Oleh Alia Swastika
SEIRING dengan dibukanya kran kebebasan pers pada 1999, pers Islam semakin menampakkan dirinya sebagai salah satu kelompok pers yang memiliki posisi cukup kuat dalam masyarakat. Salah satu fenomena yang menandai penguatan ini adalah jumlah pers Islam yang semakin meningkat, dengan segmen-segmen pembaca yang semakin khusus, baik dengan parameter usia, gender, kelompok sosial, maupun aliran pemikiran.
Tapi pers seperti apakah yang dirujuk ketika berbicara tentang pers Islam? Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Litbang Republika dan The Asia Foundation tentang Islam and Civil Society, dengan tema khusus “Pers Islam dan Negara Orde Baru”, mendefinisikan pers Islam sebagai: “Pers yang dalam kegiatan jurnalistiknya melayani kepentingan umat Islam, baik yang berupa materi (misalnya kepentingan politik) maupun nilai-nilai”.
Kemunculan pers Islam dimulai pada awal abad ke-20, bersamaan dengan lahir dan menyebarnya ide-ide reformasi yang berkembang di Timur Tengah, terutama dari Mesir. Ide-ide tentang reformasi itu setidaknya menyebar melalui dua majalah terkemuka Mesir, Urwatul Wutsqo dan Al Manar. Penyebaran ide ini begitu luas, hingga ke Jawa, dan melahirkan gerakan Jami'at Khair. Para anggota organisasi ini kemudian menyebar dan mendirikan organisasinya sendiri, seperti KH Ahmad Dahlan yang mendirikan Muhammadiyah. Selain Muhammadiyah, berdiri pula beberapa perkumpulan lain seperti Sarekat Dagang Islam, Persatuan Islam, atau Jong Islamienten Bond (Joenaidi, 1997). Organisasi-organisasi ini membangun iklim diskusi bagi pemikiran Islam mutakhir. Dalam skala yang lebih luas, ini memunculkan kebutuhan akan pers Islam
Pers Islam, sebagai bagian dari pers pribumi yang bertujuan menyebarkan semangat kebangsaan dan cita-cita kemerdekaan, awalnya tampak sebagai media “partisan”, karena kecenderungan untuk menyebarkan ideologi kelompok penerbitnya. Media yang tercatat sebagai pers Islam pertama adalah majalah Al Munir (1911), terbit di Padang, dan dikelola oleh para ulama muda Sumatra Barat. Setelahnya, kebanyakan pers Islam muncul sebagai bagian dari organisasi Islam, misalnya Sarekat Islam (SI) Surakarta menerbitkan Sarotama, SI Semarang menerbitkan Sinar Hindia, SI Banjarmasin menerbitkan Persatoean, SI Surabaya menerbitkan Al Djihad, Persatuan Islam menerbitkan Pembela Islam. Selain mewartakan ajaran Islam Pembela Islam bersama Medan Moeslimin bersikap keras menentang Pemerintah Kolonial. Biasanya, mereka menggunakan dalil-dalil Islam sebagai dasar untuk menunjuk kejahatan yang dilakukan Pemerintah Kolonial. Namun pada saat yang sama, penulis seperti Haji Misbach, menggunakan media yang sama untuk memperkenalkan gagasan nasionalisme yang lebih sosialistis, bahkan komunis. Ini menunjukkan bahwa wacana dari kelompok lain yang pada saat itu merupakan bagian dari perdebatan dalam rangka mencari “bentuk nasionalisme” mulai menjadi bagian dari wacana Islam pula.
Meski kebanyakan merupakan pers partisan, sejak awal masa perkembangannya, seperti halnya majalah-majalah lain pada saat itu, majalah Islam sudah menopang kelangsungan terbitnya dengan menerima pemasangan iklan dari perusahaan besar. Majalah Adil, yang terbit untuk menyuarakan aspirasi Muhammadiyah misalnya, menerima iklan dari sebuah perusahaan rokok. Setelah proklamasi kemerdekaan, jumlah pers Islam mulai surut. Selain karena banyak di antara terbitan-terbitan tersebut diberangus Jepang, banyak terbitan yang terpaksa gulung tikar karena kesulitan keuangan. Berbeda dengan yang terjadi pada masa pra-kemerdekaan, terbitan-terbitan yang dapat bertahan hidup pada masa ini mulai lebih banyak menggali lagi persoalan syari'at Islam. Beberapa majalah yang masih terbit pada masa itu adalah Adil, Kiblat, Al Muslimun, dan Suara Muhammadiyah.
