Buat kawan-kawan setia blog ini yang mau mendengarkan cerita dewasa dalam bentuk audio (suara cewek bos!) silahkan klik Disini Jangan lupa rajin-rajin berkunjung ke blog ane and jaga sikap kawan-kawan terhadap saudari-saudari kita. Cewek-cewek juga manusia gan. Dipergunakan untuk keperluan pribadi, TITIK

Selasa, 05 April 2011

Menguji Teori secara Pragmatis

Kacamataku dan Kacamatamu: Menguji Teori secara Pragmatis

Oleh Martin Slama

Kebanyakan pembaca KUNCI, saya kira, adalah mahasiswa ilmu-ilmu sosial-budaya dan orang yang berminat pada perkembangan kebudayaan secara umum yang sering juga punya pendidikan akademis. Dengan demikian mereka pernah disentuh oleh apa yang disebut "teori". Entah di ruang kuliah ketika si dosen memperkenalkan teori ini atau itu, entah pada waktu membaca buku yang juga “berteori" (apakah secara terbuka atau tidak) atau—memang—pada waktu membaca KUNCI sendiri. Apalagi kebanyakan pembaca Kunci pada suatu saat harus menulis serius tentang kebudayaan, apakah pada waktu menulis skripsi di bidang ilmu-ilmu sosial atau, misalnya, untuk mempersiapkan makalah untuk suatu seminar atau pertemuan ilmiah lain.

Kesulitan yang sering muncul pada titik itu adalah menghubungkan apa yang ditulis oleh orang lain—biasanya si ilmuwan terkenal—dengan tulisan diri sendiri. Untuk dapat menangani kesulitan itu perlu kita periksa bagaimana kita memandang "si teori itu". Maksud saya, apakah kita cenderung melihat teori sebagai "puncak penciptaan" ilmu-ilmu sosial yang harus dihafalkan secara kaku atau sebagai sesuatu yang bisa digunakan, dipakai saja; apakah kita melihat teori sebagai suatu "budaya adiluhung" yang perlu dipelihara tetapi lebih baik tidak disentuh karena takut melakukan kesalahan, ataukah sebagai alat yang dapat mengembangkan pikiran dan tulisan diri sendiri. Seorang sastrawan Perancis, Charles Baudelaire (kalau saya tidak salah ingat), pernah menggunakan gambar sebagai berikut: dia mengatakan bahwa bukunya sepantasnya dianggap seperti kacamata yang sebaiknya dilepas saja kalau tidak punya gunaan lagi untuk sang pembaca; dalam konteks kita itu berarti teori adalah kacamata yang dapat memperlihatkan dunia dengan pandangan tertentu. Itu saja.

Saya rasa sudah jelas bahwa dalam tulisan ini saya mau mengusulkan pengertian yang terakhir ini mengenai teori, yaitu teori sebagai alat atau kacamata yang ada untuk dipakai secara pragmatis (pragma, kata Yunani itu, berarti 'aksi’ atau 'tindakan’) yaitu untuk berbuat sesuatu dengannya. Apalagi saya—setelah sepuluh bulan tinggal di Yogya—melihat bahwa pendekatan yang pragmatis itu terhadap teori kurang dipraktekkan di kalangan terpelajar di kota pelajar ini yang sering, misalnya, mengakibatkan kemacetan dalam menulis skripsi. Sering juga sang pencipta teori disebut saja supaya orang (atau dosen) tahu bahwa si penulis "tahu" atau paling tidak pernah dengar; teori tidak dipakai untuk mengetahui suatu hal sehingga tidak menghasilkan pengetahuan, melainkan hanya ulangan (tetap seperti di sekolah dimana "ujian" disebut "ulangan"). Apa yang saya maksudkan dengan menggunakan teori secara pragmatis, saya mau menjelaskan lebih mendalam melalui suatu contoh.

Imagined Communities, buku Ben Anderson itu (cetakan kedua dengan bab-bab baru: 1991), boleh dikategorikan sebagai suatu studi klasik yang "wajib" dibaca oleh orang yang berminat dalam ilmu-ilmu sosial dan kebudayaan (yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pula). Anderson dalam bukunya menawarkan suatu gagasan pokok untuk dapat menjelaskan apa yang disebut nasionalisme. Dia bertanya mengapa orang yang belum pernah bertemu bisa merasa sama, merasa bersaudara, misalnya sebagai orang Indonesia, Inggris atau India dan seterusnya. Karena itu persaudaraan ini—kalau tidak bisa dialami langsung—harus dapat dibayangkan dulu. Apa itu yang memungkinkan bayangan yang menyeberang lingkungan sosial setempat adalah pertanyaan berikut dengan jawabannya bahwa apa yang memungkinkan "komunitas-komunitas terbayang" itu adalah media cetak dengan koran, majalah dan buku sastranya yang baru pada akhir abad ke-19 muncul di Hindia-Belanda dan yang berfungsi menurut logika pasar, yaitu ada proses jual-beli supaya pihak pemilik media mendapat keuntungan; sehingga bisnis itu dinamakan oleh Anderson "kapitalisme cetak" atau print capitalism. Memang, Anderson juga menawarkan faktor-faktor lain (transportasi massal, peta-peta yang menunjuk pada batasan negara-bangsa, dll.) untuk perkembangan nasionalisme, tetapi kapitalisme cetak itu mendapat perhatian yang paling besar darinya.

