Buat kawan-kawan setia blog ini yang mau mendengarkan cerita dewasa dalam bentuk audio (suara cewek bos!) silahkan klik Disini Jangan lupa rajin-rajin berkunjung ke blog ane and jaga sikap kawan-kawan terhadap saudari-saudari kita. Cewek-cewek juga manusia gan. Dipergunakan untuk keperluan pribadi, TITIK

Sabtu, 09 April 2011

Demokrasi Substantif


Demokrasi dan Kegilaan,
Mencari solusi dari kaum akademik


Demokrasi memang tidak sederhana, ia bukan sekedar terminologi yang gagah diucapkan tanpa tindakan konkret kita sebagai kaum akademik. Ia tidak lain adalah sebuah sikap dan prilaku inklusif. Sebuah gagasan besar dalam bingkai pluralitas kebangsaan. Termasuk kerelaan untuk tunduk pada aturan dan meninggalkan adu otot alisa kekerasan dalam menyelasaikan persoalan kebangsaan dan kenegaraan. Jaman kekerasan harus ditinggalkan oleh kita dalam negera hukum (sebagai salah satu wujud pembangunan demokrasi) betul-betul menjadi landasan atupun konstitusi kita dalam berprilaku.

Tapi ironis, ketika jalan transisi menuju hal ideal itu, ketika demokrasi kita anggap telah berada dalam genggaman sebagai ikhtiar membangun bangsa, kekerasan justru kian subur dalam masyarakat kita. Kekerasan justru menjadi identitas baru bangsa ini. Kekerasan tidak lagi menjadi monopoli aparat keamanan. Ia menjadi milik kita semua. Sebuah aksiomatik bahwa militerisme bukan hanya milik dan diperlihatkan oleh para aparat, tapi juga kita (termasuk kaum akademik) berpotensi untuk melakukan tindakan-tindakan militerisme.

Tapi dibalik itu semua, negera memang hartus menjadi teladan bagaimana mendorong tidak terjadinya adu pisik dalam membangun masyarakat berperadaban. Masa silam aparat yang memberi contoh jagoanisme kini harus berkhir dan diputus. Negara harus menebus dosa masa silamnya yang kelam dengan memaksimalkan diri dalam proyek-proyek kedamaian, kesejahteraan, dan keadilan untuk semua. Sebuah demokrasi yang sesungguhnya, demokrasi substantif.

Namun, tentu tidak mudah kebiuasaan lama. Tapi langkah-langkah untuk memulai harus ditempuh dengan sikap yang lunak dan massif pula. Harus memulai, karena bangsa ini tidak lagi mungkin dibangun dengan menyakiti rakyatnya sendiri. Maka kaum akademik harus menjadi barisan pertama yang mengumandangkan jiwa-jiwa pluralisme dalam berdemokrasi. Sebagai contoh, kita harus memandang para demonstran sebagai rakyat ”pemilik sah negeri ini” yang sedang mengemukakan pendapat yang memang menjadi hak mereka untuk melakukan hal tersebut. Jika pun ada yang melakukan tindakan anarkhis, harus ditangani secara hukum, tidak dengan tindakan kekerasan oleh aparat. Ini negara hukum bung!

Sekali lagi, demokrasi memang tidak sederhana. Tapi kita telah setuju memilihnya (sebuah ide-ide sosial yang kita sepakati bersama dan kemudian terlembagakan) untuk membangun bangsa ini. Maka, tidak ada pilihan lain kecuali kita harus belajar keras memahami makna ajaran itu. Sebuah lorong panjang mengungkap makna sosial bagaimana demokrasi substantif menjiwai langkah-langkah kita menuju masyarakat yang diidealkan.



Memahami Demokrasi Substanstif
Membuka arena ruang publik : Sebuah perdebatan para tokoh


Jalan panjang Memahami konsep demokrasi substantif membawa kita pada perdebatan ruang publik. Menilik Awal sejarahnya, ruang publik memegang signifikansi yang sangat penting ketika bangsa eropa bangkit dengan konsespi demokrasinya. Sebagaimana kita ketahui bersama, konsep demokrasi substantif mengisyaratkan bahwa kekuasaan politik yang mengatur kehidupan sehari-hari masyarakat adalah sebuah kekuasaan yang benar-benar berasal dari masyarakt itu sendiri dan juga demi kebahagiaan masyarakat itu sendiri. Demikian pula, masyarakat memiliki hak prerogatif untuk mengawasi tepat-tidaknya kekuasaan pemerintahan dalam bentuk memilih siapa yang meraka anggap berkompeten melaksanakan hal itu secara baik. Dalam demokrsi substantif, publik memiliki kekuasaan politik yang tinggi dengan membuat wadah yang bernama ruang publik.

Dalam cetak biru ruang publik borjuis abad delapan belas; ruang publik diwilayah politis berkembang dari ruang publik dunia sastra. Dimana ruang publik sastra sebagai perkumpulan kelas menengah yang terdidik mempelajari seni perdebatan publik yang rasional dan kritis. Gerakan ruang publik sastra pada akhirnya memunculkan institusi-insitusi yang bebas dan kritis terhadap permasalahan pola hubungan antara negara dan rakyatnya. Fleksibilitas kelompok ini; karena berada di daerah perkotaan, mampu melibatkan banyak kalangan sipil. Pada masanya, kota lalu menjadi pusat kehidupan masyarakat sipil, bukan hanya secara ekonomis, namun juga dalam oposisi kultural-politis.

