Belajar Filsafat |
Hampir setiap orang menganggap filsafat sebagai suatu disiplin ilmu yang serius, pelik, dan tidak realistis. Mereka beranggapan, filsafat itu adalah disiplin ilmu yang amat sulit, hanya sebagian kecil orang yang bisa mempelajarinya. Bahkan ada yang mengatakan jangan sering-sering belajar filsafat, bila tidak mampu dan tidak mempunyai keimanan yang tebal kepada Tuhan Yang Maha Esa, bisa-bisa malah melupakan agama (atheis).
Memang, ada mitos yang beranggapan seperti itu terhadap filsafat. Malah mitos tersebut bukan berkembang di kalangan orang-orang awam. Sebagian pemuka agamapun beranggapan dengan memgang teguh kepada kitab-kitab suci sebagai pedoman hidup itu sudah cukup, sehingga menganggap bahwa filsafat itu tidak menjamin kebenaran suatu perkara. Bahkan ada yang mengira, mereka berkewajiban untuk melepaskan diri dari filsafat mempertahankan keimanannya.
Nah, buku yang berjudul Menikmati Filsafat Melalui Film Science-Fiction ini, ingin meruntuhkan anggapan itu, siapa pun-jika saja tahu caranya-sebenarnya dapat memahami konsep-konsep dasar filsafat dengan mudah dan menyenangkan, Melalui film-film fiksi-ilmiah (science-fiction), Rowlands berhasil mengulas tema-tema penting filsafat dengan memikat, sehingga filsafat bisa dikemas menjadi gurih, renyah, dan mudah dicerna.
Pada dasarnya film adalah sarana multimedia yang memang bisa sangat efektif merangsang perenungan filosofis. Disamping itu juga film selalu digunakan sebagai media refleksi filosofis dan sarana proses belajar-mengajar, meskipun kadang kala film-film yang digunakan umumnya jenis film yang jauh lebih pelik.
Ada beberapa hal dalam film yang membuat dapat berfungsi demikian. Pertama, film mampu menyingkapkan pergulatan batin eksistensial tersembunyi manusia dalam dunianya yang spesifik. Sehingga mampu meransang artikulasi filosofis baru, yang mungkin saja tak bersesuaian, bahkan bisa bertentangan dengan keyakinan-keyakinan filosofis baru.
Kedua, bahasa film bukanlah bahasa konsep, melainkan bahasa pengalaman. Maka ia tak hanya menentang pikiran, tetapi terutama merangsang partisipasi sang penonton untuk ikut "mengalami"nya. Sehingga dapat melibatkan perasaan, sensasi tubuh, imajinasi, dan pikiran sekaligus.
Ketiga, terutama dalam film-film fiksi-ilmiah, film mampu membukakan kemungkinan-kemungkinan baru untuk memahami realitas saat ini maupun masa depan secara grafis dan imajinatif. Maka melalui film ia dapat menemukan rangsangan yang lebih kuat, lebih terperinci, sekaligus lebih realistis.
Dengan demikian pencarian abadi manusia ihwal hakikat dirinya dan alam semestanya, ternyata, dapat dihadirkan bukan hanya melalui sosok-sosok filosuf tulen, semacam Plato, Kant, Nietzche, dan Decrates, melainkan juga melalui bintang-bintang film semacam Tom Cruise, Harrison Ford, Sigourner Weaver, dan Keanu Reeves.
Dalam buku setebal 251 halaman ini, Mark Rowlands berhasil mengemas film-film Hollywood untuk dijadikan sebagan bahan acuan dalam mempelajari filsafat. Di buku ini Mark Rowlands berhasil menghadirkan The Matrix, yang akan mengajak kita untuk lebih memahami sifat-sifat dasar realitas, dikaitkan dengan bidang filsafat yang berhubungan dengan pengetahuan yaitu epistimologi. Star Wars, kita diajak untuk menemukan kebaikan dan kejahatan. Total Recall, mengajak kita untuk mendalami isu tentang identitas personal. Minority Report, dalam film ini kita disuguhi tema yang berhubungan dengan kehendak bebas, yaitu kebebasan yang dipertentangkan baik itu dari laur maupun daru dalam. Blade Runner, membawa kita menjumpai persoalan kematian dan makna hidup. Sedang dari film Terminator I dan II, kita diajak untuk berusaha membidik pikiran-tubuh dari dua bagian yaitu, bagian dalam dan luar.
Judul-judul film yang tertera dalam buku ini memang bisa membuat orang mengernyitkan dahi. Bagaimana mungking filsafat bisa nyambung dengan film-film "pasaran" semacam itu ? Tetapi jika membaca isinya lebih jauh, ternyata menjadi jelas bahwa Rowlands tak hendak sekadar bercanda. Penulis berusaha memperkenalkan kita dengan dunia filsafat, hingga kita lebih bisa memaknai akan hadirnya ilmu filsafat tersebut.
Dr I Bambang Sugiarto dalam kata pengantarnya menyampaikan kelemahan umum dari mempelajari filsafat, yaitu masih bersfiat Skolastik akademis, artinya bahwa filsafat dihadirkan lebih sebagai sistem-sistem gagasan atau paket informasi, yang tinggal dihafal. Akibatnya orang memang tampak menguasai dan hafal di luar kepala khazanah pengetahuan filosofis, tetapi kemampuan dalam berpikirnya sungguh tidak berkembang. Visi pribadinya miskin. Dan kalaupun menganalisis realiras konkrit, hanyalah sekadar mencocok-cocokan khazanah konsep dari literatur dengan realitas.
Semestinya belajar filsafat, lebih memprioritaskan "prose" bukan informasi yang terjadilantas bukanlah belajar filsafat melainkan belajar berfilsafat (melalui gagasan para filosof terdahulunya). Filsafat bukan perkara "mengetahui" melainkan tantang "melakukan".
Jika kita ingin mengetahui lebih dalam tentang gagasan-gagasan para filosof, buku ini bukanlah pilihan tetap. Namun, jika kita mencari bagaimananya berfilsafat, buku ini adalah keharusan. Di samping itu juga buku ini adalah sebuah contoh cannggih bagaimana bernalar secara filosofis, dengan memanfaatkan film-film populer dalam kehidupan sehari-hari. Bobot argumentasi-argumentasi yang dimainkannya tajam, kuat, dan terperinci.
Kehadiran buku ini, cocok sekali bagi mereka yang ingin mengenal lebih dalam tentang dunia filsafat, bahkan bagi mereka yang telah lebih ke depan dalam studi filsafat sekalipun. Karena buku ini mampun menggugat kembali apa yang mereka kira telah meraka ketahui. Masalah yang diperkarakan memang masalah klasik, tetapi cara Rowlands menalarkan sunguh lain, sering kali di luar dugaan. Selamat membaca.
0 komentar:
Posting Komentar