"

Saya memang tidak memiliki satu aturan yang "harus begini atau begitu" jika dihadapkan oleh pertanyaan seperti itu. Saya secara cepat ingin saja mengembalikan pertanyaan tersebut kepada orang yang bertanya. "Menurut Anda, sebaiknya dari mana?" atau, dalam bahasa yang lain, "Aktivitas apa yang dirasakan Anda lebih menyenangkan untuk dilakukan?"

Jika ukuran keberhasilan dari kegiatan membaca dan menulis dirujukkan pada rumusan "kuantum" (lihat Quantum Reading dan Quantum Writing), saya memang lebih cenderung memberikan semacam jawaban yang bisa merangsang si penanya untuk menentukan sendiri sesuai keinginannya. Mengapa?

Bagi saya, aktivitas membaca dan menulis, yang saya kaitkan dengan konsep "kuantum", lebih saya maknai sebagai proses pemberdayaan dan pelejitan potensi diri. Saya ingin mengembalikan efek baca-tulis tersebut ke dalam diri orang yg menjalankannya.

Saya tidak mengarahkan aktivitas baca-tulis ke sekadar penguasaan atas teknik baca-tulis atau kemudian orang tersebut lantas menjadi penulis andal dan tulisannya disukai orang. Jika efek yg saya sebutkan ini terjadi, ya tidak apa-apa. Namun, efek yang paling penting yang ingin saya tuju adalah pengembangan dan pelejitan potensi diri.

Artinya, jika seseorang mau dan mampu menjalankan aktivitas baca-tulis secara rutin, konsisten, dan sungguh-sungguh, dan di dalam menjalankan kedua aktivitas tersebut dirinya merasa senang akibat ada manfaat besar yang diperolehnya--terutama berkaitan dengan pengembangan dirinya--maka itu saya anggap telah memenuhi rumusan saya.

Kembali ke soal pertanyaan "ayam" lebih dahulu atau "telur" lebih dahulu. Jadi, sebuah pertanyaan--meskipun ditujukan kepada saya, sebagai seseorang yang dipandang sudah memiliki kapasitas untuk membantu memecahkan persoalan baca-tulis sebenarnya juga mengarah kepada diri orang yang memiliki pertanyaan.

Saya dapat saja menentukan bahwa sebaiknya membaca lebih dahulu karena alasan ini dan itu. Atau, membaca itu bagaikan memasukkan sesuatu ke dalam diri, sementara menulis itu bagaikan mengeluarkan sesuatu dari dalam diri. Memasukkan, ada kemungkinan besar, lebih mudah ketimbang mengeluarkan--terutama jika ini dikontekskan dengan aktivitas baca-tulis.

Atau, dalam pandangan yang lain, menulis bisa jadi perlu dicoba lebih dahulu lantaran akan tidak ada gunanya membaca tanpa ada kelanjutan untuk menuliskan apa-apa yg dibaca. Sehingga, lewat landasan berpikir seperti ini, ada kemungkinan minat baca orang tersebut akan tiba-tiba terbangkitkan dan melejit dahsyat jika menjalankan lebih dahulu aktivitas menulis.

Sekali lagi, apa pun yg ingin Anda jalankan lebih dahulu--apakah itu menulis atau membaca--yang penting Anda melakukannya secara menyenangkan. Ukuran menyenangkan inilah yang ingin saya kaitkan dengan efek "kuantum. Bagaimana supaya kita dapat menjalankan membaca lebih dahulu atau menulis lebih dahulu yg membuat diri kita senang?

Cari manfaat segera begitu melakukan aktivitas baca-tulis dan ukurlah diri Anda--berkembang atau tidak? Jika Anda melakukan aktivitas membaca lebih dahulu dan sulit mendapatkan manfaat, ya cobalah berpindah ke menulis. Sebaliknya, jika ingin mencoba menulis lebih dahulu dan ternyata manfaat yang Anda rasakan tiba-tiba datang membanjir, ya teruskanlah menulisnya.

Saya yakin sekali, jika Anda dapat dibuat asyik saat menulis, tentulah pada suatu titik tertentu nanti, Anda akan didorong untuk membaca. Apalagi jika yang Anda tulis itu merupakan pergulatan pikiran dan perasaan Anda. Pikiran dan perasaan Anda, yg terus-menerus berproses, itu sangat kaya. Sangat-sangat kaya, malah.

