Sebenarnya judul asli artikel ini adalah Budaya Cewek yang ditulis oleh Nuraini Juliastuti, seorang penulis di kelompok kajian cultural studies, KUNCI.
Angela McRobbie (1995) mengatakan bahwa tampaknya selama ini remaja perempuan hanya bisa ditemukan dalam catatan kaki atau sebagai referensi tambahan saja. Suatu kategori di antara 'remaja' dan 'bisnis-bisnis lainnya'. Remaja perempuan tampaknya tidak benar-benar berada di sana. Pernyataan McRobbie ini mewakili kritik kaum feminis terhadap analisis-analisis subkultur yang selama ini ada. Analisis subkultur dianggap tidak memberi perhatian dan tempat yang layak kepada remaja perempuan.
Di Indonesia sendiri, terlebih dulu kita mengenal remaja perempuan sebagai kelompok remaja yang ikut berpartisipasi membantu perjuangan merebut kemerdekaan. Mereka ikut membantu merawat para prajurit laki-laki yang terluka, atau membantu memasak keperluan logistik para prajurit di dapur umum. Gambaran remaja perempuan berpakaian putih-putih dengan simbol palang merah di lengan, yang sedang berjongkok membalut luka prajurit, sangat sering kita jumpai dalam drama-drama di panggung peringatan hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia, juga dalam foto-foto atau gambar di buku-buku sejarah.
McRobbie kemudian mengidentifikasi pertanyaan-pertanyaan pokok yang bisa dijadikan panduan atau penuntun dalam melakukan penelitian terhadap subkultur remaja perempuan, yaitu: 1) apakah mereka 'hadir', namun 'tidak nampak'?, 2) jika mereka memang hadir/eksis, apakah peranan mereka lebih marjinal daripada laki-laki, atau apakah mereka memainkan peran yang berbeda?, 3) apakah posisi remaja perempuan menunjukkan pilihan subkultural, atau apakah peranan mereka merefleksikan subordinasi umum perempuan?, 4) apakah ada cara-cara berbeda dan khusus yang dijalankan remaja perempuan dalam mengorganisir hidupnya?
Remaja perempuan sebenarnya eksis dan hadir dalam kehidupan subkultur. Kita bisa menemukan remaja perempuan dalam kerumunan penonton konser musik rock, kita juga bisa menemukan remaja-remaja perempuan ikut bergabung dalam kelompok-kelompok punk di jalan-jalan. Tetapi seringkali keterlibatan perempuan dalam subkultur dikaitkan dengan kemerosotan moral dan degradasi personal. Media massa juga kerap memandang remaja perempuan dalam kelompok ini sebagai sesuatu yang sensasional semata.
Fakta lain menunjukkan bahwa jika remaja perempuan dan laki-laki sama-sama tergabung dalam kelas pekerja, gaji yang diterima kadang-kadang tidak sama. Atau meskipun penghasilan mereka sama, gaya konsumsi remaja perempuan dan remaja laki-laki pasti akan berbeda karena aktivitas bersenang-senang yang mereka lakukan juga berbeda. Atau mungkin aktivitas bersenang-senang yang dilakukan remaja laki-laki dan remaja perempuan jaman sekarang tidak terlalu menunjukkan perbedaan yang menyolok. Kita akan dengan mudah menemukan remaja perempuan sama banyaknya dengan remaja laki-laki dalam kafe atau music club. Tapi tetap saja remaja perempuan harus 'berhati-hati supaya tidak mendapat bahaya' di tempat-tempat seperti itu. Bahaya ini biasanya berupa serangan seksual dari remaja laki-laki atau laki-laki dari kelompok umur yang lebih tua. Sikap khawatir, ketakutan, dan hati-hati terhadap bahaya-bahaya ini biasanya didukung oleh para orang tua. Tidak heran jika remaja-remaja perempuan diharapkan untuk lebih banyak berada di dalam rumah atau dalam kamar. Intinya, mereka didukung untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang lebih berpusat dalam rumah. Rumah teman-teman perempuan dan kamar tidur akhirnya menjadi situs-situs kunci remaja perempuan.
Perkembangan dalam dunia konsumerisme kemudian menunjukkan dimulainya boom berbagai macam produk yang khusus ditujukan untuk pasar remaja perempuan, mulai dari kosmetik, pakaian, dan berbagai macam pernik-perniknya. Hal-hal itu biasanya dipakai di rumah. Rumah teman dan kamar tidur kembali menemukan tempatnya. Jadi bisa dikatakan, remaja perempuan berpartisipasi dalam perkembangan dunia di luarnya, dan mereka mengkonsumsi itu semua di rumah, dalam tempat tidur mereka.
Remaja perempuan juga cenderung tidak dicurigai jika mempunyai teman-teman dekat perempuan. Maka tidak heran jika sejak jaman dulu sampai sekarang, pemandangan seorang remaja perempuan yang berada di tengah kerumunan kecil kelompok/gang perempuannya selalu dengan mudah bisa kita temui. Kehidupan kelompok remaja perempuan dipopulerkan kembali oleh Cinta, Maura, Milly, Alya dan Karmen dalam film Ada Apa Dengan Cinta. Para remaja perempuan biasanya memperoleh eksklusivitas sosial, ruang-ruang privat dan tidak bisa diakses, ruang-ruang khusus yang berjarak dan, untuk sementara, bebas dari tekanan orang tua, guru-guru di sekolah, juga teman-teman laki-laki.
Kehadiran majalah-majalah remaja perempuan juga harus diperhitungkan jika kita ingin membuat analisa terhadap para remaja perempuan ini. Mulai 1980-an akhir dan 1990-an, muncul kelompok-kelompok band laki-laki yang ditampilkan dengan daya tarik seksual yang lebih menonjol. Maskulinitas mulai ditampilkan sebagai objek sama menarik dan menggairahkannya dengan feminitas. Dan majalah-majalah remaja perempuan yang hadir di sini ikut mendukung dengan memberikan liputan dan perhatian yang besar kepada mereka, sehingga bisa dikatakan posisi remaja perempuan sekarang jadi terbalik. Mereka yang biasanya berposisi sebagai objek, ketika berhadapan dengan maskulinitas kelompok-kelompok band laki-laki ini, berbalik posisi menjadi si penglihat.
Pada akhir 1990-an, di Indonesia muncul kelompok majalah remaja perempuan yang berposisi sebagai edisi bahasa Indonesia dari majalah remaja perempuan yang terbit di luar negeri seperti Cosmo Girl dan Seventeen. Kehadiran majalah-majalah ini ikut meramaikan dunia terbitan remaja Indonesia, berdampingan dengan media-media lokal seperti Gadis dan Kawanku. Majalah-majalah ini ikut mempopulerkan istilah 'girl power' di Indonesia. Girl Power sendiri merupakan istilah yang dimunculkan oleh kelompok musik asal Inggris, Spice Girls, tahun 1996 silam. Mungkin kita bisa mengatakan bahwa hal-hal seperti ini terlalu kecil bagi remaja perempuan, tetapi menurut saya, media-media remaja perempuan, juga pemakaian istilah-istilah semacam ini, berusaha menegosiasikan ruang-ruang personal, pribadi, juga ruang-ruang aktivitas bersenang-senang mereka sehari-hari, diolah kembali, sehingga bisa membuka peluang perlawanan dan resistensi.
0 komentar:
Posting Komentar