Sebuah tantangan Baru Kaum Akademik
Melalui pengertian dan pemahaman awal diatas, kita dapat mengerti signifikansi modal sosial membangun masyarakat yang lebih berpradaban. Namun segera muncul pertanyaan mendasar, bagaimana modal sosial dalam konteks Indonesia?
Social Capital atau Modal Sosial dalam konteks Indonesia (perspketif sejarah—dalam konteks kekinian), perlu dipahami sebelumnya bagi kita;
Pertama, bahwa wacana social capital ini (modal social) berdampingan dengan modal yang lain yaitu modal budaya, berupa pendidikan, nilai-nilai local, nilai-nilai tradisional dll. Dan modal simbolik. Wacana ini berkembang dan sampai sekarang dikembangkan sejak masa berkembangnya eropa yaitu pada abad delapan belas.
Kemudian social capital Indonesia. Atau dengan pertanyaan pernahkah bangsa Indonesia dalam proses sejarahnya melakukan sebuah consensus yang bebas dari ruang rekayasa social, bebas dari penindasan dan pembodohan yang bersifat saling percaya kapanpun, dimanapun dan oleh bangsa apapun di inodesia dan tentunya tidak di atur secara hukum formal. Artinya hanya dengan asas kepentingan bersama, tanpa salah satu kelompok bangsa tidak dirugikan.
Ketika kita bertanya tentang modal social Indonesia, maka sedikit banyak kita kembali melihat sejarah bangsa ini, atau dengan kata lain modal social dalam perspektif sejarah. Pertama, ketika bangsa-bangsa ini masih berbentuk kerajaan, dan mengalami kesamaan nasib yaitu ketika mereka merasa terancam karena keberadaan invasi asing (adanya common enemy)maka terjadi kesepakatan dan kepercayaan antara mereka untuk bersama-sama melawan imperialis. Kedua, dalam perjalanan selanjutna, khususnya ketika Indonesia pra-kemerdekaan, dimana persatuan organsasi pemuda semakin menjamur seiring rasa nasionalisme yang semakin kental dan menjiwai segala gerakan pemuda-pemuda Indonesia. Yang terjadi pada waktu itu adalah adanya saling percaya sesame element bangsa untuk bersama berjuang dan tidak melihat asal suku dan agama.
Artinya, memalui pandangan yang sederhana ini, kita mengambil (katakanlah) sebuah hipotesa bahwa Indonesia dalam sejarah perjalanan sebagai bangsa mempunyai akar yang kuat dan mengakar dalam jiwa individu dan masyarakatnya tentang modal social social.
Namun, disamping social capital ini memang sangat bermanfaat bagi peradaban di masa-masa mendatang dan dalam relasi social. Tapi bukan berarti kita tidak kritis melihat sisi lain dari wacana ini. pertama, harus di ingat bahwa wacana ini berkembang di eropa yang sebelumnya sudah menjadi Negara kapitalis-sekuler. Sehingga para ahli disamping memang orang-orang barat rindu dengan nuansa dan suasan kekelurgaan juga ada pradiksi bahwa inilah model masyarakat yang dihasilkan dalam pergulatan dunia kapitalisme. Artinya memang para ahli optimis terhadap kapitalisme global (hal ini dapat dipahami karena mereka tidak melihat secara real dampak-dampak kapitalisme pada dunia ketiga, mereka hanya melihat bahwa system kapitalisme dapat memakmurkan rakyat seperti yang mereka rasakan dan dapatkan. Pada akhirnya mereka juga sangat optimis melihat modal social sebgai langkah awal menuju peradaban yang lebih humanis-egelitarian.
Kedua, karena berkembang dalam dunia kapitalis-individual, yang terjadi kemudian adalah kepentingan ekonomi. Semua pembahasan dan pengorbanan tidak bisa lepas dari kepentingan seseorang atau kelompok untuk kemaslahatan perutnya (kembali kepada hubungan pembeli dan penjual-saling ramah tamah karena saling tergantung dalam kepentingan ekonomi masing-masing).
Itulah sedikit percikan pemikiran tentang modal social yang menjadi wacana di bumi Indonesia. Indonesia yang terkenal dan beberapa tahun sebelumnya di kenal ramah oleh Negara tetangga. Indonesia yang terkenal sebagai bangsa muslim terbesar di dunia. Bangsa yang nota bene religius.
Sebuah ironi memang, disatu sisi modal social capital tercipta dalam pergulatan kapitalisme-individual dunia barat. Dimana kepentingan individu, kemajuan individu di atas segala-galanya untuk di terapkan kepada dunia yang sering mendambakan menamakan diri sebagai dunia kekeluargaan, kepentingan bersama adalah segala-galanya. Terlepas karena wacana dominan bersifat imperialisme masih melekat pada dunia barat, namun faktanya kita, bangsa Indonesia dengan segala atribut positif “ramah tamah”, beberapa tahun belakangan ini memang mengalami pencitraan yang sangat menguntungkan kita dalam interaksi bangsa-bangsa. Hal demikian juga tidak terlepas dari perkembangan dan perubahan pola sikap kita sebagai bangsa pasca era despotisme orde baru. Kita seakan mengambil justifikasi kebebasan untuk berbuat seenaknya. Kemerdekaan sebagai legitimasi berbuat sewenang-wenang. Sebagaimana yang dilaporkan kompas bahwa pasca reformasi rakyat Indonesia salah menafsirkan kebebasan dan kemerdekaan sehingga terjadi kebebasan yang kebablasan.
0 komentar:
Posting Komentar