Nah, disini kita punya suatu teori, suatu kacamata untuk dapat melihat identitas kolektif utama dalam abad ke-19 dan ke-20 yaitu identitas nasional. Dengan mengarahkan perhatian kita ke media cetak, Anderson juga menunjukkan bahwa identitas nasional itu bukan sesuatu yang alamiah, yang sudah ada selama-lamanya (seperti sering diutamakan oleh ideologi-ideologi nasionalis), tetapi merupakan sesuatu yang baru dapat dibayangkan dengan adanya teknologi cetak sebagai pengedar gagasan bangsa sekaligus bukti untuk kemungkinannya (tidak ada perbedaan antara pembaca koran tertentu di Yogya dan di Medan, misalnya; mereka adalah satu komunitas).


Setelah kita sudah memahami inti teori Anderson mengenai nasionalisme, saya mau menunjukkan bagaimana teori itu digunakan oleh seorang ilmuwan lain yang bernama Arjun Appadurai dalam bukunya Modernity at Large. Cultural Dimensions of Globalization (1996). Antropolog asal India itu—seperti dapat dilihat dari judul bukunya—bukan hanya tertarik pada fenomena nasionalisme, melainkan dia mencoba mengerti apa yang dewasa ini disebut dengan globalisasi budaya, yaitu fenomena kebudayaan yang tidak terikat kepada negara-bangsa lagi. Meskipun demikian, pikiran Anderson mengenai nasionalisme tetap berperan penting dalam tulisan Appadurai. Kenapa? Kita baca dulu apa yang dikatakannya: Appadurai melihat bahwa dewasa ini dunia media dan teknologi informasi sangat bervariasi. Selain media cetak ada radio, televisi, film, kaset, video, VCD hingga internet. Kebanyakan dari media/teknologi yang baru atau relatif baru itu tidak lagi ditujukan kepada pasar dalam negeri, melainkan mengalir kepada konsumen/penggunanya yang secara geografis dan/atau politis hidup berjauhan; atau sebaliknya media/teknologi itu ditemukan dan digunakan oleh orang yang pada awalnya tidak diperkirakan sebagai pengguna (misalnya di Australia sekarang ada stasiun televisi yang dikelolah oleh orang Aborigin). Singkat kata: negara tidak lagi merupakan kerangka utama untuk media.

Setelah pengamatan itu yang sudah "dibimbing" oleh pikiran Anderson, Appadurai melakukan langkah berikutnya dalam jalur yang sama dengan bertanya: kalau dulu media cetak mendukung identitas nasional, identitas-identitas apa yang didukung oleh media yang berperan global dewasa ini? Kemudian Appadurai menunjuk pada beberapa contoh dimana akibat media global terlihat: teroris berpakaian seperti Silvester Stallone dalam film Hollywoodnya yang berjudul Rambo; ibu rumah tangga nonton telenovela yang selalu membahas linkungan sosial utamanya yaitu "keluarga"; dan dalam pertemuan keluarga Muslim orang mendengarkan kaset dakwah dari seorang ulama yang tak pernah datang ke negerinya. Contohnya masih banyak lagi (dan Appadurai bukan hanya tertarik kepada identitas kolektif, melainkan juga kepada identitas perorangan), tapi yang dapat kita simpulkan adalah bahwa masalah identitas yang didukung oleh media global muncul di berbagai lapangan, misalnya teknologi informasi menghubungankan seorang imigran dengan negara asalnya; agama sebagai identitas kolektif, yang sebenarnya sudah lama ada, baru-baru ini dapat dialami sebagai sesuatu yang transnasional oleh lebih banyak pemeluknya; hingga budaya lokal—dimana pertanyaan "Siapakah kita?" jadi sangat aktual—berhadapan dengan lalu lintas global yang terus menerus menawarkan petikan-petikan identitas dari bermacam-macam wilayah dunia ini. Tanpa memperhatikan peran media global serta teknologi informasi, identitas kebanyakan orang dewasa ini tidak dapat dimengerti—paling tidak itulah tesis Appadurai.

0 komentar:

Posting Komentar