Pada 1959, di saat pers Islam masih menjadi pers partisan, Hamka bersama beberapa tokoh Islam lainnya menerbitkan sebuah majalah Islam yang tidak bernaung di bawah organisasi Islam tertentu, Panji Masyarakat (Panjimas). Senada dengan situasi sosial-politik yang riuh pada masa-masa itu, kebanyakan artikel yang diterbitkan oleh Panjimas bernada tajam dan kritis terhadap penguasa. (Djunaidi, 1995).
Tahun-tahun awal Orde Baru merupakan masa ketika pers Islam mulai berhadapan dengan pasar. Panjimas misalnya, yang diterbitkan lagi pada 1966, mulai mengubah penampilan dan membenahi tata artistiknya demi pembaca yang lebih luas. Kurniawan Junaidie juga mencatat, selain perubahan pada sisi artistik dan kemasan, Panjimas pada saat itu mulai berbicara tentang soal-soal yang lebih praktis dan “pop”, bukan lagi banyak berisi artikel renungan.
Penelitian yang dilakukan Republika mencatat bahwa isu populer wacana Islam pada masa Orde Baru adalah modernisasi, yang secara khusus dihubungkan dengan developmentalisme. Pada satu sisi, respon-respon yang muncul pada media-media Islam sempat memunculkan kekhawatiran bahwa umat Islam akan digiring pada perjuangan untuk meletakkan Islam sebagai dasar negara, dan pada saat bersamaan, ketegangan penafsiran atas pembangunan dapat memunculkan anggapan bahwa Islam anti-modernisasi. Munculnya perdebatan ini akhirnya justru menjadi tonggak yang penting bagi berkembangnya kembali iklim intelektual bagi generasi muda Islam. Diskusi dan tulisan-tulisan yang dihasilkan generasi muda Islam inilah yang kemudian menjadi embrio bagi maraknya kembali penerbitan Islam di akhir 1980-an.
SEBAGAI bagian dari gerak dinamis sebuah generasi yang tumbuh dalam iklim intelektual yang riuh, pers Islam pada akhir 1980-an, menunjukkan gejala kuatnya artikel-artikel teoritis dan akademis. Perdebatan intelektual muncul di media semacam jurnal Ulumul Qur'an atau Media Dakwah, juga di harian Republika pada awal 1990-an. Selain berpartisipasi dalam pers-pers Islam besar, beberapa kelompok anak muda mulai membangun media mereka sendiri, misalnya Hidayatullah, Sabili, dan Ummi. Sementara saat itu, kelompok penerbit besar juga sudah mulai melihat umat Islam sebagai pasar potensial. Kelompok penerbit majalah Kartini misalnya, pada 1986 menerbitkan majalah Amanah dengan sasaran pembaca keluarga Islam.
Amanah mengawali era pers Islam yang ringan, populer dan meriah, dengan orientasi bisnis yang kuat. Hanya sepertiga dari isi majalah Amanah yang menurunkan artikel ajaran Islam, sementara sisanya merupakah artikel populer.
Tiga tahun setelah terbitnya Amanah, terbit Ummi yang bersegmen wanita muslim. Majalah ini cukup populer di kalangan wanita muslim dewasa, karena para pengelolanya menyapa pembaca tidak dengan “bentakan yang tajam”, melainkan dengan “bisikan yang bersahabat“. Untuk segmen remaja, kelompok Ummi juga menerbitkan Annida. Awalnya Annida juga memuat artikel-artikel dakwah, namun terbukti strategi semacam ini tidak bisa merangkul remaja. Selanjutnya, kebijakan keredaksian diubah dan diputuskan memuat kisah-kisah Islami. Selain dimaksudkan sebagai bentuk lain dari dakwah, kisah-kisah Islami juga dipandang mampu menyuguhkan kepada remaja realitas yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari seorang muslim. Strategi ini justru mencuatkan nama Annida di kalangan remaja Islam, meskipun popularitas majalah remaja seperti Hai dan Gadis masih tak tergoyahkan. Seperti halnya majalah remaja lain, Annida juga tampil khas remaja: ceria, semarak dan bahasanya ringan. Selain tiras penjualannya yang tinggi, pendapatan Annida juga banyak ditopang oleh iklan-iklan dari perusahaan-perusahaan yang segmentasinya remaja muslim seperti iklan kosmetik, butik busana muslim, kaset kelompok nasyid, dan sebagainya.