Jika pertumbuhan dan perkembangan pikiran dan perasaan Anda tersebut ingin dituliskan, mereka memerlukan kosakata yang sangat kaya juga. Bayangkan jika Anda punya pengalaman luar biasa menariknya, namun kosakata yang ada di dalam diri Anda miskin. Apa yang akan terjadi? 
Anda akan terkendali dalam menuliskan atau menumpahkan pengalaman Anda yang kaya tersebut. (Ingin sekali lagi saya tekankan di sini bahwa konteks menulis yang saya bahas di sini adalah menuliskan pikiran, bukan menuliskan huruf. Anda harus membedakan secara tegas soal ini [lihat tulisan saya minggu lalu di rubrik "Artikel" di Mizan Online).

Apabila saya diminta memilih--sesuai materi yang telah saya susun, terutama di Quantum Reading dan Quantum Writing--mana dahulu sih, membaca atau menulis? Apa jawaban saya? 

Bagi saya, membaca buku adalah membaca "pengalaman batin" orang yang menulis buku tersebut. Sehingga, dengan membaca "pengalaman batin" yang sudah distrukturkan oleh seorang penulis, saya jadi dibantu mengenali struktur "pengalaman batin" saya sendiri.

(Saya yakin sekali, meskipun tiap-tiap diri itu unik dan tidak mungkin sama, namun ada semacam landasan-dasar yang sama dalam upaya seseorang "membangun" dirinya. Artinya, bukan soal hasil "membangun" itu yang saya ingin tuju, tetapi lebih pada proses “membangun". Nah, proses inilah yang saya kira perlu kita cari di buku-buku orang lain yang memang berisi tentang bagaimana seorang penulis menunjukkan pergulatan dirinya dalam mengupas suatu masalah di bukunya.)

Di samping itu, dengan membaca buku yang berisi "pengalaman batin" seseorang, saya lantas diserbu oleh deretan kata yang berkualitas yang langsung bercampur dengan diri saya--bagaikan bercampurnya vitamin, protein, atau zat-zat bergizi lain dari makanan dan minuman, yang saya masukkan ke tubuh saya, dengan darah.

Percampuran antara diri saya dan diri orang lain--yang menuliskan "pengalaman batin"-nya tersebut--lewat "kendaraan" bernama kata-kata, jelas sangat mengubah diri saya. Saya lantas kaya raya dengan mozaik kehidupan yang "terbahasakan". Sebab saya jadi memiliki "bahasa" untuk mengenali diri saya lebih jauh. Ada kemungkinan besar, jika saya ingin mengurai diri saya lewat menulis (menulis di sini dapat diartikan sebagai "proses memetakan diri secara lebih akurat dan tercatat"), uraian saya itu lantas menjadi lebih jelas dan terang.

Bayangkan jika saya ingin mengurai diri saya yang sangat kaya, namun saya tak memiliki "bahasa" yang memadai. Saya mungkin akan frustrasi dan "mati". Berkebalikan dari itu, diri saya malah jadi "hidup" jika saya menemukan "bahasa" yang pas yang melukiskan kondisi diri saya saat itu. Lewat "bahasa" yang pas, yang mungkin milik saya sendiri, yang saya peroleh dari buku-buku yang saya baca, saya jadi lebih leluasa membuka diri saya lebar-lebar.

Jika Anda seperti saya, membaca buku lebih dahulu baru menulis (meskipun kadang saya, pada saat ini, juga sudah tidak mempersoalkan dan mengurutkan benar apakah menulis lebih dahulu atau membaca lebih dahulu), saya jamin Anda akan lebih mudah untuk "meledakkan" potensi diri Anda.

Bagaimana dengan orang yang mengawali menulis lebih dahulu dan baru membaca setelah menulis (karena menulis lantas mendorongnya untuk membaca)? Ya, tidak apa-apa, asal aktivitas itu dapat dijalankannya secara menyenangkan dan nyaman, serta mampu membangkitkan gairah untuk terus menulis dan membaca.

Apakah orang yang mengawali menulis lebih dahulu itu juga dapat "meledakkan" dirinya--yaitu memancarkan secara hebat potensi diri yang dimilikinya? Ya, jelas bisa. Asal, sekali lagi, yang dia tuliskan memang pergulatan pikiran dan kegelisahan perasaannya yang paling-paling dalam. (Bandung, 17 Januari 2004)

0 komentar:

Posting Komentar