Betapa pun peliknya kita memahami makna sebuah istilah ruang publik—karena perbadaan konteks; sosio-politik, jarak waktu sejarah antara awal dimana hal itu muncul dan kita sekarang ini, dengan mengacu pada salah satu tokoh mazhab frankfurt, Jurgen Habermas, konspesi tentang ruang publik oleh kita akan mendapatkan titik terang dan semoga kita dapat menelaah lebih jauh.

Menurut habermas, praktek-praktek negara hukum yang sudah berlaku di negara-negara demokratis baik di eropa barat maupun di amreika utara harus diradikal kan dengan toeri diskurus. Dengan menerapkan teori tersebut dalam bidang politik, habermas mencoba memperluas perdebatan politis dalam parlemen ke masyarakat sipil. Bukan hanya aparat negara dan wakil-wakil rakyat, melainkan juga seluruh warga negara berpartisipasi dalam wacan politik untuk mengambil keputusan politis bersama. Melalui radilisasi dalam konsep negara hukum klasik, ”tempat” kedaulatan rakyat bergeser dari proses pengambilan keputusan di parlemen ke proses partisipatif dalam ruang publik. Kedaulatan rakyat, bukanlah substansi yang membeku di dalam perkumpulan para wakil rakyat, melainkan juga terdapat pelbagai forum warga negara, organisasi non-pemerintah, gerakan sosial, atau singkatnya : dimanapun diskursus tentang kepentingan bersama warganegara dilancarkan atau ingin ditegakkan.

sposito & voll : 31-2kehendak tuhan dapat diartikulasikan lewat kehendak rakyat melalui pemerintah perwakilan ()dengungkan perl Atas dasar asumsi itu, habermas lalu mengmebangkan model Demokrasi Deliberatif (yang dalam penulisan makalah ini disebut dengan demokrasi substantif), untuk membuat sambungan antara proses pengambilan keputusan yang terlembaga dalam perlemen dan badan-badan eksekutif di satu pihak dan proses penyampaian aspirasi sosial tak terlembaga di dalam masyarakat sipil di lain pihak.

Menurutnya, konsep kedaultan rakyat akan semakin nyata, jika sisem politik dan hukum yang menjadi initi terpenting dari negara hukum modern semakin sensitif terhadap tuntutan masyarakat sipil. Demokrasi dalam pandangan ini, bukanlah langsung seperti yang diimpikan para utopis, melainkan kontrol tak langsung oleh warganegara melalui prosedur-prosedu diskusif. Orang tidak perlu takut pada revolusi, karena ”revolusi” diskursif menjadi acara harian masyarakat demokratis. Kemacetan komunikasi politis ”paling-paling” akan mengundang gerakan pembangkangan sipil yang notabene masih bergerak dalam ruang konstitusi negara hukum . asumsi dasar dari deliberatif ini adalah kedewasaan dan kebebasan warganegara menentukan diri dan berpartisipasi dalam kehidupan politik dan kemandirian serta keutuhan masyarakat sipil.

Ditengah arus usaha mempraksiskan wacana ruang publik sebagai salahsatu prasyarakat dalam demokrasi substantif, kita masih mendengar perdebatan panjang antara kedaulatan di tangan rakyat disatu pihak dan kedaultan dengan basis agama dipihak lain. Sebagai contoh kasus, saudara muslim kita yang tergabung dalam wadah Hizbut Tahrir, yang didirikan oleh Taqiyuddin Annabhani, dalam tiap derap langkahnya tersu mendengungkan perlunya sebuah negara ”khilafah” yang kemudian diharapkan mempersatukan umat islam se-dunia.

Namun, dengan bantuan para pemikir muslim modernis dan neomodernis, pengakuan muslim atas kedaulatan rakyat, saat ini pada banyak kalangan, sepertinya tidak lagi bermasalah. Pemahaman ”kedaulatan tuhan”—Negara Teokratis yang semula ditafsirkan sebagai lawan dari ”kedaultan rakyat”—Demokrasi Substantif telah direvisi dengan pandangan bahwa kedua hal itu tidak selalu berlawanan. Kita tidak harus melihatnya dengan logika oposisi biner. Menurut para pemikir Islam Modernis dan Neomodernis, seperti Muhammad Natsir dan M. Amin rais—sejalan dengan pemahaman Abu A’la Al-Maududi, bahwa kedaulatan tuhan bisa didelegasikan kepada kedaulatan rakyat, karena istilah ”khilafah” tidak harus dilekatkan kepda seorang penguasa, tetapi kepada seluruh manusia. Dalam terang pemahaman ini, kehendak tuhan dapat diartikulasikan lewat kehendak rakyat melalui pemerintah perwakilan (Esposito & Voll : 31-2).

0 komentar:

Posting Komentar