Pada sisi lain, kemunculan Annida dengan porsinya besar pada pemuatan cerita islami telah melahirkan generasi-generasi muda Islam yang dekat dengan kebiasaan menulis. Para penulisnya bahkan kemudian membentuk kelompok Forum Lingkar Pena (FLP) yang hingga tahun 2000 telah memiliki anggota lebih dari 6 ribu orang di seluruh Indonesia. Novel-novel islami yang ditulis anggota FLP ini termasuk laris manis di kalangan buku-buku remaja.
Formula “menyuguhkan Islam dengan senyum” kemudian menginspirasi banyak kelompok lain buat menerbitkan majalah bernuansa senada. Semakin mudahnya izin untuk mendirikan penerbitan setelah 1998 juga menjadi faktor penting yang menyebabkan muncul semakin banyak majalah islami. Sebagian besar dari majalah Islam populer membidik perempuan dan remaja. Sebut saja majalah Nikah, Noor, Karima, El-Fata, Puteri, Muslimah, Permata, dan beberapa lainnya. Selain menggunakan formula Ummi dan Annida, majalah-majalah islami yang baru muncul juga mulai menjadikan para selebris sebagai salah satu sumber berita, terutama dalam kaitannya dengan pengalaman spiritual mereka sebagai seorang muslim. Salah satu selebritis yang banyak menjadi narasumber adalah Inneke Koesherawati. Tulisan dan hasil wawancara tentang keputusan Inneke untuk mengenakan jilbab sembari tetap bertahan di dunia hiburan menghiasi beberapa majalah. Banyak pula yang menceritakan kisah nyata tentang petualangan manusia mencari kebenaran dalam Islam. Mulai muncul pula rubrik-rubrik gerai mode (menampilkan aneka macam model busana muslim), konsultasi mode atau konsultasi kecantikan.
Meskipun tampak menonjolkan sisi “pop”, sebagian pers Islam generasi baru ini tetap berusaha untuk memberikan alternatif lain bagi remaja dalam berhadapan dengan industri hiburan dalam lingkup yang lebih luas. Annida bahkan terang-terangan dimaksudkan sebagai media yang berusaha mengajak remaja untuk melawan penyebaran hedonisme dan konsumerisme. Selain memberikan nuansa islami pada budaya pop (misalnya dengan menampilkan profil kelompok nasyid), pemilihan remaja Islam berprestasi, dan sebagainya, media-media ini juga mulai memasukkan isu-isu politik. Di media-media remaja lainnya, perbincangan tentang politik dan hal-hal yang terlalu serius cenderung dihindari.
Selain pada pilihan isi dan bahasanya, perbedaan yang cukup tajam dengan media Islam pada era-era sebelumnya adalah sistem manajemen yang lebih tertata dan orientasi bisnis yang lebih kuat. Pada masa lalu, kebanyakan pers Islam dikelola dengan manajemen kekeluargaan. Belum banyak pengelola pers Islam yang mempraktekkan konsep-konsep manajemen dan pemasaran modern. Ketika pers Islam memutuskan untuk memperluas pasar dan menggunakan strategi-strategi seperti yang dipakai oleh media massa lainnya, dengan sendirinya ada kebutuhan untuk menerapkan konsep manajemen dan pemasaran modern.
Label ideologi sebagai pers Islam yang pada masa lalu menimbulkan kesulitan untuk berangkulan dengan pemilik modal, pada majalah generasi baru ini justru diolah dan dinegosiasikan dengan budaya-budaya populer dalam masyarakat. Mereka menciptakan dan memberikan bentuk sendiri pada “budaya populer yang islami”.
0 komentar:
Posting Komentar